13 Des 2012

Selamat Ulang Tahun, Bagian Tubuhku

sebelum beberapa kata ini kuketik, setengah jam yang lalu aku mengecupmu
ucapan "Selamat Ulang Tahun" tadi hanyalah caraku mencuri beberapa kata dari tubuhmu
karena sesungguhnya puisi ini ditulis sendiri oleh aortamu yang kerap menghubungi pikiranku

kedipanmu;
keajaiban terbaik yang dihadiahkan Tuhan
kubayangkan barisan tirai yang dibuka bidadari di pagi hari
mengirim sejuk bagi jantungku
dimana aku mulai percaya bahwa ada senjata yang kedap suara
dan satu-satunya mata yang lumpuh karena itu, ialah mataku

matamu;
sepasang musim yang bergerak seirama
ada hujan, salju dan dingin-dingin berbentuk lain
taman yang beraroma seribu bunga
titik kumpul kata-kata
yang tak pernah bisa kubaca dengan sekali eja
atau bisa saja,
rembulan besar yang lebih puitik dari purnama

alismu;
lengkung sabit maha tajam
tempat kesedihan dimakamkan dan bahagia dimekarkan
ketika keduanya kau angkat
aku bisa merasa bagaimana jika bumi berhenti tiba-tiba
Kuanggap kedua alis itu adalah tangan langit
yang sesekali mengulur genit
bertugas meremas cemas yang memanjang tanpa batas

rambutmu;
warna hitam rambutmu yang membuatku paham
bahwa warna kesedihan tak jauh beda dengan malam
tiap helainya adalah rajutan sejuta cemeti tanpa ruas
yang mencambuk dendam, melukai muram
payung bagi segala kenang di ruang ingatan
mengusap tangisan yang melebihi batas wajar

keningmu;
beberapa tanya terjebak saat ia kau kerutkan
kanvas lapang tempat kecupanku kau sembunyikan
pengantar doa yang lembut sebelum ia menyentuh lantai sujud
benteng maya yang kupercaya untuk menghindari maut

hatimu;
ini yang terakhir
ah, aku tak berani menuliskan hatimu
kupasrahkan kepada Tuhan saja untuk mengasuhnya
sebab disitu, tempat kutaruh harap agar hidup terus kau pelihara

11 Des 2012

Nubuat Dari Saku Langit

Caramu meremas hujan kusaksikan dalam kehangatan
gerakan lincah yang kerap mengagalkan kesedihan
menyuap satu persatu anak rindu dengan senyummu
hingga debar yang kurahasiakan,
bisa kau redam dengan sekali sentuhan

Anggap saja puisiku ini belum jadi
maaf, jika aku kurang bisa memahami cuaca dengan jeli
sebab, keterlambatan hujan juga menjadi alasan diri
kenapa bahasaku semakin gigil memeluk sunyi

Rampaslah kanvas langit yang masih kalis akan hujan, Sayang
lukiskan jejak bidadari yang kau sembunyikan
agar mendung lebih cepat menyerah kepada terang
lalu goreskan warna pelangi yang kedelapan
hingga janjiku bisa sesegar taman yang baru dipugar

Izinkan sekali lagi
kuhirup wangi perakmu yang pernah dikagumi matahari
hingga dendam semakin cepat beruban
meninggalkan kepala dengan menempuh langkah paling diam
disamarkan lirikmu yang hening
diriuhkan tawamu sebelum langit mengering

Nubuat ini kuanggap samudera
yang meniupkan tasbih-tasbih doa
hingga menjadi ombak sederhana yang memperpanjang usia
berhenti di pesisir waktu
untuk menghela napas baru atau sekedar melunakkan rindu

Engkaulah keheningan yang meramaikan malam
pesolek rahasia bagi langit yang membutuhkan bintang
menyanggupi tanpa janji
pemberani yang pantang sembunyi
dan betapapun aku dungu menata abjad
ada kesanggupan untuk mencintaimu kuat-kuat

30 Nov 2012

Pesta Penutup November

Kuundang beberapa tanggal yang sedang murung. Kupikir, pesta kecil ini cukuplah untuk menghargai perannya memutar jarum detik menjadi menit, lalu menjadi jam, hingga hari ini bisa bernama waktu. Menempuh beberapa cerita yang belum pernah aku reka sebelumnya. "Apakah kau juga akan mengundang rindu?" seorang sahabat dari kota kenangan bertanya. Ya, tentunya aku mengundang rindu. Paling tidak, ia bisa membacakan satu judul puisi, atau hanya sekedar meramaikan halusinasi.

Para dewa dan beberapa kerabat kayangan memilih sibuk menata bangku, meja dan beberapa botol wine yang kusadap dari ladang birahiku sendiri. Seingatku, ladang itu begitu subur diguyur kekaguman-kekaguman pasca aku menemukanmu. Daun-daun harapannya merindang, getah kebahagiaannya pun lancar. Putih, bening melebihi air telaga. Seperti mata Ibu, lebih tepatnya. Dibawah pengaruhnya, aku pernah mabuk bahasa dan memuntahkan seribu lima ratus sajak sekaligus. Peningnya di kepala begitu terasa, persis baling-baling kapal yang tak pernah tahu tujuan nahkoda.

