2 Des 2013

Sebelum Dia Menyebutmu Istri

Perempuan yang tak kuinginkan itu pulang dengan langkah tak terdengar. Membawa rekaman jerit, bentak, juga beberapa cerita tentang apa yang membuat sembab mata dan lebam biru di pipinya.

Aku pikir, ia datang untuk memberitahukan makanan berbahaya apa saja yang tak ia perbolehkan untuk aku makan. Sebab dia takut aku terkena stroke atau serangan jantung lalu mati, dan ia tak bisa mendatangiku lagi.

Atau mungkin, ia hanya ingin sekadar mengingatkan kalau dia masih sangat membenci acar, yang ia bilang selalu membuat liang surganya basah, dan ia tak mau aku kecewa ketika menyetubuhinya di hotel-hotel murah kelas Kamboja.

Malam itu ia datang tak mengenakan kacamata. Ia bilang ingin sekali melihatku telanjang tanpa terhalang apa-apa. Ia membawa setangkai bunga berwarna merah muda. Cantik sekali! Persis lesung pipit dan rambut cepolnya yang sering aku tuliskan dalam puisi. Lesung pipit yang selalu aku puja, aku pelihara, yang tak pernah menguap begitu saja meski berulang kali aku campur dengan majas apa saja.

"Tadi waktu aku beli, bunga ini wangi sekali" katanya.
"Tidak seperti kenangan dalam kepala kita yang mampu bertahan lama, wangi bunga bisa saja lenyap mengudara ketika ia sampai di tangan penerimanya."

Kami sempat terlibat perdebatan kecil, tentang siapa yang dulu meninggalkan atau ditinggalkan. Aku memilih yang kedua, namun ia menyanggahnya. Ia bilang, "cinta kita tak pernah tanggal, meskipun kita berjauhan dengan peluk terpenggal."

Untuk melanjutkan perayaan cinta dan dosa, malam itu kami sengaja memilih ruangan paling gelap. Agar tak ada siapapun yang melihatnya kecuali kita bertiga; Tuhan, aku dan dia. Sebab cinta hanya membutuhkan itu saja.

3 Okt 2013

Cinta Kita Tak Membenci Jarak

Akhirnya rindu merayuku untuk menuliskan sebuah pulang,
tentang sebuah pintu yang sengaja kau buka hingga lupa kau tutupkan
Ini adalah senja pertama,
di mana aku duduk berhadapan dengan rindu yang merajalela

Nadi ini, masih saja detak pada puisi
Satuan jarak yang mendidihkan kata,
namun kita masih saling panggil dalam bahasa
Menjadi barangkali yang belum tentu diamini
Hingga malam ke seratus,
kita masih riuh menuliskan luka, juga cinta

Kita berdiam pada jarak yang bermusim resah
Mengelabuhi purnama yang serupa warna kulitmu,
mendustai pikiran bahwa rindu ialah kunang-kunang yang terbang dari matamu
Sekali lagi, aku ingin lebih khusyuk menghirup wangi sapamu, Esti

Tiada temu bagi sepasang mata pun sela jemari kita
Tiada temu yang paling tidak, mampu mereda rindu yang ada
Sebab yang tersisa hanyalah kenyataan bahwa jarak sedang dengan bebas menari-nari di antara
Sebab yang ada hanyalah potret kita dalam kebersamaan yang seperti hampa

Aku dijamu langit merah, dengan rangkai sempurna puisimu yang membuat senyum tampak semringah
Sesekali kututup mata, biar kehadiranmu dapat dengan nyata kurasa
Seakan tak peduli dengan beragam tanya, tak ambil pusing dengan tanggapan mereka
Biar ketika aku sedang cinta, tak kuberi celah masuk untuk satu pun luka
Biar ketika aku sedang cinta, yang kubayangkan hanyalah bahagia kita

Meski di benakku, duniamu kini masih tampak entah
Meski sebenarnya, apa yang sedang kita jalani ini tidak mudah
Namun, paling tidak, berjanjilah;
untuk jangan pergi, cintai aku sekali, dan secara lebih lagi.

Sebuah berbalas puisi oleh @estipilami dan @penagenic

23 Jul 2013

Akrostik Menuju Kota Kekasih

Fusta sederhana ini disediakan oleh punggungku
bergoyang mengambang menampung purnama baru
dipaku janji keramat untuk mengantar tubuhmu sebelum takbir
memboyong benih puisi yang akan tertanam sebagai anyelir

Inang senyummu bersiul menidurkan gelombang
kecipak jemari mencubit air menyerupai suara ciuman
serak kidung pertemuan mengalun
mengubur kata sudah untuk cinta yang dimakamkan tanpa bunga kabung

Kita tak lagi gelisah pada jarak dan ombak
setelah lautan lengang di depan tergambar,
palungmu adalah akhir tujuan dari segala yang kulabuhkan
merayakan bulan madu di jantung kota yang tak memiliki siang

