2 Des 2013

Sebelum Dia Menyebutmu Istri

Perempuan yang tak kuinginkan itu pulang dengan langkah tak terdengar. Membawa rekaman jerit, bentak, juga beberapa cerita tentang apa yang membuat sembab mata dan lebam biru di pipinya.

Aku pikir, ia datang untuk memberitahukan makanan berbahaya apa saja yang tak ia perbolehkan untuk aku makan. Sebab dia takut aku terkena stroke atau serangan jantung lalu mati, dan ia tak bisa mendatangiku lagi.

Atau mungkin, ia hanya ingin sekadar mengingatkan kalau dia masih sangat membenci acar, yang ia bilang selalu membuat liang surganya basah, dan ia tak mau aku kecewa ketika menyetubuhinya di hotel-hotel murah kelas Kamboja.

Malam itu ia datang tak mengenakan kacamata. Ia bilang ingin sekali melihatku telanjang tanpa terhalang apa-apa. Ia membawa setangkai bunga berwarna merah muda. Cantik sekali! Persis lesung pipit dan rambut cepolnya yang sering aku tuliskan dalam puisi. Lesung pipit yang selalu aku puja, aku pelihara, yang tak pernah menguap begitu saja meski berulang kali aku campur dengan majas apa saja.

"Tadi waktu aku beli, bunga ini wangi sekali" katanya.
"Tidak seperti kenangan dalam kepala kita yang mampu bertahan lama, wangi bunga bisa saja lenyap mengudara ketika ia sampai di tangan penerimanya."

Kami sempat terlibat perdebatan kecil, tentang siapa yang dulu meninggalkan atau ditinggalkan. Aku memilih yang kedua, namun ia menyanggahnya. Ia bilang, "cinta kita tak pernah tanggal, meskipun kita berjauhan dengan peluk terpenggal."

Untuk melanjutkan perayaan cinta dan dosa, malam itu kami sengaja memilih ruangan paling gelap. Agar tak ada siapapun yang melihatnya kecuali kita bertiga; Tuhan, aku dan dia. Sebab cinta hanya membutuhkan itu saja.