Malam semakin keriput, namun kita masih larut. Gelegar suara disana-sini begitu meriah. Petir dan guntur memang begitu mengagumkan untuk urusan suara dan ledakan. Tak seberapa sulit untuk meminta bantuannya, karena kebetulan, ada salah satu teman yang berteman baik dengan mendung. Ya, hujan. Sayang dia tak bisa menghadiri undanganku malam ini. Namun tadi pagi, dia datang sebentar untuk mengantar setumpuk dingin di pelataran. Meninggalkan kado istimewa di ceruk-ceruk tanah yang berbau basah. Ah, sudahlah, hadir atau tak hadir, hujan tetap sahabat baik bagi langit.

Kita hanyut dalam gempita. Di atas panggung, kelebat lembut selendang bidadari menarikan gerakan surga diiringi purnama. Pantas saja jika malam ini begitu wangi. Di sana-sini, berserakan senyum yang jatuh dari bibir bintang yang berciuman dengan rasi. Dipunguti pemulung-pemulung jarak yang terbiasa patah hati. Sesekali, satu diantara mereka kuajak naik diatas panggung. Berdansa dengan gerakan liar dengan musik halilintar. Mereka juga berhak merasakan tepuk tangan yang meriah dari pertemuan. Agar disaat hujan, senja dan pagi datang, mereka tak terlalu meratap mengemis cium dan pelukan.

Rangkaian pesta ditutup oleh gelap. Sepertinya ia lebih paham, mata kita butuh terpejam. "Saya ucapkan terimakasih banyak buat semuanya, karena telah memberi saya waktu terbaik untuk jatuh cinta" Karena lelah, tak lagi kuhiraukan pagi yang sedang menyiapkan cahaya. Harusnya kuucap terimakasih juga kepadanya, karena pagi yang tekun menuntun satu persatu tamu undangan untuk pulang.

17 Nov 2012

Empat Tahun Satu Pelangi

Menjelang empat tahun engkau menemaniku...

Carine, dari gerak jelitamu aku hendak menulis satu judul madah yang tak begitu luar biasa. Yang bisa dibaca embun hingga menjadi gembur atau setidaknya mampu membuat terik siang tak lagi berseteru dengan hujan. Retak bibir keringku yang terkadang perih memohon untuk berteduh di bagian terpencil bulu matamu. Rimbun akasia baru yang diciptakan senyummu, kerap sengaja kuseberangi dan kuasah tajam sebagai penggunting mimpi. Tepat di sebelah lesung pipimu, aku menyembunyikan bening rindu dari pecahan-pecahan alasan kenapa aku begitu mencintai seseorang yang melahirkanmu.

Carine, dari kecupan perak yang diajarkan para dewa, bibirku mendaratkan kecup di keningmu yang seumpama salju. Menyampaikan rahasia yang kurekam dari bisik-bisik kerabat kayangan, bahwa selain pengantar bahagia, tugasmu hanya di surga. Tak perlu kau genapi rintik hujan yang dijatuhkan sepagi ini, apalagi dengan airmata. Kedipanmu saja sudah cukup mengeringkan kata-kata lembab yang terlalu lama disimpan cuaca. Bersama usia, buatlah kalimat yang lebih jelas. Tanyakan apa saja. Darimana asal terang yang dipancarkan api atau dimana rembulan bersembunyi saat siang hari. Semua jawaban ada di matamu.

Carine, dalam lelapmu yang menenteramkan aku selalu ingin meloncat delapan jam kedepan. Untuk menyaksikan lagi tarian-tarian pagimu yang suci, bahkan gerakan yang belum sempat dihafalkan bidadari. Menjejakkan tulang muda, menyamai cahaya yang terbit dari kemaluan langit. Bagai pengemis yang menemukan harta karun, juga bagai air yang menemukan sumur, aku puja gerakan cahaya yang kau pentaskan dengan anggun. Sempat kuhitung satu persatu bintang yang terjatuh tadi malam. Kutaburkan di bawah guling yang kau peluk ketika pagi masih berlutut. Menyisakan gemerencing lucu, persis menyerupai suaramu ketika teringat waktu terbaik untuk minum susu.

