21 Jan 2013

Suami Idaman

Menjelang senja, dimeja pojok kafe itu...
Seorang perempuan cantik berumur sekitar 21 tahunan duduk sendirian, merokok santai sambil mencorat-coret layar telepon genggamnya menggunakan sebuah pena kecil. Meja dihadapannya hanya terisi secangkir kopi dan sepiring roti bakar.
Kalau tidak salah, perempuan cantik itu bernama Rika.

Selang waktu kurang lebih satu jam, datang dua cewek cantik seumuran dia yang berdandan anggun sekali. Mungkin, namanya Silvy dan Rena. Entahlah, mereka terlihat sempurna sekali. Cantik, seksi dengan postur tubuh tinggi, rambutnya panjang dan lurus. Terlihat cukup terawat dibanding perempuan lain seumurannya. Mereka menghampiri Rika yang sendirian. Tak ada sedikitpun sapaan dari bibir Rika. Entah kenapa, Rika seakan enggan menanggapi kedatangan Silvy dan Rena. Mereka bertiga saling diam.
Apa yang sedang mereka diamkan?

Tak lama waktu berselang, akhirnya mereka saling ngobrol dengan nada yang agak tinggi. Sepertinya mereka sedang bertengkar. Dari kejauhan, tak jelas apa yang sedang mereka bahas. Saling tunjuk muka. Apa yang mereka pertengkarkan?
Sebelum akhirnya mereka dipersilahkan meninggalkan kafe itu oleh salah satu karyawan karena dianggap mengganggu kenyaman pengunjung lain, dengan tamparan keras ke muka Rena, Rika berteriak lantang dan jelas sekali "Dia itu suamiku! Suami yang sangat aku cintai selama ini!"
Saat mengucap kata "DIA", jari telunjuk Rika mengarah ke Silvy.

20 Jan 2013

Darimu, Menu Makan Siangku

Selamat Siang, Elwa...
Disini tepat pukul 12:07, matahari sedang terik-teriknya. Dan aku sedang malas meninggalkan ruangan untuk makan siang. Membaca suratmu belasan kali, rupanya sudah cukup mengenyangkan, siang ini. Eh, ini gak gombal loh! :)
Aku ingat saat kita masih satu kota, di jam-jam seperti ini kita sering menyempatkan makan siang bersama. Kau selalu menambahkan beberapa sendok nasi ke piringku, padahal nasi itu sudah menjadi porsimu. Dan aku masih ingat alasan-alasan yang kau ucapkan untuk menghentikan omelanku tentang kebiasaan burukmu itu.
"Aku tadi terlalu banyak makan camilan dikantor..."
"Tadi pagi aku sarapan terlalu banyak soalnya, Sayang..."
Dan masih banyak lagi alasan-alasanmu, aku tak mampu mengingatnya.

Oiya, surat balasanmu aku terima empat hari lalu. Seperti biasa, suratmu selalu menjadi debt collector  yang rajin menagih senyumku. Lembaran yang tak pernah kulipat itu saat ini sedang kubayangkan zippo-ku yang tertinggal di kantong jaketmu. Saat aku mulai menyentuh surat itu untuk kubaca, tiiing... suara zippo itu terbuka dan menggema. Jempol lembutmu menyentuh pemantik, dan wuuusssshhh... asap rokokku memenuhi ruang sempit kamarku. Yah, membaca surat balasanmu kubayangkan saat kita merokok berdua. Satu batang saja, kita hisap bergantian. Jika ini habis, kita nyalakan satu batang lagi, kita hisap bergantian lagi. Sungguh, kebiasaan konyol yang kadang tak dimengerti oleh pikiranku sendiri. :))

Dan entah kenapa, siang ini tiba-tiba aku kangen bertengkar sama kamu. Aku kangen cemberutmu. Aku kangen caramu menjawab pertanyaanku dengan alis yang terangkat. Aku kangen seluruh gerakanmu. Aku kangen pipimu yang sesekali kau cembungkan saat kamu kesal. Kesalahan kecilku yang terkadang kamu besar-besarkan, namun tak jarang pertengkaran kita itu berakhir dengan kemesraan. Api rokokku yang mengenai kulitmu, misalnya. Sering kali hal itu terjadi, kan?! Tapi saat kamu kuberi kesempatan untuk membalas, jawabanmu selalu lucu, "Gak mau!! Balesnya dicium aja!!" Ah kamu, bikin aku pengen cepet pulang! :)
Sekarang coba kamu hitung, sudah berapa kata kangen yang aku tuliskan? Jumlahnya sama persis dengan tanggal jadian kita, kan?!
Aku harap kamu bisa tersenyum setelah kamu menghitungnya.

