28 Jan 2014

Sebab Engkau

Saat matamu sembab diadili tangis, seketika aku ingin menjadi pagi yang melupakan gigilnya sendiri. Menjadi tubuh yang lebih tabah, sebab ada tanya yang butuh jawab ketika kurangkum sekujur jelitamu yang terbungkus hijab.

Engkau penggenap yang layak dianggap.

Aku suka aroma sore itu. Wangi gelagat malu yang dibahasakan matamu, terbingkis rapih kain merah muda bernuansa perempuan yang sedang berdoa. Menyajikan sebongkah sajak yang layak terpahat oleh debar dadaku. Kurenungkan dengan sebentuk gemetar dan angan, bagaimana jika kutuliskan empat buah haiku di punggung tanganmu.

Engkau tunggal yang tak pantas ditinggal.

Jika saja ada selusin pagi yang harus kupilih, aku menunjuk sebelas mereka yang terbit membawa wangi rambut dan halus keningmu. Biar saja bangunku terlihat lancang, seperti amin yang terucap sebelum doa itu terdengar. Maka meledaklah, ramu malumu menjadi warna-warni lampion yang digemari mata para bocah.

Engkau sunyi yang mahir bernyanyi.

Tak perlu menjadi luar biasa, sederhanamu saja cukup mempesona. Yang aku tahu, enam puluh menit bukanlah satu jam untuk aku mengatakan itu di depanmu. Sebab debar di dada sibuk bertanya, mengatakan yang seharusnya atau menikmati beliamu saja.

Engkau sekarang yang tak butuh kemudian.