Akan tiba kita di pelabuhan tanpa suara
menghirup segarnya kelopak krisan
bulan meleleh melumasi kulitmu
lalu kita utuh menjadi sepasang warna yang dinikahkan senja

21 Jul 2013

Kolak Pisang di Cangkir Plastik

Aku menata sajak ini dari bulu-bulu halus yang tumbuh di tengkukmu
kureka sedemikian rupa,
agar ia bersedia menjadi sayap yang mengantarku ke telingamu sebagai doa

Betapa kubayangkan, satu sore menyilakan kita menukar bayangan
Senja berencana membongkar kenangan
lalu kita, melengkapi khusyuknya cerita berbuka puasa

Tak perlu istimewa
seperti datangmu yang sederhana
namun bisa membuatku punya debar yang luar biasa
Kolak pisang di cangkir plastik,
digenapi beberapa helai roti tersuap dari jemarimu yang lentik

Warna langit mulai meranum setara bibirmu malam itu
dingin menaburi percakapan dari sungging-sungging temu
menambah warna kenang pada keningku
menjadikanku keringat yang pantang tercuci dari saputanganmu

Kita masih berada di satu langit, Fika
Perihal tatap mata yang kerap dibatalkan,
pertemuan bibir yang sering digagalkan,
juga genggaman yang selalu menemukan ganjal,
anggap saja ini sementara peran
agar jarak punya dongeng yang bisa kita tertawakan

Malam itu, aku melihat Tuhan tersenyum di sepasang alismu dengan arah terbalik.

19 Jul 2013

Rindu Belum Siuman

lelah ini mengajakku pulang searah angin
guru terbaik yang mengajariku mencintaimu dengan cara yang rutin
seketika udara senyap murung
pikiranku sedang diayun kelopak senyummu yang anggun
sekelompok camar menabrak mendung dengan paruh tergulung

apakah ini pertanda rindu, Fika?
tanyaku tak dijawab cuaca
masih terlalu belia jika aku harus berjalan dengan kaki telanjang
sedang kerikil tajam di depan sana,
pandai membentak ingatan dengan tajam yang masih rahasia
napasku runtuh menopang usia
dipukul sabar buatan yang gagal mengajakmu rebah di satu beranda

sesekali aku ingin menyambangi matamu dengan matahari lain
mata yang pernah membuatku suka menuliskan kata saling pandang
yang punya kedipan santun mewakili gerak rembulan
namun pagiku selalu pucat sewarna rindu yang tak kunjung siuman

ini sore keramat
meluap bercampur warna kutukan yang pekat
aku mabuk aroma kerudung itu
jika malam nanti tak diracuni cemburu
sempatkan waktu untuk mendengar doaku yang merayu hijabmu

17 Jul 2013

Salamku Disampaikan Sore

kelopak senja mulai terbuka
kalimat ini hanya menjadi geming, ketika rindu menjadi penguasa kahar di kepalaku
menghunus matamu yang kerling, senyummu yang bening
bulu mata yang menyaput cuaca,
juga kedipan yang seolah membuka tirai surga
seluruhnya, sedang akrab dengan ingatan yang menempuh sejarah di setapak jelita

tak seperti puisi yang belum sempat kau beri judul lalu kau hilangkan, Fika
aku meminjam paruh angsa untuk melubangi jantungmu yang tembaga
membaca debarmu yang sederhana,
merapatkan bibir dan kening yang gelisah
dibatasi jarak ratusan purnama

musim tak juga membaik, aku semakin kerdil
lidah kita beku, melumat getir ludah di lidah masing-masing
tak ada lagi waktu untuk aku tertidur di semak-semak
mendamaikan dada yang tak kunjung diziarahi peluk
mendengar hembus yang didongengkan napasmu
hingga jarak ini tak terasa asam melukai lambung temu

9 Jul 2013

Bulan Tanpa Perkara

Detak-detak kian pekat dalam ingatanmu
Seperti langit mengantar gerimis malam ini

Waktu masih saja serakah,
dikumpulkannya ingatan-ingatanmu dalam sebuah toples
Kemudian menjualnya dengan harga yang tak dapat kau beli

Kandang tua itu adalah kepalamu
Perawan suci yang melahirkan rindu dari sebuah janji
Sang juru selamat meski tak beralamat

Tatapanmu telah jauh, tiga purnama telah tuntas kau bunuh
Namun tak kau temukan cara menjerat bayangan


Ini hari pertama di bulan penjara
Nafsu semakin dingin,
digarami asin keringat yang dikeringkan angin

Suara langkahmu semakin jauh
Menginjak tanah penghasut arah,
mengayun sesat meninggalkan kenang yang basah

Engkau telah menggenggam tawa kita
Menjadi selir yang mendamaikan tangis,
mengibas kipas lamban agar semilir angin bisa kurasakan

Sementara aku telah terkafan rindu tak kenal habis
Terpejam di gelap yang bengis
Menyeberangi abad yang pernah membungkus kita dalam Absurditas Romantis


Kolaborasi puisi oleh @sedimensenja dan @penagenic

23 Jun 2013

Pecahan Sore

Senja meledak di kelamin cakrawala,
menafkahi gelisah penyair-penyair muda
dengan rindu yang lebih anyir dari darah Punisia.