El, dari keluhanku tentang kepenatan kapan hari, tiba-tiba muncul beberapa ketakutan. Meskipun aku tahu ketakutan ini tanpa alasan, tapi aku masih belum punya jawaban untuk menghilangkan. Tentang ratusan senja yang kita lihat di waktu yang berbeda, juga tentang beberapa cerita yang tak sempat kau tuliskan melalui kata.
El, selama aku tak berada disampingmu, jangan kau bilang tak pernah ada yang menggodamu. Setelah aku, lelaki mana yang mampu mendustai paras imutmu? Mata lelaki mana yang akan berkedip melihat gerakmu?
Pintaku sederhana, El, jangan kau nyalakan korek untuk rokok orang lain, yah... Jangan kau cembungkan pipimu di depan cowok lain, kurangi gerak menggelikanmu jika kau tak ingin aku terbakar api cemburu.

Jam istirahat sudah habis, El. Meski aku merasa beberapa penggal kata ini belum cukup menenangkan gelisahku atas segala sesuatumu disana, kuharap kau akan senantiasa mengingat apa yang pernah kita pahat. Jadikan semua itu sebuah prasasti yang akan kita pugar setelah aku pulang nanti. Tetaplah mendampingiku melangkah meski harus menjatuhkan debar selanjutnya.
Peluk dan ciumku dari kejauhan kotamu...

I Love You :*

18 Jan 2013

Gerimis Meracuni Nadi

Tengah malam ini aku terbangun, El...
Entah aku yang tidur terlalu sore atau kamu yang tak mau mendatangi mimpiku. Kubuka gorden kamar, di luar masih gerimis. Kecipaknya manja, mirip suara ciuman bibir kita di beranda rumahmu dulu yang hampir saja ketahuan Kakakmu. El masih ingat kejadian itu? Kadang aku tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Antara senyum dan rindu, ada pertanyaan yang belum pernah bisa dijawab waktu.
Kapan kita bisa mengulang lagi semua itu?

El, selain suara gerimis ini, ada suara lain yang sebenarnya ingin sekali kudengar.
Debarmu. Ya, debarmu.
Suara gaib yang kerap menggema menjelang pertemuan kita. Riuhkan dada dengan getar-getar kecil yang lebih samar dari gerakan detik jam. Jika kamu ada di sini, mungkin aku sudah berhasil membuatkanmu satu pesawat dari kertas. Yang selalu kubayangkan akan membawa kita menuju sebuah dunia yang berisi timbunan mimpi-mimpi kita.
Ah, malam ini seharusnya tak ada. Seharusnya aku tak terbangun sendirian seperti ini.

"With you is where I'd rather be.. But we're stuck where we are and it's so hard.. So far, this long distance is killing me.. I wish that you were here with me.."
Ditambah lagi lantun lagu itu mengitari memar dadaku yang telalu lama diinjak jarak. Jika tubuh ini kayu, mungkin sudah menjadi tatal yang dirajam tajamnya sebuah rindu. Sampai kapan sunyi ini menjadi epilog di pendengaranku, El?
Sebenarnya aku ingin sesekali kita bertemu, saling berpelukan, agar engkau paham tentang suhu tubuhku yang tak pernah merasa selesai membahagiakanmu. Menindaklanjuti sebuah rasa, agar cinta bisa tersimpan dengan baik di tempat yang lebih harum. Tak seperti jarak ini, kejam dan biadab mencabik nadi.

Disini, waktu berjalan tak lebih cepat dari laju siput. Aku menyelipkan kenangan di permukaan layar laptop yang sedang kupakai mengetik surat buatmu ini. Saat kamu menerimanya nanti, semoga kamu bisa menebak warna piama yang sedang kupakai saat ini. Aku rindu kamu, El, rindu suapan es krim dari tanganmu, rindu spageti instan buatanmu. Selama aku berunding dengan jarak, tak ada yang bisa membuatku tabah dan sekuat ini, selain mengingat caramu mencintaku yang selalu kau lakukan seperti kedipan. Lakukan sekali lagi, Sayang, untukku, juga untuk kepulanganku.

Terimakasih untuk waktumu yang telah bersedia melumasi sendi dan menguatkan tulang-tulangku.
Dari kekasih sederhana yang sedang memperjuangkan kebahagiaanmu...
I Love U :*

16 Jan 2013

Sengketa Rindu Dari Kejauhan

Saat menuliskan ini, aku merasa sangat bahagia. El tahu kenapa? Ada beberapa kalimat yang harus kupetik dari surat yang kau kirimkan kemarin.
Aku tidak akan mengucapkan, "Aku masih mencintaimu", karena aku tidak pernah berhenti melakukannya, sejak pertama hati kita rebah di genggaman yang sama.
Rinduku perlahan pudar membaca itu. Beberapa detik terpejam. Aku mengingat hari ini seperti aku mengingat hari ulang tahunmu, juga hari pertama kita bertemu, dimana senyum dan seluruh gerakmu menjadi bahan terbaik yang tak pernah bosan aku pikirkan.

