16 Des 2011

Samar Kudengar Kabar Blitar

Warna matahari mulai berubah keemasan. Warna yang dikumpulkan bukit kecil sejak siang tadi itu seolah mengintip ladang-ladang hijau yang telah terairi. Teduh dan tak menyilaukan mata. Rumput-rumput liar yang tumbuh kerdil di pematang sawah masih tekun menggelitik kaki telanjangku yang berlarian, bercanda dengan sahabat karibku, layang-layang berbenang. Berisik suara padi bergesekan yang digoda sang bayu, seolah bersahutan dengan teriakan angsa-angsa di jalanan berkerikil. Mengantarkan para petani pulang, menyiapkan mimpi untuk panen raya di awal bulan. Gemericik air yang tumpah diantara tumpukan jerami pembatas, memberi warna bening pada aliran sungai kecil yang ku seberangi. Dedaunan mengkilat, menggendong sisa-sisa embun pagi tadi, bergoyang syahdu mengharu disinari cahaya senja. Samar suara adzan dari kejauhan, seakan khusyu' memanggil ku untuk segera ke surau di ujung desa. Kabut tipis berjalan pelan seiring angin sore yang dingin, menjadi alasan utamaku yang selalu saja malas untuk mandi bebersih diri.

Disanalah pembukaan usiaku dimulai. Keteduhan jati tua yang rindang, kerumunan pohon bambu menjuntai hampir ke tanah, jalanan berbatu menuju sekolah, sahut sapa ramah para warga, juga kegelapan setelah maghrib, menjadi teman cengkerama hari-hariku. Disaat naluriku masih suci tanpa birahi, disaat kalbu masih lugu tanpa tabu. Masa yang aku lewati dua puluh lima tahun silam, yang aku tinggalkan dengan pahatan-pahatan prasasti janji yang mungkin belum sempat terselesaikan. Menuju terang kota yang bising dengan klakson mobil-mobil mewah. Dipenuhi belantara gedung bertingkat dengan ketinggian yang sungguh nyaman untuk para patah hati menjatuhkan diri. Tak pernah menghiraukan kesedihan yang bersebelahan. Tak ada kepedulian untuk kesulitan. Tangga kayu berganti dengan lift berjalan, pepohonan diganti dengan beton-beton buatan. Kalimat-kalimat sejuk di paragraf pertama seolah hanya mimpi untuk saat ini.

Jika di izinkan, aku ingin mendengar kabar Blitar...