11 Nov 2012

Keajaiban Ini, Ingin Kuulangi

Sebelum akhirnya aku memutuskan
untuk benar-benar menggilaimu
jelita anggun pengisi dada
yang kupuja setara semesta

Esok
pagi akan mengintipmu
barangkali sebelum aku terbangun
kenali dia
lebih akrab lagi
tanyakan pada dia
bagaimana pagiku sebelum menemukanmu

Jika sudah kau kantongi jawaban
bangunkan aku
aku ingin melihat rona pipimu
yang memerah bercampur embun
tentu saja dingin itu yang menyihir mimpiku
agar pulang membawa kecupan
atau kembali menceritakan cinta
yang kau bilang tanpa alasan

Karena
memilikimu ialah cara terbaik menyerah pada nasib
tentang kemungkinan
kebahagiaan
hal-hal baru yang mengenalkan aku pada senyuman
juga separuh takdir
yang kau bilang tak baik jika kulalui sendirian

Bagaimana cara kita kembali pada esok?
tanyamu
tenang
masih ada siang, Sayang
tempat sembunyi para kelelawar dan peri
yang hanya mengedarkan wangi dimalam hari
juga pertandingan cahaya
akan dipentaskan oleh senja
lincah meramu warna jingga
seperti ciumanku
yang sesekali kudaratkan didadamu

Ketika malam mengganti peran
hisapan jagad untuk cahaya
embun perlahan dicipta
ada juga bintang
rembulan
keduanya selalu tertata rapi diatas langit
seperti wajahmu
rapi menyimpan segala duka
prasangka tentang aku
atau bahkan perihal tak terduga
sebelum kita dipertemukan dan disatukan

Pejamlah kita pada bahagia
melupakan esok yang belum tentu semestinya
istirahatkan raga
agar lelah menyerah
pasrah
lalu kalah
pada tubuh yang rebah
menginjakkan kaki mimpi
untuk caci maki
iri
dengki
juga benci
saling memeluk dan mengulang esok lagi
saling mencintai
dengan cara yang lebih baik lagi

27 Okt 2012

Jarak Antara Senyummu dan Kebahagiaanku

Masihkah kau tersenyum di tempat itu, Sayang?
Tempat dimana kita mengawali pertemuan
Mengukur diameter bulan dengan berbagai ciuman
Di sebuah taman rahasia, ciuman itu sempat menjadikan kita
sepasang birahi yang melanggar perbatasan dosa
Hingga kini,
Aku masih menghitung jarak antara senyummu itu dan kebahagiaanku
Begitu tipis,
Setipis dinding balon sabun yang kau mainkan semasa kanak dulu

Di kotaku ini, malam hampir buta
Sunyi mulai dipetakan gelap
Suara serangga sedang riuh membacakan puisimu dengan bahasa mereka
Terbahak menertawakan pertemuan tatap kita yang dipastikan tertunda
Juga maut, meloncat lebih dekat dari apa yang kita namai gelap dalam pejam
Kau kabarkan kotamu sedang gerimis
Dengarkan dengan seksama
Ada rintih rinduku yang semakin dingin mencampuri derasnya

Masih ada sisa waktu buatku
Sebelum Subuh, tak ada salahnya jika kulamunkan lagi senyummu
Untuk malam ini saja
Sebagai tambahan penyangga bahu sunyi yang renta
Rinduku juga rindumu
Mereka kelak akan menjadi perih yang mengingatkan
Bahwa jarak adalah tajam belati paling ramah saat menikam
Dengan jarak ini, mari kita selesaikan kesedihan
Senantiasalah tersenyum di kotamu, dan aku akan bahagia di kotaku
Sebab membahagiakanmu, adalah kewajiban yang tak bisa aku wakilkan

16 Okt 2012

Kabarmu dari Sebuah Musim

Aku melibatkan diri ketika senyummu berniat mengecup bulan
Mencuri beberapa kabar yang layak dicemburui bintang
Masih bolehkah kita bertahan mengelabuhi kebahagiaan?
Di dada kita, ada nyala api yang bersikukuh membakar hujan
Tak jua paham bahwa kita hanyalah sepasang hati
Yang lahir dari rahim paling sunyi
Tertinggal diantara ilalang kemustahilan
Diasuh diamnya kata-kata termahal

Lembaran musim membuat langit menyerah
Mencatat embun yang sesekali berputar arah
Matahari siang, gagah menolak karam
Sedangkan kita, gemar tenggelam di telaga kata yang disaring hujan
Dengan jemari buta, taburkan aku sebagai serbuk yang mencampuri darahmu
Hilangku akan kuberi judul larut paling bahagia asal tak mengganggu

Teriakan hening menantang bertarung melawan detik
Suaranya menyerupai desahan waktu yang diwakili jarum panjang
Dua belas angkanya menghitung ulang sebuah kepergian
Sementara kepalaku masih sibuk merayu
Keteduhan yang mengekor pada bulu-bulu matamu
Kedipannya menyamai bayangan anak panah menuju jantungku
Jika boleh kupinta, jangan menyikiti degub selanjutnya
Seperti pagi dan embun yang saling menghangatkan diri
Begitulah seharusnya ingatan dan kenangan saling menghargai