El, sejujurnya saat ini aku ingin merayakan rasa ini bersamamu. Dengan makan malam di tempat kesukaanmu, atau sekedar menyusuri jalanan kota, menikmati hujan dengan berbagi cerita tentang apa yang sudah kita lakukan seharian. Aku ingin melihat kebiasaan lucumu, memercikkan air kecil-kecil dari pipet minumanmu ke wajahku.
Harus malam ini! Tak boleh besok, lusa ataupun kapan. Sebab, mencintaimu selalu kulakukan sekarang, apa adanya, semestinya dan semoga seterusnya. Namun jarak...
Ah, inilah hal yang paling kubenci dari jarak!!

Setelah beberapa bulan aku disini, tak ada lagi sidik jari yang biasa dihafalkan kulit pipiku. Tak ada lagi cubitan-cubitan kecil di pinggangku ketika aku ngebut di jalanan, seperti kebiasaan yang El lakukan saat kuboncengkan. Bangku kiri yang selalu kosong saat berangkat dan sepulang kerja, kerap membuat aku muak pada apa yang bernama "Tugas".

Apakah ini siksa sementara untuk kita? Agar kita semakin paham bahwa kita memang saling membutuhkan? Kamu nyaman dengan jarak ini, El? Aku butuh jawaban atas pertanyaan ini, Sayang...
Jika boleh kugambarkan rinduku padamu, sama halnya saat kamu terpejam. Betapa besarnya hingga kau tak dapat melihat apa-apa. Beberapa cerita yang berhasil kuloloskan dari tawamu, tak ubahnya ludah pahit yang terpaksa harus kutelan.

El, di bagian akhir suratku kali ini, aku ingin sekali lagi mengatakan bahwa aku rindu menatap bola matamu yang selalu mampu menunda gerimis, suara tawamu yang menyerupai lantunan doa untuk bahagiaku, juga pelukanmu yang kerap menyediakan tempat lapang bagi dadaku. Aku mencintaimu layaknya izin semesta yang menurunkan hujan.
Disana, tetaplah menjadi bagian terbaik yang bersedia menampung dan merawat seluruh sisa usiaku, kelak...

Dari lelaki yang tak pernah bosan mencintaimu... I Love You :*
Di luar kata-kata yang kutulis disini, aku menelanmu sebagai manis yang dikandung madu. Bergeraklah di tubuhku sebagai hal yang selalu dimohon oleh nadiku.

14 Jan 2013

Senja Sedang Menjadi Ibu

El, di tempat kerjaku sore ini, senja sepertinya sedang menjadi Ibu yang berkali-kali mengingatkan aku untuk setia. Seperti kebiasaan Beliau saat di rumah, nama perempuan yang Ia sebut adalah kamu. Dan tak ada salahnya jika sebelum pulang kerja ini, aku menyempatkan sedikit waktuku untuk menuliskan beberapa paragraf kecil buatmu. Tentang beberapa pertanyaan dan pernyataan yang mungkin sedang El tunggu. Sama seperti surat balasan yang kamu kirimkan beberapa hari lalu, aku menunggunya.

Kabar El baik, kan?
Ini pertanyaan awal yang selalu ingin kujawab sendiri, "Iya, kabarku baik-baik saja..." Semoga saja kenyataannya sesuai dengan harapanku.
Pekerjaan lancar?
Sebelum kau membalas surat ini dengan pertanyaan yang sama, kukabarkan bahwa pekerjaanku baik-baik saja. Meski ada sedikit ganjalan masalah hati. Biasalah, namanya juga jarak, pasti punya ribuan cara untuk membisikkan hal-hal indah selain kamu. Dan kamu tak perlu khawatir tentang hal itu. Seperti yang aku bilang sebelum-sebelumnya, aku dilahirkan di dunia ini hanya untuk mengucapkan "I Love You" ke kamu, barangkali seperti itu. :)
Masih ingat lyric Your Call-nya Secondhand Serenade yang itu? Kesukaan El, Kan?

Di paragraf terakhir ini, El, aku hanya ingin menyampaikan perihal sederhana, yang mungkin juga akan kau dengar kelak di usia kita yang sudah memasuki kepala lima. Aku masih mencintamu. Dan jika kamu ada waktu luang, sempatkan membalas suratku ini. Tak perlu menuliskan banyak hal. Aku hanya ingin membaca empat kata saja darimu. "Aku juga masih mencintaimu", cukup.
Jadilah angin peniup yang selalu menerbangkan mimpi besarku, Sayang, sekencang apapun itu. Untuk kita, dan sesuatu yang sering kita sebut Kelak.

I Love You... :*