Aku terlibat,
ulu hatiku mendidih,
liurku mengering,
lidahku mendapat izin menamai sore itu dengan sebutan Laknat.

Pada langkah pergi yang telah mengotori jejakmu,
sepiku lupa cara mengucap caci maki yang baik.

Menyangkarkan dendam untuk air mata yang asin,
mengalir dari mata berkarat yang tertusuk lidi-lidi buatanku sendiri.

Hingga sampai di telinga,
kabar seluruh badan malam telah membusuk.

Sementara tubuhmu sibuk mengedarkan wangi yang perih,
menjepit putaran detik dengan memar yang lebih kejam dari bekas cubitan ibu tiri.

Melupakan satu tugas terakhirmu, untuk sekadar mengubur
bangkaiku.

Seluruh Kita di Dalam Kata

Satu hari dengan pagi yang tak berjudul, aku tak ingin berkhianat atas sajak yang akan kutulis.
Seperti keindahan, yang hidup atas paru-paru namamu.

Kuawali dari jelitamu, yang kuangankan mimbar bagi segala jenis kekaguman.
Nyalang matamu ialah terik, mengamini doa untuk mengawali segala kehidupan.
Rambutmu ribuan serat tanpa ruas.
Pantulan sinar rembulan imitasi, anak panah menuju pulang yang kupercayai.

Hembus napasmu, kehangatan yang setia memeluk daun telingaku;
yang merupakan keranjang, buah-buah ranum yang jatuh dari bibirmu. 
Keningmu, tenang permukaan telaga.
Melayarkan mimpi bibirku yang sekoci, menuju pulau sunyi yang tak memiliki pagi.
Bulu matamu atap dari istana yang megah, sandaran tubuh untuk berteduh, dari terik hingga hujan yang dijatuhkan semesta. 
Kedipanmu hening damai tanpa suara, santun langkah kaki jenjang bidadari yang mengitari purnama.
Bibirmu debar debur laut, pembasuh paling riang, penerbang sukma menuju temaram surga.

Lalu aku mengingat pelukmu; hangat muara jutaan cuaca, yang tak cukup kutulis dengan majas apa saja.
Bahkan pundakmu, bantal terbaik untuk kepalaku.
Padang pasir yang tak punya akhir dijelajah musafir — berparas serupa Yusuf. 
Sidik jarimu adalah arsiran acak di atas debu. Kujaga serupa kain beledu, rebah lembut damai kulit pipiku.
Lenganmu samudera yang membentang.
Tempat segala anak-anak rindu terdampar, penenggelam paling tenang, untukku yang tak pandai akan renang. 
Jemarimu runcing belati berkuku ungu, mengerat pergelanganku yang kaktus berdarah salju.

Kini, labirin-labirin hatiku, telah ramai menanti damai.
Kemarilah, bingkiskan sekotak pelukan berpita merah muda.
Jika kau mempercayai kisah ini, akan kusiapkan seluruh hangat yang kumiliki.
Semoga saja, Tuhan melibatkan kita pada takdir yang sama.


Kolaborasi puisi oleh @poetrypi dan @penagenic

29 Mei 2013

Dua Lelaki dan Puisinya

Kolaborasi puisi oleh @penagenic dan @penenun_kata

Pada kemarau ini, bulan masih mengantongi satu musim lagi
Iringan Nebula, beranjak dari ufuk dengan irama
Gerak anyelir mengobarkan angin, membentur ingatan yang retak
Tandangkan nyiur kecupan pujangga kecil di bawah pohon Oak
Mendaras tangis bagi isyarat hujan yang tak membasahi apa-apa
Guratan tintanya, ia mundurkan usia
Mengeruhkan airmata yang lebih gelap dari susunan luka
Sedetik demi sedetik, hingga ia jatuh cinta pada masa lampaunya

Katanya, "Kekasih, kepadamu malam memeluk, kepadaku gigil sepi itu mendidih".
Gema goresan kata kembali membungkam keributan angkasa
Hingga tinta emasnya patah, pujangga itu lari menuju peraduan terakhirnya
Aku berangan kita menjadi sepasang jasad yang mabuk
Mengenali bidikan Atraile, Cupid, apalah namanya engkau

Tangkai pancaroba lebih perkasa menahan kantong-kantong doa
Wahai pemilik cinta, hunuskan sekali lagi dirinya padaku
Jernihkan aku sebagai air perigi untuk membasuh lukanya yang biru
Lelapkan nadinya pada arteri jantungku
Tukarlah debar kami yang tak lagi saling mengenali
Selamanya, hingga puisi ini mati di tanganku sendiri

26 Mei 2013

Hari Jadi Bungsu Puisi

Mey...
Beberapa jam sebelum aku terbangun,
barangkali sajak ini telah menuliskan dirinya sendiri.
Jemariku hanyalah kerani tanpa gaji,
yang bersedia menyalinnya disini.