8 Okt 2012

Kekaguman yang Didengar Hujan

Sediam apapun jarak, aku masih mengajakmu menidurkan bulan
Mengulang kebiasaan lamaku
Meniup senja yang menyelinap di matamu
Membersihkan warnanya yang tercecer di keningmu dengan bibirku
Kerap kau katakan
Adegan itu adalah kecupan rahasia yang diajarkan para dewa

Perihal apa yang bisa menjinakkan kekagumanku, Dinda?
Ditubuhku, engkau masih udara yang belum dihisap napas
Desir yang belum ditangkap darah
Juga degub yang belum ditemukan jantung
Dan hanya di bibirmu
Tersimpan senyuman yang tak pernah bisa aku taklukkan

Jika memang esok pagi hujan
Akulah gerimis awal yang ingin tunduk di wajahmu
Warna lain yang menggantikan bedak dan gincumu
Menjelma bening yang mencatat kedipan pertamamu
Agar kau tak lagi mendengar gumam mendung yang menyesal
Sebab lupa mewakili aku memasuki mimpimu
Mengguyurkan kekaguman dalam bentuk hujan

Dan bila engkau masih kuanggap api
Jangan kau bilang ketabahanku seperti kayu, Sayang
Kepada langit, selalu kau pulangkan aku sebagai asap
Kau serupakan aku baling-baling kapal yang menyakiti alur laut
Sedang pelukanmu
Kepal tangan nahkoda yang membabibuta
Sekali lagi aku ingin engkau tahu
Didadaku, masih ada debar ketabahan yang mengkhawatirkanmu

18 Sep 2012

Cukup Tubuhmu Saja

bulan hampir selesai merias diri
menunggu cemburu yang akan dimakamkan sunyi
sungkawa musim terasa lekat ditiup angin
menginjak doa rumput-rumput yang melambaikan dingin
dalam kembara kataku, ada sajak yang pucat menghitam
mengangankan suara aliran sungai yang jernih tanpa cemar

warna putih langit mewakili purnama
menceritakan tahana bidadari yang selayaknya dipuja
seperti bekas luka dipunggungmu, Sayang
masalalu tak seharusnya kau tunjukan pada siapa
cukup ragamu saja yang boleh menerka
tak kuikhlaskan tubuhmu susut diremas usia

di pembaringan para malaikat, langit mulai padam
isyarat jahat yang memaksa ingatanku untuk segera pulang
sementara jantungku masih biru
lebam melemah dihardik tangismu sore tadi
sebagiannya tak lagi berdegub
hanya bersuara seadanya
sekedar pengganti sunyi dalam dada

13 Sep 2012

Wangimu Dicampuri Pagi

Pagi yang sebaik ini
Kubayangkan engkau adalah embun penguasa kedinginan
Biadab menyiksa warna bunga dengan gigil yang tak lagi tertahan
Kabut ringan menuntun tegas aroma bahagia
Mencampuri wangi bangkai kenangan yang sempat kita rayakan berdua
Satu dua hari kedepan, kau dan aku masih sama
Dungu dan belajar bijak memahami majas tentang cinta
Menjadi si buta yang keras kepala
Meraba-raba dimana pintu kemungkinan itu berada
Merangkai rayuan menjadi bisikan manja
Berharap cumbu akan melahap kita menuju surga

Sudah lebih dari seratus musim
Pemandangan pagi tetaplah sama
Diantara jeda cahaya
Ramai khalayak tak pernah gentar memecah sinarnya
Aku terbangun ditelanjangi pagi yang masih belia
Dalam lelapku
Kubiarkan mimpi mencuri apa saja
Termasuk nyeri luka yang masih terbuka
Wangimu itu aroma badai!
Pernah melemparku ke tepi waktu yang bernama silam
Terdampar mengumpulkan tanda tanya yang dirawat airmata linang

Jangan dulu tersenyum di depanku!
Berilah waktu pada kebahagiaan untuk mengenaliku dengan caranya sendiri
Karena aku masih sanggup berdarah
Jika merahnya mampu menyihir warnamu menjadi megah
Sesekali, berbaringlah di dadaku, Sayang
Kau tahu, dalam debarku ada semacam sanggar
yang kubangun dari keringat kekaguman
Lalu cium bibirku sekali lagi
Aku mulai mengerti, bibirmu adalah ruang sunyi
Tempat para bidadari menyembunyikan mimpi
Tersenyum di depanmu kujadikan cara untuk berkata;
"Jatuh cinta adalah rasa jenaka yang diambil dari bahasa para dewa"

6 Sep 2012

Dari Ujung Terima Kasihku

Musim semi masih jauh bersembunyi di akhir tahun
Pasca persetubuhan senja kita sepakat kembali ke ujung
Belajar dari retas kupu-kupu yang urung
Pada ratusan kisah yang gagal kita rangkum
Kau namai aku penjaga kantuk yang baru terbangun
Pengais cahaya yang menggeliat dari langit timur
Membakar silam rahasiamu yang mulai berjamur

