3 Okt 2013

Cinta Kita Tak Membenci Jarak

Akhirnya rindu merayuku untuk menuliskan sebuah pulang,
tentang sebuah pintu yang sengaja kau buka hingga lupa kau tutupkan
Ini adalah senja pertama,
di mana aku duduk berhadapan dengan rindu yang merajalela

Nadi ini, masih saja detak pada puisi
Satuan jarak yang mendidihkan kata,
namun kita masih saling panggil dalam bahasa
Menjadi barangkali yang belum tentu diamini
Hingga malam ke seratus,
kita masih riuh menuliskan luka, juga cinta

Kita berdiam pada jarak yang bermusim resah
Mengelabuhi purnama yang serupa warna kulitmu,
mendustai pikiran bahwa rindu ialah kunang-kunang yang terbang dari matamu
Sekali lagi, aku ingin lebih khusyuk menghirup wangi sapamu, Esti

Tiada temu bagi sepasang mata pun sela jemari kita
Tiada temu yang paling tidak, mampu mereda rindu yang ada
Sebab yang tersisa hanyalah kenyataan bahwa jarak sedang dengan bebas menari-nari di antara
Sebab yang ada hanyalah potret kita dalam kebersamaan yang seperti hampa

Aku dijamu langit merah, dengan rangkai sempurna puisimu yang membuat senyum tampak semringah
Sesekali kututup mata, biar kehadiranmu dapat dengan nyata kurasa
Seakan tak peduli dengan beragam tanya, tak ambil pusing dengan tanggapan mereka
Biar ketika aku sedang cinta, tak kuberi celah masuk untuk satu pun luka
Biar ketika aku sedang cinta, yang kubayangkan hanyalah bahagia kita

Meski di benakku, duniamu kini masih tampak entah
Meski sebenarnya, apa yang sedang kita jalani ini tidak mudah
Namun, paling tidak, berjanjilah;
untuk jangan pergi, cintai aku sekali, dan secara lebih lagi.

Sebuah berbalas puisi oleh @estipilami dan @penagenic