Jika kelak kau telah menjadi yang kubayangkan dalam doaku,
tetaplah menjadi ibu lembut yang bersedia merawat puisiku.
Telah kubangun panti bagi mereka,
sebentuk keranjang beralaskan bunga,
sudi merangkum dan merekam harumnya perjalanan kita.

Seperti yang sering kau bilang,
"Tuhan itu genit"
Bisa jadi sajak ini mewakili pernyataanmu.
Kita hidup di tanah perjanjian yang berbeda,
namun masih menghirup udara dan kata-kata yang serupa.

Sejauh ini gerak jemarimu masih hening,
mungkin ia masih lelap pada perihal yang lebih penting.
Tapi satu hal yang perlu kau tahu,
wangi anggunmu masih kutunggu untuk melantik sajak-sajakku.

Selamat Ulang Tahun, Dian Meithasari...

25 Mei 2013

Monolog Menjelang Pagi


Sebelum dini hari menjadi pagi,
aku berangan mendengarkan napasmu
perempuan berjantung rembulan,
mahir menidurkan badai dengan usap tangan yang menenangkan

Sangka ini melahirkan ribuan anak danau di mataku
tempat tata surya berkaca,
menerka jumlah denyut di kedalaman duka,
mengukur ceruk luka yang semakin dalam karena kecewa

Gelap malam telah menyerupai warna bir yang kutuang
rindu menjelma degub yang meramaikan jantung serigala hutan
menuduh bibirmu sebagai korban,
sebait metafora dari kelenjar sayap yang mengajakku terbang

Ceritakan padaku,
seperih apa gerimis malam ini menjatuhi ubun-ubunmu
lebih nyeri dari jantung binatang buruan yang terpanah,
atau melebihi anyir sayatan yang dilembabkan nanah?

12 Mei 2013

Pergimu Sunyi


Segala jenis hening yang dituang malam terasa makin mengental
Semarak pujian tentang senja menjadi kabar yang lewat terdengar
Kita masih bertahan dengan peluk terpenggal

Di pelabuhan puisi ini, jelitamu tiba sebagai kapal tanpa nahkoda
Tapi pertengkaran, ialah anak ombak yang menenggelamkannya
Siulanku menjadi alunan suara yang tertiup dari bibir pendosa
Semoga di telingamu, ia sampai sebagai doa penenang usia

Ada sajak yang pernah kujadikan penutup telinga
Ketika sebuah pintu yang kau banting menjeritkan luka yang kupelihara
Lalu cahaya bulan mengering
Kau pergi mengenakan sepatu bernama waktu
Perpisahan telah menjelma badik yang menghabisi awal tahunku

Pergilah!
Barangkali di luar sana,
kau temukan peluk yang lebih tabah dari dada yang aku punya
Kau tetap menjadi pertanyaan dari kening yang kukerutkan
Kau tetap udara pengisi di pipi yang kucembungkan
Dan engkau tercipta sebagai sesuatu yang kumiliki, namun menolak kupahami

Seharusnya, kamu bisa hidup bahagia dengan ribuan senyuman di satu ruang
Seharusnya pula, ruangan itu adalah ingatanku

19 Apr 2013

Malam Sedang Hujan, Naylie

Malam sedang hujan, Naylie. Kali ini, bibirku menjadikan punggungmu sebuah sekoci yang mengantar kuplet untuk udara yang sakit. Mengabaikan gelombang jahat yang digaduhkan petir, juga gigil. Jangan tergesa membalikkan badan, anganku belum tuntas berlayar. Angan yang berisi pikiran janggal, bahwa dari punggung itu akan tumbuh sepasang sayap. Mengepakkan wangi ribuan kata yang kau curi dari sajak-sajakku yang belum sempat kau baca. Lalu kau akan begitu saja terbang, pergi, mengabaikan apa yang napasku hembuskan dan nadiku denyutkan.

Jika pikiranku sudah mencapai tengkukmu, ada teduh yang tak pernah selesai. Gerak lamban daun-daun nyiur, menyiulkan suara ratusan dewa yang sedang menidurkan rembulan luka karena gerhana. Di situ, ada udara yang tak cukup digambarkan dengan kata sejuk. Wangi paling taman, tempat dimana ribuan sajak dimekarkan.

