9 Des 2014

Selasa Pagi

Selasa pagi pernah bertanya,
Bagaimana kabarmu?
Lembut, lamban menyerupai kepak sayap kelelawar yang berpura-pura membenci matahari
Melebihi lentur angin yang mengajari pohon-pohon menari
Selasa pagi juga bertanya,
Ke mana perginya pelukan yang pernah kaupuja dengan delapan ratus bahasa?
Kecup yang kaukatakan pandai menidurkan rembulan luka karena gerhana,
Atau usap paling menenangkan bagi angsa yang dijangkiti kecewa karena arus telaga
Perempuanku, aku gemetar mengingat suaramu yang tak lagi bisa kudengar
Memandang punggung yang perlahan menghilang
Dan rindu, telah menjadi hukuman atas dosa kecil yang hanya bisa diampuni oleh pertemuan
Seketika aku menggigil pada suhu terendah
Sementara hangatmu, layaknya punggung lembah yang disanjung ribuan kabut-kabut
Degupku parau
Diremehkan gurau angin dini hari
Diacuhkan sepi yang lebih sunyi dari denyut nadiku sendiri
Perihal apakah yang membuatmu setabah ini menanti?
Tanya Selasa pagi
Sebab dekapmu murni, bukan hangat buatan yang kumenangkan dari meja judi

1 Des 2014

Isi Kepalamu

Kepalamu seperti laci pribadiku
Berisi arloji, kartu memori yang tak kupakai lagi, juga gunting kuku; yang hanya kugunakan sekali dalam seminggu

Kepalamu layaknya gayung di kamar mandi
Suka bergoyang dan berputar-putar, ketika dialiri air dari keran

Kepalamu serupa warna cat rumah tetangga sebelah
Selalu diganti sesuai selera setiap tahunnya

Kepalamu seperti baju buruh pabrik yang susah dicuci
Sebab noda membandel, atau kotoran lain dan sisa-sisa oli

Kepalamu layaknya kipas angin di warung kopi
Terus berputar dan menoleh ke kanan kiri meski sepi pembeli

Kepalamu serupa lampu kamar yang lupa kumatikan
Tak terlalu terang, tak jarang hanya menganggu pejam

Barangkali seperti itu, kau menebak isi kepalaku yang masih selalu berisi tentangmu

19 Okt 2014

Di Balik Dinginnya Kota Rahasia

di kota dingin ini, yang pernah kusebut beranda tangisku
mulai terlihat sulur-sulur kenangan
satu nama tiba-tiba muncul sebagai ingatan
seperti jantung, ingatan kali ini memiliki degup abadi yang dilindungi waktu

aku pernah bertanya,
di mana sebuah pagi kausembunyikan?
di sebelah dadamu?
atau di samping sepatu yang mengantar pergimu?

sementara embun datang lebih dingin dari biasanya
tak ada gigil yang perlu kucurigai
aku hanya tak bisa melipatnya
seperti ada yang tak terbiasa
peluk itu telah berlalu; pengukur suhu terbaik bagi tubuhku

pada sepasang kelingking yang pernah kita tautkan,
aku memohon agar terbiasa lagi melihat matamu
melihat aku
melihat jendela terbuka
melihat senja
melihat remang lampu kota yang mulai menyala
atau melihat apa saja yang belum pernah kautangisi sebelumnya

pada kedua peluk yang saling menghangatkan,
aku berharap agar diizinkan lagi mendamaikan gigilmu
ah, bukankah kita sudah belajar berpura-pura untuk saling melupakan?
dan kita berkaca pada sesal,
bersitatap dalam tabah,
saling mendoakan dalam gundah,
sebab kita terlanjur terlibat di sebuah keputusan yang salah

23 Jul 2014

Senja yang Lupa Kutulis

Satu senja pernah kita habiskan dengan diam dan keadaan yang semakin mendingin. Sepasang kupu-kupu dengan sayap tua menguning, terbang menggiring kata bosan yang keluar dari bibirmu. Gerimis sore itu seperti jutaan tombak yang ingin menikam segala yang lelah di kepalaku. Hening membatu, tanpa satu pun suara yang berniat melenturkan lidah kita. Untuk mengelabuhi kecewa, di atas selembar roti aku melukis setangkai mawar dengan mentega. Kuletakkan tepat di sebelah teh wangi melati yang kau pesan dengan hati benci dan segala yang menyakiti.

Sore ini, sekeping kegagalan telah tersaji pekat di atas meja pertengkaran. Dimasak di sebuah dapur yang menyeruakkan wangi bunga-bunga setelah kau mengenal dia.
Petir di luar menyerupai suara tawa mereka yang di depannya dulu, aku pernah membanggakanmu.

