22 Des 2015

Surga Lain yang Belum Kau Ketahui

surga lain yang kusebut itu adalah kau;
perempuan yang digaris takdir memiliki rasa takut pada gigil dingin dan badai petir
warna emas langit barat ketika sore mulai bergulir
atau perkara paling rumit yang tak bisa begitu saja diurai
lengkap dengan pikiran-pikiran sederhana dan isi kepala yang terkadang dipenuhi tanya

surga lain yang kusebut itu adalah kau;
pemilik dua tanggal istimewa di bulan desember yang berlangit basah
lahir dan diberikan hari terbaik yang disebut ibu bagi anak-anakku
pemilik kantuk di waktu yang sama, ranjang yang sama
meski sesekali harus tidur di jam berbeda

surga lain yang kusebut itu adalah kau;
pembuat suara benturan sendok dan cangkir kopi setiap pagi
terbangun lebih awal sebab mengemban tugas menyiapkan banyak hal
pelantun doa merdu sebagai cara meringankan berat beban
tak seberapa suka puisi meski lelakinya menulis berkali-kali

surga lain yang kusebut itu adalah kau;
tubuh mungil sebagai penggenap ragaku yang ganjil
tempat pulang juga sarang bagi segala bentuk kecemasan
lembar paling bersih di mana aku bisa membaca berita-berita baik
ranting kukuh dan segar tempat daun-daunku memilih tinggal

surga lain yang kusebut itu adalah kau;
pencipta rindu sepanjang hari, di selusin bulan,
di setiap angka arlojiku yang tak memiliki jarum detik
mahir berdandan apa adanya dan tak menyukai gemerlap lampu-lampu pesta

surga lain yang kusebut itu adalah kau;
yang selalu bersedia dicintai dan mencintai seseorang yang menulis puisi ini

15 Okt 2015

Sepasang Kelingking di Kamis Siang

sepasang kelingking telah kita tautkan siang tadi
jangan lagi menjauh, katamu
sebab kata jauh, tak lebih ialah penjara yang hanya dibangun
untuk pikiran-pikiran kalah

sementara separuh dadaku paham,
debarmu ialah suara yang dengan sengaja pernah ia rekam
namun tak pernah mampu ia tirukan

terik siang seperti tak ingin meminjamkan payung
untuk aku berlindung dari isi kepalamu yang menyamai gerimis
wajah yang luput dari pulasan bedak
bibir tipis disaput gincu
cukup mewakili rimbun akasia yang meneduhkan taman-taman kota

ternyata semestamu masih sama
tatapan matamu setara bintang-bintang jatuh
setiap kedipannya membuatku lupa
hari ini senja dimulai pukul berapa

kata-katamu panjang dan lembut
seperti gulungan benang-benang yang mengait di mesin tenun
hingga terbentuk selembar sutra
menggambar kekagumanku
menulis rahasia tanpa peduli melacak asal-usulnya

tak ada yang perlu dibatalkan!
sebab aku mencintaimu, dengan segala ketelanjuran

22 Sep 2015

Sederhana Saja

saat kita tua nanti, aku hanya ingin mengajakmu
mengamati bagaimana cara semesta saling melibatkan
pagi yang selalu melibatkan kicau camar,
malam yang kerap melibatkan bintang,
juga semilir angin sepanjang hari
yang mengajari daun-daun menari
sederhana, bukan?

setelah itu, aku akan mengajakmu
untuk memohon dengan cara mereka
pernahkah kau dengar cara mereka berdoa?
jika kau tak pernah mendengar itu,
mari meniru

sebuah permohonan tak harus terdengar, sayang
seperti jantungku yang meminjam degupmu
darahku yang melibatkan desirmu
juga kedipmu yang melumasi mataku

kita disatukan
layaknya pagi yang selalu melibatkan kicau camar
malam yang kerap melibatkan bintang,
juga semilir angin sepanjang hari
yang mengajari daun-daun menari
sederhana, bukan?

4 Sep 2015

Ruang Percakapan

kita terkunci di ruangan ini
pengap dan gelap, kataku
aku tak pernah bisa melihat rasi bintang
bulan kesiangan
juga jendela kaca yang mengembunkan sisa air hujan

siapa yang mengunci kita di sini?
waktu yang kurang baik hati,
atau hanya rasa takut untuk saling memiliki?

sementara dari matamu,
kulihat jatuh cinta seperti manis kembang gula
kagum kita,
nanar mata bocah lapar yang ingin menjilatinya

atau kita tak perlu keluar dari ruangan ini
menikmati percakapan yang selalu luput direkam matahari
di sini pengap dan gelap
tapi aku bahagia, katamu