Lalu lenganmu, tempat dadaku bermain untuk mengelabuhi dingin. Pengukur suhu terbaik ketika tubuhku mulai didemamkan rindu. Kadang, aku ingin membangun istana ciuman di sana, lalu memahatkan beberapa haiku di sebuah prasasti rahasia yang mengelilinginya.

Ketika kubayangkan tubuhmu telanjang, Naylie, ada ranum yang selalu merayu gerak mataku agar berhenti di payudaramu. Darah yang mengalir lebih deras dari sebelumnya, ketika telapak tanganku mulai berkhayal untuk menyentuhnya. Aku menemukan jutaan musim dari bentuk tubuhmu. Tak hanya hujan, juga tak hanya salju. Angin yang tiba-tiba terpejam, terik yang kadang menghajar, juga bintang-bintang palsu yang memegahkan semesta kulitmu.
Ajak aku menua bersama usiamu.

25 Mar 2013

Sekali Lagi

kau kirim lagi sebuah tanda
meleleh lalu menggarisbawahi puisiku
serupa tanda tangan yang disetujui alir darahmu

kau kirim lagi sebuah aroma
aroma keringat lelah dari kekalahan
meruapkan cerita senja yang kita racuni dengan pertengkaran

kau kirim lagi sebuah cahaya
santun menyelinap dari tingkap mimpi yang selalu kubuka
mengubah cacat purnama yang dilukai gerhana

19 Mar 2013

Jejakmu di Halaman Berpasir

apa yang diharumkan hujan ini, Carine?
di halaman berpasir, jejakmu biru
samar keluar dari rahim persembunyian,
menjejakkan cerita yang kau hirup dari angin kayangan

almanak kembali berpeluh
tanpa kita, penanggalan hanyalah lembar maya yang lebih basah dari airmata
hingga kita menyerah ditelan dongeng-dongeng asing
lalu melangkah meninggalkan rumah puisi yang ditegarkan angin

mimpi menjadi penguasa di kepalamu
matamu menjadi benih bagi puisiku
ketika sebuah luka menegur ingatan
aku paham,
engkau adalah alasan kenapa malam menjadi lebih cemerlang

engkau lebih hidup dari puisiku
hiduplah!
lebih hidup dari jemari yang mengusap embun di kaca jendelaku
akan tiba saatnya,
kita dihidupi pelukan dengan debar yang jujur di sekelilingnya

begitulah aku mengagumi semestamu
tempat kau menyembunyikan pecahan-pecahan langit
mendung yang mengisi rongga indera
juga wangi ribuan bunga di taman raksasa

9 Feb 2013

Munajat Ketakutan

Sepertiga petang menunduk. Kita berbagi sepiring senja yang sejak pukul lima sore itu sudah dihidangkan langit barat, tanpa kita pesan. Lagi-lagi, temaram menjadi awal kecurigaan dari gejala musim yang ditakutkan langit. Berapa banyak lagi sajak yang harus kutulis di linimasaku sore ini? Untuk menghargaimu, atau untuk melibatkan diri masuk dalam putaran indah yang dibuat oleh waktu. Tangan kita saling menggenggam, memang. Duduk berhadapan, mendatangkan tafsir yang tak janggal untuk beberapa pasang mata yang memandang. Kita adalah sepasang kekasih yang tak membutuhkan apa-apa, saat itu.

"Jangan terlalu takut pada cakrawala sore ini, ia hanya cermin yang memantulkan alismu" bathinku. Seharusnya kata ini kuucapkan langsung di depanmu, sebab aku menghadap timur, engkau yang menghadap barat. Tapi sudahlah, aku hanya ingin engkau lebih intim dengan pikiranku, itu saja. Aku takut. Aku takut dengan daidan yang merupa pagar sebelum memasuki hatimu. Jangankan mengetuk, melihatnya saja aku takut. Akan lebih baik jika aku beranggapan, bahwa aku hanyalah kabut baru, yang sebelum pagi datang nanti harus segera beranjak dari gunungmu. Ketakutanku adalah aroma tipis yang memasuki penciuman para pendaki. Ya, aku mencintaimu dengan segala ketakutanku. Kata-kata itu bisa kau baca di linimasaku. Dan ketakutan ini kubayangkan warna-warni yang kulihat di dinding gelembung sabun. Tipis dan mudah diletuskan. Semoga.

Untukmu yang sore itu mengenakan gaun garis-garis hijau pastel, aku menyimpanmu di pikiranku. Agar mudah aku melihat warna yang kerap memerahkan pipimu, ketika di depanku. Akan kutanyakan lagi pada Tuhan, apakah warna itu juga yang Dia gunakan memperindah pelangi? Jika memang begitu, pantas saja jika beberapa rintik hujan yang jatuh selalu berharap untuk kau tangkap. Aku mengagumi keanggunan caramu memperindah bumi. Cukup! Tuhan lebih tahu, jika engkau aku miliki, tentunya tak akan ada hal yang bisa kupertanyakan lagi.

