16 Feb 2014

Di Hadapan Subuh

Suara hujan tak lagi senada.
Aku berkemas ketika jarum detik masih berputar setengah lingkaran.
Mengelabuhi sisa gema langkahmu yang meneruskan suara bantingan pintu.
Subuh merapat, menggaungkan khusyuk suara adzan yang semakit dekat.

Di sini, aku duduk berhadapan dengan halaman yang pernah kau sakiti.
Jejakmu pernah menginjak segala yang tak tampak,
mengundurkan diri meski tak ada yang menginginkan engkau pergi.
Kamu sudah terlambat, kata waktu.
Masih banyak dongeng kita yang harus kuusung satu per satu.

Aku sedang menunggu badai yang berpusat dari senyummu,
kenangan, juga beberapa perihal yang lupa kita tuliskan.
Badai yang tak pernah dihitung oleh dunia
seperti air telaga yang gagap membaca gerak bulu-bulu angsa

Engkau pernah lahir dari air mataku,
yang kerap memohon kamu ada.
Sebab rindu kerap merupa lilin tanpa sumbu.
Leleh tanpa api yang kunamai pelukmu.

Sore nanti, jika senja mulai menguning,
sempatkan waktu untuk menengok keadaan rinduku.
Kita pinjam sampan para nelayan,
menghadapi ombak yang ditiup ramah angin daratan.