14 Jul 2015

Bait Singkat dari Meja Bambu

ternyata, waktu juga bisa berubah menjadi hakim yang adil
melantik purba rinduku,
tertulis di lembar terakhir kalender usang yang hanya memuat bulan-bulan ganjil

lelah sudah terbaring,
pulas mendengar dongeng tentang baju penghangat yang kaukenakan dengan cara terbalik
cemas sudah mengalah,
santun menunduk dibius aroma parfum yang terus membuntuti

entah kapan, atau barangkali nanti malam
rinduku akan sekali lagi mendatangimu dengan bibir gemetar
mengantar pertanyaan bagaimana dan mengapa yang berulangkali gagal ia sujudkan
sesekali, ajari dia tertawa seperti anak-anak angin yang bercanda dengan helai-helai rambutmu
agar ia paham, resah tak perlu dipelihara
ada baiknya segala yang diminta cukup disampaikan dalam doa

dari binar matamu,
aku membaca sebait kata pengantar di buku terbuka yang ditulis penyair piatu
sajak-sajak beraroma tanah basah
kalimat-kalimat yang memuat gundah
juga suara sunyi yang ditiupkan lamban daun-daun trembesi

sejak malam ini, mungkin kau akan percaya
rindu tak ubahnya dosa kecil yang hanya bisa diampuni oleh satu kali pertemuan
langkah ini hanyalah caraku membuktikan bulatnya bumi
berjalan menjauh, agar bisa menemukanmu kembali

7 Jun 2015

Minggu Malam di Surabaya Selatan

sepoi angin beraroma wangi malam itu
semerbak Lily menyusup ke penciuman,
menjalar ke debar-debar
harum itu diedarkan rona malu kita yang saling kejar di udara
kau duduk di depanku dengan senyuman yang sungguh tenang
berdua, kita mempelajari kecewa
tentang sesuatu yang mustahil untuk disatukan
kau iris perihnya menjadi beberapa bagian,
lalu kita nikmati bergantian

seketika semesta menahan napas,
ketika pandanganku berhenti di lapang dadamu
laksana langit bermahkota pelangi
tempat mandi anak-anak khayalku yang bermain air di bawah hujan pagi
dari dada itu pula, aku menyadap luka hidup dan pedihnya keterjatuhan
sebaris nama-nama berhasil kusimpan
nama yang kuanggap musuh besar paling licik,
di salah satu judul dongeng yang dulu diceritakan ibu setiap jelang tidurku

adakah temaram yang mampu melampaui sembap matamu?
sementara pertanyaan itu datang,
kita masih menyimpan kagum rahasia yang saling mencari di setiap malamnya
berpijak pada gundah,
mengitari halaman tanda tanya
meminjam kaki keliru bernama cinta

atau esok, kita tanyakan saja pada senja?
sambil mengajari anak-anak angin yang khilaf itu
bermain tiup menempelkan beberapa helai rambut di kenyal pipimu
percuma saja, malam tak juga menua
seperti ingin mencuri dengar atas cerita dua anak manusia
kebahagiaan yang dirundung kemustahilan
ketenangan yang menerus dihimpit kecemasan

hadirmu ombak laut setenang perigi
naluriku nakhoda muda yang gusar dan kurang teliti
sesumbar mengajakmu memandu kapal menuju dermaga
menghabiskan sisa usia dengan hangat rahasia sebagai tirainya
agar kau bersedia menetap di sini
menikmati denting kecapi
atau menjadi denyut-denyut ganjil yang menggenapi sepinya nadi

19 Mei 2015

Kedatangan Pemilik Sore

berawal dari ambang maya di pelataran kata
kita saling membaca
lalu terjangkit kagum yang sama
tak mungkin bisa dijelaskan pandangan mata, gerak raga
bahkan guncangan debar yang menginjak rapuhnya tulang-tulang dada

dengan kekuatan hasrat yang tak kauketahui,
aku mengumpulkan ribuan senja yang ramah
sebagai kalam yang kumaharkan
untuk cahaya sore yang biasa menyentuh hijau urat pipimu
aku juga memiliki sekumpulan degup yang jujur
sudi berkarib dan sedia mengawal ke mana perginya arah jantungmu

selanjutnya, seucap doa akan kutiupkan sebelum terpejam
agar ia menyatu dengan langit-langit kamar
suhu ruangan
serta apa saja barang bisu di situ
yang lebih dulu kasmaran pada semesta tubuhmu

maka tetaplah seperti ini
ajak aku menuju kota yang tak memiliki pagi,
atau terik matahari yang seringkali menyakiti
ditenangkan merdu tembang-tembang serangga
yang menggelar pesta sambutan untuk datangnya musim penghujan

masih tersisa satu tanya
sudah berapa hati yang jatuh, sesaat setelah sepasang mata itu kaukedipkan?