21 Jan 2013

Suami Idaman

Menjelang senja, dimeja pojok kafe itu...
Seorang perempuan cantik berumur sekitar 21 tahunan duduk sendirian, merokok santai sambil mencorat-coret layar telepon genggamnya menggunakan sebuah pena kecil. Meja dihadapannya hanya terisi secangkir kopi dan sepiring roti bakar.
Kalau tidak salah, perempuan cantik itu bernama Rika.

Selang waktu kurang lebih satu jam, datang dua cewek cantik seumuran dia yang berdandan anggun sekali. Mungkin, namanya Silvy dan Rena. Entahlah, mereka terlihat sempurna sekali. Cantik, seksi dengan postur tubuh tinggi, rambutnya panjang dan lurus. Terlihat cukup terawat dibanding perempuan lain seumurannya. Mereka menghampiri Rika yang sendirian. Tak ada sedikitpun sapaan dari bibir Rika. Entah kenapa, Rika seakan enggan menanggapi kedatangan Silvy dan Rena. Mereka bertiga saling diam.
Apa yang sedang mereka diamkan?

Tak lama waktu berselang, akhirnya mereka saling ngobrol dengan nada yang agak tinggi. Sepertinya mereka sedang bertengkar. Dari kejauhan, tak jelas apa yang sedang mereka bahas. Saling tunjuk muka. Apa yang mereka pertengkarkan?
Sebelum akhirnya mereka dipersilahkan meninggalkan kafe itu oleh salah satu karyawan karena dianggap mengganggu kenyaman pengunjung lain, dengan tamparan keras ke muka Rena, Rika berteriak lantang dan jelas sekali "Dia itu suamiku! Suami yang sangat aku cintai selama ini!"
Saat mengucap kata "DIA", jari telunjuk Rika mengarah ke Silvy.

20 Jan 2013

Darimu, Menu Makan Siangku

Selamat Siang, Elwa...
Disini tepat pukul 12:07, matahari sedang terik-teriknya. Dan aku sedang malas meninggalkan ruangan untuk makan siang. Membaca suratmu belasan kali, rupanya sudah cukup mengenyangkan, siang ini. Eh, ini gak gombal loh! :)
Aku ingat saat kita masih satu kota, di jam-jam seperti ini kita sering menyempatkan makan siang bersama. Kau selalu menambahkan beberapa sendok nasi ke piringku, padahal nasi itu sudah menjadi porsimu. Dan aku masih ingat alasan-alasan yang kau ucapkan untuk menghentikan omelanku tentang kebiasaan burukmu itu.
"Aku tadi terlalu banyak makan camilan dikantor..."
"Tadi pagi aku sarapan terlalu banyak soalnya, Sayang..."
Dan masih banyak lagi alasan-alasanmu, aku tak mampu mengingatnya.

Oiya, surat balasanmu aku terima empat hari lalu. Seperti biasa, suratmu selalu menjadi debt collector  yang rajin menagih senyumku. Lembaran yang tak pernah kulipat itu saat ini sedang kubayangkan zippo-ku yang tertinggal di kantong jaketmu. Saat aku mulai menyentuh surat itu untuk kubaca, tiiing... suara zippo itu terbuka dan menggema. Jempol lembutmu menyentuh pemantik, dan wuuusssshhh... asap rokokku memenuhi ruang sempit kamarku. Yah, membaca surat balasanmu kubayangkan saat kita merokok berdua. Satu batang saja, kita hisap bergantian. Jika ini habis, kita nyalakan satu batang lagi, kita hisap bergantian lagi. Sungguh, kebiasaan konyol yang kadang tak dimengerti oleh pikiranku sendiri. :))

Dan entah kenapa, siang ini tiba-tiba aku kangen bertengkar sama kamu. Aku kangen cemberutmu. Aku kangen caramu menjawab pertanyaanku dengan alis yang terangkat. Aku kangen seluruh gerakanmu. Aku kangen pipimu yang sesekali kau cembungkan saat kamu kesal. Kesalahan kecilku yang terkadang kamu besar-besarkan, namun tak jarang pertengkaran kita itu berakhir dengan kemesraan. Api rokokku yang mengenai kulitmu, misalnya. Sering kali hal itu terjadi, kan?! Tapi saat kamu kuberi kesempatan untuk membalas, jawabanmu selalu lucu, "Gak mau!! Balesnya dicium aja!!" Ah kamu, bikin aku pengen cepet pulang! :)
Sekarang coba kamu hitung, sudah berapa kata kangen yang aku tuliskan? Jumlahnya sama persis dengan tanggal jadian kita, kan?!
Aku harap kamu bisa tersenyum setelah kamu menghitungnya.