Tentang nafasmu yang kerap kuhirup dan hembuskan
Kumohon, tolong lupakan!
Di hadapmu, akulah pemimpi yang berkhayal menemukan fajar
Sepanjang perjalanan menempuh bimbangmu,
aku menjadi penguasa tamak yang tak peduli apa saja
Bahkan, airmatamu yang tak setara jika kutulis dengan majas dan bahasa

Diamku adalah pilihan
Satu cara terbaik agar engkau bisa mengumpulkan resah
Lalu menuliskanku dalam puisi yang dipenuhi metafora basah
Sekumpulan airmata, debar, sunyi juga nyeri yang tak menemu jumlah
Agar kelak engkau bisa menceritakan
Bagaimana warna negeri kayangan yang kau sadap dari para bintang
Karena melupakanmu; masih menjadi kebohongan yang aku rencanakan

28 Agu 2012

Suaramu, Ajakan yang Begitu Merdu

Ledaklah suara, ledaklah rasa
Khidmat teriak merdu di surga telinga
Ramaikan bait dengan nada
Metafora sederhana ketukan luar biasa

Teriakkan teriakku
Membelah setandan dentam dalam bisingmu
Tajam pisauku tenggelam di alir selokanmu
Hingga terjebak di jembatan kayu

Lantunkan lagi lagu matahari
Sarat pantulan terik bertubi-tubi
Acuhkan para bunga yang luka dikupas benci
Melanggar markah yang digaris pasti

********

Aku juga kurang tahu tulisan ini bertema apa, siapapun yang membaca bebas mengartikannya. Kalau aku bertanya pada pikiranku, tulisan ini semacam pujian, caraku sendiri mengungkapkan kekaguman pada sebuah band jadul, yang kasetnya saya temukan beberapa hari lalu di kotak pribadi Almarhum Kakak. Flower, dengan hits nya "Tolong Bu Dokter". Menurutku ini tepat, beberapa hari lagi Rn'R Nite akan digelar di kotaku. Aku dan beberapa teman terundang untuk meramaikan. Akankah kami meramaikannya dengan lagu ini? Permintaanku pada Tuhan semoga saja didengar, semoga...
Dengan berjalannya proses, lagu ini sudah ribuan kali aku dengarkan, dan entahlah, aku belum menemukan kata bosan. Sepertinya Tuhan sengaja menyusun kejadian ini khusus buat aku. Sambil mengenang Alm. Kakak yang addict terhadap Rock n' Roll, ditunggu event besar yang menghargai keberadaanku dan teman-teman, dan tentunya pembelajaran terhadap tempo dan sound gahar yang tak pernah aku jamah sebelumnya. Buat The Flower, "Still Alive & Well" yah..., seperti album kedua kalian.

Doa untuk Takdir Kedua

Jika saja takdir mengijinkan kita menukar tubuh
Kau bisa membaca apa yang aku baca,
begitu juga sebaliknya
Mungkin, bening luka ini lebih mudah kau gunakan untuk bercermin
Apa yang kutenun dari gelisah yang tekun
Merindukanmu pasti,
menjadi judul utama setiap mimpi
Nyeri yang sengaja aku bangun sebagai tempat sembunyi
Darimu, mungkin juga dari ketiadaanku
Perkasaku berubah ketakutan
Patuh, tunduk pada kubang lesung pipimu
yang pernah menenggelamkan surga
Keringatku dikeringkan angin pantainya

Pada hari keberapa aku bisa memastikan kesembuhanmu?
Pada hitungan keberapa aku bisa menemukan jumlah bahagiamu?
Pada bentang jarak keberapa aku bisa meniup lukamu?
Jika semesta bisu akan rebahmu,
anggap saja itu tugasku!
Menjaga perihnya agar tak begitu terasa?
Pinta saja!
Jangan seadanya! Secukupnya lebih sempurna
Sedang pintaku, sederhana
Buatkan aku beberapa kata-kata saja
Kujadikan alasan utama kenapa aku jatuh cinta
Sebab, menurutku adalah dusta,
jika sederhanamu tak mengandung Surga

Menebak kecantikan senja nanti?
Mudah saja, Dinda!
Aku melihatmu berhenti memeluk kesakitanmu
Kurang lebih seperti itu
Kelak ketika aku menemukan pelukmu,
kau tahu arti hangat itu?
Itulah suhu tubuhku yang tak pernah merasa selesai membahagiakanmu

Sebidang Sapa Untukmu

Bahasamu; hujan yang membasahi gurun gersang
Kincir yang berhenti dibalut sarang laba-laba
Rumput yang pucat terinjak cahaya
Beberapa bangkai semut mengambang di tepi telaga
Bisu mengumbar keadaan yang hanya diam
Pahit aroma sunyi menyiangi mimpi
Belum ada yang berani mati di tanah ini

Lidahmu; ujung senapan yang hanya memberi dua pilihan
Meninggalkan atau aku tinggalkan
Aku belum bisa memilih keduanya
Meski aku tertuduh sebagai seorang yang menghamili pikiranmu
Cobalah sesekali menyeberang kesini, ke dadaku
Singgahi debar pemuja taatmu
Yang tak mengenal ampun membenahi takdir dengan tekun