Sepertinya kita butuh senja lain untuk mengumpulkan percakapan.
Satu sore saja, aku rasa tak akan cukup untuk menampung perbincangan kita yang semakin tajam dan mulai gemar saling melukai. Aku menyadari bahwa kita hanyalah sepasang permohonan yang tak pernah selesai di hadapan doa.
Sebelum kau dan aku benar-benar paham, pertemuan adalah perintah takdir untuk kita berpelukan, lalu saling tabah melepaskan. Kelak, silam juga akan mengajak kita untuk saling memunggungi. Tanpa perlu mengingat lagi, kedua dada kita pernah saling berjanji untuk mengingat sehidup hingga mati.

Ternyata benar apa yang dulu pernah aku takutkan, terutama perihal mencintai, melepaskan memang butuh rasa sakit yang lebih.
Semoga tulisan ini tak hanya berupa angin, yang membawa kabut senyummu menuju bening laut air mataku. Berbahagialah, rebahkan kekagumanmu di dadanya. Jangan lupa satu hal; datanglah kembali ke sini, jika kau butuh sesuatu yang bisa kau lukai.

17 Apr 2014

Empat Pertanyaan Menjelang Pukul Empat Pagi

Mual di perutku mulai merambat naik menuju tenggorokan. Arloji berantai hitam pemberian perempuan luar biasa yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan pukul 03:47 Waktu Indonesia Bagian Barat. Wajar saja jika dingin embun seolah menertawakan langkahku yang sempoyongan memasuki lorong kampungku menjelang pagi itu. Sebelum akhirnya berhasil membuka pintu rumah, tiba-tiba ingatanku membentuk sebuah tongkat yang memukulkan beberapa pertanyaan di kepalaku;

• Selain penyesalan, apa lagi perihal yang menakutkan?
• Jika tak ada puisi, dengan cara apa aku bisa menyembunyikan tangis?
• Apa yang bisa kulakukan jika masa muda Griselda Blanco ingin sekali menikahiku?
• Apa jadinya jika semua orang yang kusayangi berubah menjadi gantungan kunci?

13 Apr 2014

Luka Abadi yang Karam di Laut Puisi

Entah bagaimana persisnya
tiba-tiba aku ingin menebak
berapa banyak hangat genggaman
yang kutebar di pergelangan tanganmu.
Sebelum kau tersakiti, sebelum kau berlari pergi.

Aku pernah melupakan lapar hanya karena ingin mendengar kenyangmu.
Aku sempat mengabaikan hangat hanya karena menolak mendengar gigilmu.
Namun kau menyukai tajam,
lalu mendorongnya lembut,
mengarahkan ke seluruh denyutku.

Semena-mena kau menyeret wajah bulan yang terbiasa menerangi beranda.
Biar pudar!
Agar menyebar ke seluruh memar.
Meninggalkan aku yang dijangkiti kecewa,
lalu membiarkan perih menancap di sana.

Sepandai itukah kau melubangi urat nadiku?
Muara seluruh denyut,
yang kupakai menyelamatkanmu ketika hanyut.
Tak pernah kuucap percuma,
meski hanya mengapungkan dosa.

Entah bagaimana persisnya,
tiba-tiba aku ingin menebak
berapa kali aku menyebutmu luka abadi yang karam di laut puisi.

16 Feb 2014

Di Hadapan Subuh

Suara hujan tak lagi senada.
Aku berkemas ketika jarum detik masih berputar setengah lingkaran.
Mengelabuhi sisa gema langkahmu yang meneruskan suara bantingan pintu.
Subuh merapat, menggaungkan khusyuk suara adzan yang semakit dekat.

Di sini, aku duduk berhadapan dengan halaman yang pernah kau sakiti.
Jejakmu pernah menginjak segala yang tak tampak,
mengundurkan diri meski tak ada yang menginginkan engkau pergi.
Kamu sudah terlambat, kata waktu.
Masih banyak dongeng kita yang harus kuusung satu per satu.

Aku sedang menunggu badai yang berpusat dari senyummu,
kenangan, juga beberapa perihal yang lupa kita tuliskan.
Badai yang tak pernah dihitung oleh dunia
seperti air telaga yang gagap membaca gerak bulu-bulu angsa

Engkau pernah lahir dari air mataku,
yang kerap memohon kamu ada.
Sebab rindu kerap merupa lilin tanpa sumbu.
Leleh tanpa api yang kunamai pelukmu.

Sore nanti, jika senja mulai menguning,
sempatkan waktu untuk menengok keadaan rinduku.
Kita pinjam sampan para nelayan,
menghadapi ombak yang ditiup ramah angin daratan.