El, dari keluhanku tentang kepenatan kapan hari, tiba-tiba muncul beberapa ketakutan. Meskipun aku tahu ketakutan ini tanpa alasan, tapi aku masih belum punya jawaban untuk menghilangkan. Tentang ratusan senja yang kita lihat di waktu yang berbeda, juga tentang beberapa cerita yang tak sempat kau tuliskan melalui kata.
El, selama aku tak berada disampingmu, jangan kau bilang tak pernah ada yang menggodamu. Setelah aku, lelaki mana yang mampu mendustai paras imutmu? Mata lelaki mana yang akan berkedip melihat gerakmu?
Pintaku sederhana, El, jangan kau nyalakan korek untuk rokok orang lain, yah... Jangan kau cembungkan pipimu di depan cowok lain, kurangi gerak menggelikanmu jika kau tak ingin aku terbakar api cemburu.

Jam istirahat sudah habis, El. Meski aku merasa beberapa penggal kata ini belum cukup menenangkan gelisahku atas segala sesuatumu disana, kuharap kau akan senantiasa mengingat apa yang pernah kita pahat. Jadikan semua itu sebuah prasasti yang akan kita pugar setelah aku pulang nanti. Tetaplah mendampingiku melangkah meski harus menjatuhkan debar selanjutnya.
Peluk dan ciumku dari kejauhan kotamu...

I Love You :*

18 Jan 2013

Gerimis Meracuni Nadi

Tengah malam ini aku terbangun, El...
Entah aku yang tidur terlalu sore atau kamu yang tak mau mendatangi mimpiku. Kubuka gorden kamar, di luar masih gerimis. Kecipaknya manja, mirip suara ciuman bibir kita di beranda rumahmu dulu yang hampir saja ketahuan Kakakmu. El masih ingat kejadian itu? Kadang aku tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Antara senyum dan rindu, ada pertanyaan yang belum pernah bisa dijawab waktu.
Kapan kita bisa mengulang lagi semua itu?

El, selain suara gerimis ini, ada suara lain yang sebenarnya ingin sekali kudengar.
Debarmu. Ya, debarmu.
Suara gaib yang kerap menggema menjelang pertemuan kita. Riuhkan dada dengan getar-getar kecil yang lebih samar dari gerakan detik jam. Jika kamu ada di sini, mungkin aku sudah berhasil membuatkanmu satu pesawat dari kertas. Yang selalu kubayangkan akan membawa kita menuju sebuah dunia yang berisi timbunan mimpi-mimpi kita.
Ah, malam ini seharusnya tak ada. Seharusnya aku tak terbangun sendirian seperti ini.

"With you is where I'd rather be.. But we're stuck where we are and it's so hard.. So far, this long distance is killing me.. I wish that you were here with me.."
Ditambah lagi lantun lagu itu mengitari memar dadaku yang telalu lama diinjak jarak. Jika tubuh ini kayu, mungkin sudah menjadi tatal yang dirajam tajamnya sebuah rindu. Sampai kapan sunyi ini menjadi epilog di pendengaranku, El?
Sebenarnya aku ingin sesekali kita bertemu, saling berpelukan, agar engkau paham tentang suhu tubuhku yang tak pernah merasa selesai membahagiakanmu. Menindaklanjuti sebuah rasa, agar cinta bisa tersimpan dengan baik di tempat yang lebih harum. Tak seperti jarak ini, kejam dan biadab mencabik nadi.

Disini, waktu berjalan tak lebih cepat dari laju siput. Aku menyelipkan kenangan di permukaan layar laptop yang sedang kupakai mengetik surat buatmu ini. Saat kamu menerimanya nanti, semoga kamu bisa menebak warna piama yang sedang kupakai saat ini. Aku rindu kamu, El, rindu suapan es krim dari tanganmu, rindu spageti instan buatanmu. Selama aku berunding dengan jarak, tak ada yang bisa membuatku tabah dan sekuat ini, selain mengingat caramu mencintaku yang selalu kau lakukan seperti kedipan. Lakukan sekali lagi, Sayang, untukku, juga untuk kepulanganku.

Terimakasih untuk waktumu yang telah bersedia melumasi sendi dan menguatkan tulang-tulangku.
Dari kekasih sederhana yang sedang memperjuangkan kebahagiaanmu...
I Love U :*

16 Jan 2013

Sengketa Rindu Dari Kejauhan

Saat menuliskan ini, aku merasa sangat bahagia. El tahu kenapa? Ada beberapa kalimat yang harus kupetik dari surat yang kau kirimkan kemarin.
Aku tidak akan mengucapkan, "Aku masih mencintaimu", karena aku tidak pernah berhenti melakukannya, sejak pertama hati kita rebah di genggaman yang sama.
Rinduku perlahan pudar membaca itu. Beberapa detik terpejam. Aku mengingat hari ini seperti aku mengingat hari ulang tahunmu, juga hari pertama kita bertemu, dimana senyum dan seluruh gerakmu menjadi bahan terbaik yang tak pernah bosan aku pikirkan.