Bibirmu; sekeranjang melati yang bersanggul api
Panas pedas yang disamarkan wangi
Seekor kumbang menjerit dari kedalaman lumpur
Berusaha naik ke permukaan
Meniriskan sayap yang mengepakkan kekhawatiran
Memandang nanar petani jalang yang mencengkeram tangkaimu
Mengusirku terbang menuju kekalahan yang kau siapkan

9 Agu 2012

Bukan Bebanmu, Eitha

Di lantai 14 sebuah apartemen ini aku sendirian. Dari kejauhan, bulan tampak gemetar. Dengan keberanian tinggi, anak-anak cahayanya memasuki ruanganku tanpa permisi. Membaca jelas bayangku yang tanggal diantara sofa berwarna cokelat muda. Jemariku sibuk dengan telepon genggam yang batterynya sudah menyalakan warna kuning. Hening. Hanya suara detik arlojiku yang tergeletak di atas meja kecil sedang berkejaran dengan degub jantungku. Tepat di sebelahnya, sebungkus rokok dan secangkir kopi terlihat begitu akrab. Membicarakan hari pinangan, atau hanya menunggu bibirku menyatukan keduanya secara bergantian. Kurasa ini waktu yang tepat. Sebentar lagi sunyi akan mengantarmu kesini. Kita berunding tentang hal-hal kecil. Tentang rindu, tentang diameter bumi yang semakin memanjang jika dibicarakan, tentang liang birahimu yang pernah kuraba dengan gelisah, atau tentang ciuman ungu yang pernah aku tinggalkan di dadamu; di sebelah kanan tujuh, sebelah kiri satu. Sebelah kiri satu? Karena aku ingin bekas bibirku menceritakan bagaimana gemuruh surga itu jika kudengarkan. Ya, debarmu.

Separuh langit kering berwarna tembaga. Di bawah sana, lampu-lampu mobil mewah semakin ramai. Menutupi keriput kulit malam yang pekat dipendar nafsu terik matahari setiap hari. Bunyi klakson terdengar renyah memanggil kemacetan kota. Setengah jam aku memandang ke bawah dari balik jendela. Suara pintu diketuk menghardik telinga. Aku buka pintu dengan senyum paling nista yang aku miliki. Di matamu, hanya itu yang aku punya. "Eitha, malam ini kamu terlihat manis sekali..." gumamku dalam hati. Eitha masih berdiri di depan pintu dengan jaket warna biru yang sengaja tak dikancingkan. Bercelana jeans dan kaos ketat warna putih, cukup menggemaskan membungkus perawakannya yang tak begitu tinggi. Imut, lucu, sederhana dan sedap dipandang. Tas yang tergantung di bahu sebelah kirinya segera aku selamatkan agar mengurangi beban. Senyumnya mengembang, menolehkan sebelah pipi dengan gerakan manja. Ciuman dari bibirku pun mendarat di pipinya, mengabarkan rindu yang sudah hampir tiga minggu kukantongi di saku kemeja.

"Aku langsung tidur yah? Capek." Kata Eitha sambil melepas jaket yang ia kenakan. Menggambarkan mood yang lagi kurang enak untuk diajak ngobrol.
"Oke, kalo kamu capek istirahat aja" Jawabku sedikit kecewa. Beberapa menit kita terdiam.
"Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan ke kamu, mengenai kejadian beberapa hari ini." Kataku lirih, sedikit lebih keras dari suara detik jam dinding.
"Cerita aja, aku dengerin kok..." Jawab Eitha sambil merebah, tak sedikitpun melihat wajahku.
"Gak perlu lah, kamu sedang capek, moodmu lagi kurang bagus, nanti jatuhnya salah paham lagi..." Sekedar penetral suasana saja dari aku. Tanpa jawaban, dan sekali lagi wajah Eitha masih mengarah ke tembok sebelah tempat tidur. Perlahan aku belai rambut Eitha yang tergerai di atas bantal. Kuharap wanginya bersedia memenuhi tiap sela jemariku.
"Kamu gak pengen berhenti? Sampai kapan kita seperti ini? Kamu sudah beristri, kamu gak kasihan sama istri kamu? Jujur, ini sangat-sangat bertentangan dengan prinsipku. Kita udahan yah? Plis..." Dengan nada datar Eitha melontarkan beberapa pertanyaan dan permintaan yang masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi kali ini beda, kita saling menatap dalam-dalam, mata kita bertemu dalam ruang ketaktermungkinan.

