29 Mei 2013

Dua Lelaki dan Puisinya

Kolaborasi puisi oleh @penagenic dan @penenun_kata

Pada kemarau ini, bulan masih mengantongi satu musim lagi
Iringan Nebula, beranjak dari ufuk dengan irama
Gerak anyelir mengobarkan angin, membentur ingatan yang retak
Tandangkan nyiur kecupan pujangga kecil di bawah pohon Oak
Mendaras tangis bagi isyarat hujan yang tak membasahi apa-apa
Guratan tintanya, ia mundurkan usia
Mengeruhkan airmata yang lebih gelap dari susunan luka
Sedetik demi sedetik, hingga ia jatuh cinta pada masa lampaunya

Katanya, "Kekasih, kepadamu malam memeluk, kepadaku gigil sepi itu mendidih".
Gema goresan kata kembali membungkam keributan angkasa
Hingga tinta emasnya patah, pujangga itu lari menuju peraduan terakhirnya
Aku berangan kita menjadi sepasang jasad yang mabuk
Mengenali bidikan Atraile, Cupid, apalah namanya engkau

Tangkai pancaroba lebih perkasa menahan kantong-kantong doa
Wahai pemilik cinta, hunuskan sekali lagi dirinya padaku
Jernihkan aku sebagai air perigi untuk membasuh lukanya yang biru
Lelapkan nadinya pada arteri jantungku
Tukarlah debar kami yang tak lagi saling mengenali
Selamanya, hingga puisi ini mati di tanganku sendiri

26 Mei 2013

Hari Jadi Bungsu Puisi

Mey...
Beberapa jam sebelum aku terbangun,
barangkali sajak ini telah menuliskan dirinya sendiri.
Jemariku hanyalah kerani tanpa gaji,
yang bersedia menyalinnya disini.

Jika kelak kau telah menjadi yang kubayangkan dalam doaku,
tetaplah menjadi ibu lembut yang bersedia merawat puisiku.
Telah kubangun panti bagi mereka,
sebentuk keranjang beralaskan bunga,
sudi merangkum dan merekam harumnya perjalanan kita.

Seperti yang sering kau bilang,
"Tuhan itu genit"
Bisa jadi sajak ini mewakili pernyataanmu.
Kita hidup di tanah perjanjian yang berbeda,
namun masih menghirup udara dan kata-kata yang serupa.

Sejauh ini gerak jemarimu masih hening,
mungkin ia masih lelap pada perihal yang lebih penting.
Tapi satu hal yang perlu kau tahu,
wangi anggunmu masih kutunggu untuk melantik sajak-sajakku.

Selamat Ulang Tahun, Dian Meithasari...

25 Mei 2013

Monolog Menjelang Pagi


Sebelum dini hari menjadi pagi,
aku berangan mendengarkan napasmu
perempuan berjantung rembulan,
mahir menidurkan badai dengan usap tangan yang menenangkan

Sangka ini melahirkan ribuan anak danau di mataku
tempat tata surya berkaca,
menerka jumlah denyut di kedalaman duka,
mengukur ceruk luka yang semakin dalam karena kecewa

Gelap malam telah menyerupai warna bir yang kutuang
rindu menjelma degub yang meramaikan jantung serigala hutan
menuduh bibirmu sebagai korban,
sebait metafora dari kelenjar sayap yang mengajakku terbang

Ceritakan padaku,
seperih apa gerimis malam ini menjatuhi ubun-ubunmu
lebih nyeri dari jantung binatang buruan yang terpanah,
atau melebihi anyir sayatan yang dilembabkan nanah?

12 Mei 2013

Pergimu Sunyi


Segala jenis hening yang dituang malam terasa makin mengental
Semarak pujian tentang senja menjadi kabar yang lewat terdengar
Kita masih bertahan dengan peluk terpenggal

Di pelabuhan puisi ini, jelitamu tiba sebagai kapal tanpa nahkoda
Tapi pertengkaran, ialah anak ombak yang menenggelamkannya
Siulanku menjadi alunan suara yang tertiup dari bibir pendosa
Semoga di telingamu, ia sampai sebagai doa penenang usia

Ada sajak yang pernah kujadikan penutup telinga
Ketika sebuah pintu yang kau banting menjeritkan luka yang kupelihara
Lalu cahaya bulan mengering
Kau pergi mengenakan sepatu bernama waktu
Perpisahan telah menjelma badik yang menghabisi awal tahunku

Pergilah!
Barangkali di luar sana,
kau temukan peluk yang lebih tabah dari dada yang aku punya
Kau tetap menjadi pertanyaan dari kening yang kukerutkan
Kau tetap udara pengisi di pipi yang kucembungkan
Dan engkau tercipta sebagai sesuatu yang kumiliki, namun menolak kupahami

Seharusnya, kamu bisa hidup bahagia dengan ribuan senyuman di satu ruang
Seharusnya pula, ruangan itu adalah ingatanku