El, sejujurnya saat ini aku ingin merayakan rasa ini bersamamu. Dengan makan malam di tempat kesukaanmu, atau sekedar menyusuri jalanan kota, menikmati hujan dengan berbagi cerita tentang apa yang sudah kita lakukan seharian. Aku ingin melihat kebiasaan lucumu, memercikkan air kecil-kecil dari pipet minumanmu ke wajahku.
Harus malam ini! Tak boleh besok, lusa ataupun kapan. Sebab, mencintaimu selalu kulakukan sekarang, apa adanya, semestinya dan semoga seterusnya. Namun jarak...
Ah, inilah hal yang paling kubenci dari jarak!!

Setelah beberapa bulan aku disini, tak ada lagi sidik jari yang biasa dihafalkan kulit pipiku. Tak ada lagi cubitan-cubitan kecil di pinggangku ketika aku ngebut di jalanan, seperti kebiasaan yang El lakukan saat kuboncengkan. Bangku kiri yang selalu kosong saat berangkat dan sepulang kerja, kerap membuat aku muak pada apa yang bernama "Tugas".

Apakah ini siksa sementara untuk kita? Agar kita semakin paham bahwa kita memang saling membutuhkan? Kamu nyaman dengan jarak ini, El? Aku butuh jawaban atas pertanyaan ini, Sayang...
Jika boleh kugambarkan rinduku padamu, sama halnya saat kamu terpejam. Betapa besarnya hingga kau tak dapat melihat apa-apa. Beberapa cerita yang berhasil kuloloskan dari tawamu, tak ubahnya ludah pahit yang terpaksa harus kutelan.

El, di bagian akhir suratku kali ini, aku ingin sekali lagi mengatakan bahwa aku rindu menatap bola matamu yang selalu mampu menunda gerimis, suara tawamu yang menyerupai lantunan doa untuk bahagiaku, juga pelukanmu yang kerap menyediakan tempat lapang bagi dadaku. Aku mencintaimu layaknya izin semesta yang menurunkan hujan.
Disana, tetaplah menjadi bagian terbaik yang bersedia menampung dan merawat seluruh sisa usiaku, kelak...

Dari lelaki yang tak pernah bosan mencintaimu... I Love You :*
Di luar kata-kata yang kutulis disini, aku menelanmu sebagai manis yang dikandung madu. Bergeraklah di tubuhku sebagai hal yang selalu dimohon oleh nadiku.

14 Jan 2013

Senja Sedang Menjadi Ibu

El, di tempat kerjaku sore ini, senja sepertinya sedang menjadi Ibu yang berkali-kali mengingatkan aku untuk setia. Seperti kebiasaan Beliau saat di rumah, nama perempuan yang Ia sebut adalah kamu. Dan tak ada salahnya jika sebelum pulang kerja ini, aku menyempatkan sedikit waktuku untuk menuliskan beberapa paragraf kecil buatmu. Tentang beberapa pertanyaan dan pernyataan yang mungkin sedang El tunggu. Sama seperti surat balasan yang kamu kirimkan beberapa hari lalu, aku menunggunya.

Kabar El baik, kan?
Ini pertanyaan awal yang selalu ingin kujawab sendiri, "Iya, kabarku baik-baik saja..." Semoga saja kenyataannya sesuai dengan harapanku.
Pekerjaan lancar?
Sebelum kau membalas surat ini dengan pertanyaan yang sama, kukabarkan bahwa pekerjaanku baik-baik saja. Meski ada sedikit ganjalan masalah hati. Biasalah, namanya juga jarak, pasti punya ribuan cara untuk membisikkan hal-hal indah selain kamu. Dan kamu tak perlu khawatir tentang hal itu. Seperti yang aku bilang sebelum-sebelumnya, aku dilahirkan di dunia ini hanya untuk mengucapkan "I Love You" ke kamu, barangkali seperti itu. :)
Masih ingat lyric Your Call-nya Secondhand Serenade yang itu? Kesukaan El, Kan?

Di paragraf terakhir ini, El, aku hanya ingin menyampaikan perihal sederhana, yang mungkin juga akan kau dengar kelak di usia kita yang sudah memasuki kepala lima. Aku masih mencintamu. Dan jika kamu ada waktu luang, sempatkan membalas suratku ini. Tak perlu menuliskan banyak hal. Aku hanya ingin membaca empat kata saja darimu. "Aku juga masih mencintaimu", cukup.
Jadilah angin peniup yang selalu menerbangkan mimpi besarku, Sayang, sekencang apapun itu. Untuk kita, dan sesuatu yang sering kita sebut Kelak.

I Love You... :*