"Memang siapa aja yang tahu tentang statusku? Teman kampusmu, orang tuamu, atau semua orang? Nggak ada kan?! Di duniamu, yang tahu tentang statusku cuman kamu, Eitha. Lebih sakit mana, kalo dulu aku berbohong tentang statusku, lalu kita jadian, di tengah jalan tiba-tiba kamu tahu tentang statusku. Lagian, emang selama ini kita ngapain? Selingkuh? Menurutku sih enggak! Kalo tujuanku cuman selingkuh, gak mungkin aku selingkuhin mahasiswi seperti kamu. Mending aku selingkuh sama janda kaya. Materi berlimpah, nafsu, dan segalanya terpenuhi. Sudahlah, kamu konsentrasi saja sama kuliahmu, kejar terus cita-citamu. Jangan kamu terlalu memikirkan Istriku. Aku sudah memenuhi bahagianya, dalam bentuk apapun! Dia juga tidak merasa terganggu dengan kedatanganmu! Aku sendiri juga tidak tahu, Eitha, kenapa Tuhan memberiku rasa yang seperti ini? Dan kenapa rasa ini harus jatuh ke kamu? Sepanjang usia pernikahanku, sama sekali aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Meskipun, beberapa perempuan pernah mencoba datang dan mendekat. Plis, Eitha, aku gak ingin membatasi kamu. Kalo kamu ingin berpacaran dengan cowok lain, silakan! Siapapun itu jika kamu anggap pantas. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang berada tepat di belakang kamu. Melindungimu, membantu apapun yang kamu butuh, hingga kamu bisa menyelesaikan cita-citamu, semuanya. Itu aja! Kelak, jika kamu menikah dengan lelaki pilihanmu, paling tidak kamu bisa mengingat bahwa pernah ada aku di hari-harimu dulu. Mencintai bukan berarti memiliki, itu benar, Eitha, dan saat ini aku sedang merasakannya, kepadamu..."

Dan penjelasanku yang panjang lebar itu mengantar kita pada kantuk yang luar biasa. Sepakat, malam itu pula kita tertidur di ranjang dan di kota masing-masing. Sebab semua ini hanya fiksimimpi.
Terimakasih atas luang waktu yang telah mengijinkan aku menidurkan kata-kata tepat di sebelah mimpimu. Menikmati wangi tubuh dan mengecupkan pejam di matamu

7 Agu 2012

Pertengkaran Dibawah Bulan

Sebuah kolaborasi puisi yang ditulis oleh @aksara_saja dan @penagenic

@aksara_saja:
Seperti malam-malam yang menggusur senja
Kita bisa dengan fasih membacanya
Mata yang lebih sedih dari tangis puisi
Dada yang lebih gelisah dari mata angin
Pada sebuah musim
dimana sajak-sajak bermekaran
Pada sebuah malam
dimana bulan hanya tinggal kenangan

@penagenic:

Tak perlu kita kawinkan senja dan malam
Keduanya, takdir yang saling mencinta
Pada akhirnya mereka akan pulang
merumah kepada malam
Mengunci sebagian bunyi
lalu diteriakan sebagai sunyi
Hingga harum rahasia
begitu lembut dipancarkan bulan

@aksara_saja:
Tidak ada yang lebih berdosa diantara kita
Selain ingatan yang perlahan melupa
Atau sebuah lambaian tangan dari kejauhan
Pertemuan tidak lebih hanya kesunyian
Atau nasib
yang dilesatkan oleh-Nya
Begitu saja

@penagenic:
Kepada sajak kita menjabatkan ingatan
Menyusun akrab menuju erat yang hangat
Keringat hanyalah tanda tanya yang diperas nasib
Berkali sujudku pingsan diatas dingin lantai
Menegaskan doa yang masih pucat tersurat
Sahabat, ludah bintang tak pernah mengering
Kutunggu ribuan aksaramu
hingga Ramadhan mengibarkan takbir

2 Agu 2012

Sebutir Tamu Rahasia

Tamu baru melintasi debar
Mengisi dada tanpa kuminta
Samar kedatangannya mengabarkan kebaikan
Tak tepat waktu jika ragu berubah yakin
Di ketinggian nalar, jatuhnya kuamini sebagai cinta
Dalam waras, kureka saja sebagai tamu biasa

Sekujur pikir melepuh dengan nanah yang entah
Paras eloknya kusetarakan hujan senja di kebun belakang
Kagumku, nadi kelasi yang basah digigilkan kedinginan
Kesetiaan dan keinginan mulai di adu domba
Mengelak bukan cara yang layak menghindari bentak
Gertaknya wangi, selembut gincu yang ingin kulumat dari bibirnya yang pagi

Apakah hanya kepadanya kecantikan di titiskan?
Tak harus kukatakan meski kelak berubah dendam
Jika dia datang milyaran detik yang lalu
ingin kutukarkan seluruh waktu
Sebab, dalam namanya terselip bunga puisi
Jika diijinkan, ingin kutiriskan lagi untuk menambah warna pelangi