28 Jan 2014

Sebab Engkau

Saat matamu sembab diadili tangis, seketika aku ingin menjadi pagi yang melupakan gigilnya sendiri. Menjadi tubuh yang lebih tabah, sebab ada tanya yang butuh jawab ketika kurangkum sekujur jelitamu yang terbungkus hijab.

Engkau penggenap yang layak dianggap.

Aku suka aroma sore itu. Wangi gelagat malu yang dibahasakan matamu, terbingkis rapih kain merah muda bernuansa perempuan yang sedang berdoa. Menyajikan sebongkah sajak yang layak terpahat oleh debar dadaku. Kurenungkan dengan sebentuk gemetar dan angan, bagaimana jika kutuliskan empat buah haiku di punggung tanganmu.

Engkau tunggal yang tak pantas ditinggal.

Jika saja ada selusin pagi yang harus kupilih, aku menunjuk sebelas mereka yang terbit membawa wangi rambut dan halus keningmu. Biar saja bangunku terlihat lancang, seperti amin yang terucap sebelum doa itu terdengar. Maka meledaklah, ramu malumu menjadi warna-warni lampion yang digemari mata para bocah.

Engkau sunyi yang mahir bernyanyi.

Tak perlu menjadi luar biasa, sederhanamu saja cukup mempesona. Yang aku tahu, enam puluh menit bukanlah satu jam untuk aku mengatakan itu di depanmu. Sebab debar di dada sibuk bertanya, mengatakan yang seharusnya atau menikmati beliamu saja.

Engkau sekarang yang tak butuh kemudian.

22 Jan 2014

Aku Pernah

Aku pernah menjadi Indra;
Duduk tertegun sendirian di Food Court Tunjungan Plaza. Bersama Rani, Indra pernah menghabiskan beberapa jam waktunya. Tepat di bangku itu, bangku berhadapan di depan Nasi Goreng Mama, dengan percakapan dan tawa seadanya.

Aku pernah menjadi Indra;
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, melihat photobox Delta Plaza lantai dua. Di dalam box itu, pernah ada beberapa pose lucu, konyol, yang diperagakan Rani dan Indra di depan kamera. Sampai saat ini, photo itu masih tersimpan rapi di sebuah pigura, di atas meja kamar Indra, di dekat jendela.

Aku pernah menjadi Indra;
Memandang dari kejauhan kantor polisi Tegalsari, lalu meneteskan airmata. Di sana, Indra pernah diciduk polisi gara-gara berkelahi ketika sedang mabuk, dengan sekelompok pemuda yang menggoda Rani. Di kantor polisi itu pula, semalam suntuk Rani menolong dan menemani Indra.

Aku pernah menjadi Indra;
Berusaha sekuat mungkin untuk tabah, saat membuka Recent Update BBM, ada Rani yang memasang photo dengan pacar barunya. Statusnya pun "Selamat tidur, Sayang, terimakasih untuk malam ini". Sempat ada pertanyaan dalam hati Indra "Mereka habis kencan kemana?".

Aku pernah menjadi Indra;
Dadanya sesak ketika melihat Wall Facebook Rani, dan membaca kata-kata mesra yang dikirim pacar barunya.

Aku pernah menjadi Indra;
Menyiksa diri dengan memutar lagu Bertahan-nya Rama, Denting-nya Melly, Cinta Putih-nya Kerispatih, dan lagu-lagu sedih lainnya ratusan kali sambil stalking akun twitternya Rani. Indra sering melakukan hal itu hampir tiap malam. Walaupun terkadang, ada beberapa percakapan yang membuat hati Indra sakit. Ya, percakapan Rani dengan pacar barunya.

Aku pernah menjadi Indra;
Yang tak tahu harus kemana setiap malam Minggu. Biasanya, pukul tujuh malam Indra sudah berangkat dari rumah untuk menjemput Rani. Membawa sebungkus Terang Bulan atau Martabak kesukaan Mama Papanya. Selanjutnya, mereka menghabiskan Sabtu malam dengan teman-teman, tak jarang juga berdua.

Aku pernah menjadi Indra;
Seketika berdebar ketika berada di belakang cewek berambut panjang, mengendarai Mio putih, memakai helm Hello Kitty dan mengenakan sweater warna merah. Sosok yang menyerupai Rani.

Aku pernah menjadi Indra,
Sering menangis sebelum tidur, teringat beberapa kejadian yang ia alami bersama Rani, 2 tahun terakhir ini.

Dan malam ini aku telah menjadi Indra;
Mendengarkan curhatan Indra, yang dua bulan lalu putus hubungan dengan Rani. Sebisa mungkin memberi solusi, atau berbagi pengalaman yang mampu membesarkan hati. Mendoakan kebaikan Rani, kebahagiaan Rani, dan tetap bersikukuh untuk menjaga cintanya untuk Rani.