Musim yang Memugar Pertemuan Kita

Sebuah Kolaborasi Puisi yang ditulis oleh @dqueen__ dan @penagenic

@penagenic:
Akhirnya kata-kata menuntun kita menemukan pagi
Meninggalkan jejak yang diselamatkan pelangi
Bulan pasrah, melanjutkan tugas yang masih kurang beberapa hari
Di altar jantungmu, sungguh aku masih ingin menjadi hal
yang kau hiraukan dan kau igaukan
Menanti penuh debar dengan ingatan yang masih terbongkar
Aliran darah semakin lamban, dihadang janji yang belum terpugar

@dqueen__:
Bagian mana lagi dari semesta yang ingin diruntuhkan
Ditenggelamkan dalam kesekejapan
Aksara selalu punya kesanggupan
Membelokkan delapan penjuru mata angin,
mengarah ke satu hulu ingatan
Pada musim-musim yang lindap,
sajak-sajak rindu tentangmu menjadi butiran-butiran jam pasir
mengosongkan satu sisi, untuk mengisi sisi yang lain
Seperti kepalaku, yang mengulang-ulang kenangan, mengekalkan kepergian

@penagenic:
Jika aku hanya Kau pinjami tubuh,
kurampas saja jantungnya!
Degubku adalah gerakan pena yang menggeser arah mata angin
Memahami tabiat musim diakhir Juli
yang mulai tak teratur mendenyutkan nadi
Musim kering yang pandai menanam kekalahan
Menghunus terik, mencabik punggung bumi
yang merindukan hujan terus-terusan

@dqueen__:
Pada akhirnya, terbacalah arah mata pedang itu
Menebas yang terhempas, melepas tapi tak bebas
Menikam sekali dan turut mati
Segala musim dalam benakku yang berlari
Gugur semua menjadi akhir semi
Membuka pelukan pada hujan, yang terus-terusan
Gerakan mata penamu, Tuan, seceruk dalam menggenang
dikedalaman dadaku, ada yang mati tenggelam oleh banjir bandang kenangan

31 Jul 2012

Sepasang Lilin dan Rindu yang Tabah

Sebuah Kolaborasi Puisi yang ditulis oleh @nopalina89_ dan @penagenic

@penagenic:
Angin, atau waktu, atau segala yang bergerak mulai berbau wangi
Aku tertidur lebih dulu dari senja
Rintih lirih jantungku, sebelumnya sedang membicarakan keinginan
Tentang pertemuan, tentang pelukan yang entah kapan dilaksanakan
Apakah ini yang harus kunamai rindu?

Dua lilin yang menyala mengucap selamat datang pada rembulan
Mengumpulkan doa perempuan yang tertulis di bahu kekasihnya
Menghabiskan tangis yang lebih lama dari airmata
Menangkap rindu yang diterbangkan angin
Melepas satu persatu sunyi yang dibunyikan denting
Apakah ini yang harus kunamai ketabahan?

@nopalina89_:
Serupa udara yang diam dihening malam
Kiranya, begitulah umpama, tabah dalam kepala
Meski berulangkali, rindunya kau abaikan tanpa bersalah
Dia, yang kerapkali kau anggap telah menguliti perasaan
Dengan menitipkan gigil lekat-lekat dalam dekapan

Mestinya kau tahu, Tuan
Sebab dengan begitu, pori-porimu yang terbuka
Seolah mengajak kekasihmu berdiam dalam ingatan
Menjelma rindu, menjelma kata yang selalu menguji rasa tabah
Pada jarak dan waktu, selama putarannya membuatmu betah
Karena semestinya, cinta tak pernah bersalah

30 Jul 2012

Menyambung Ujung Juli

Sebuah Kolaborasi Puisi yang ditulis oleh @meydianmey dan @penagenic

@meydianmey:
satu, dua, tiga tawa tak lekang dalam ingatan
porandanya malam dalam buaian
penyambung lidah fana dengan Tuhan

satu, dua, tiga letusan memburu jeda-jeda
ruang antara kami dan neraka
tangan kanan Tuhan masih dipenuhi cahaya

satu, dua, tiga derap membahana
memburu surga di sudut-sudut gerbong kereta tua
ratap, kutuk, doa, tak lagi beda serunya

satu, dua, tiga tawa kembali tawa
jelang surga yang serupa surga
ngeri dalam kepala sejenak terpinggirkan dalam dada
nyeri tak terlupa, mereka mengintai dari balik jendela

@penagenic:
dalam putaran yang kau hitung, puan
waktu seakan lumpuh
bersimpuh tepat pada angka yang melahirkan tanya
mengarat pada dingin yang tak pernah menyerah
membekukan akhir Juli yang kian menipis, lemah

sementara takdir, terlalu senang mengirim tangis bagi mata
menerkam setiap kemarahan yang tak pernah punya alasan
kenangan yang ditiriskan ingatan, masih menjadi tanya
apakah ini dosa?
atau himpitan mimpi yang belum ketemu jawabnya?

aku tergelitik dengan hitunganmu, puan
yang jatuh seperti doa-doa malam
tempat sujudku menyampaikan gelisah kepada Tuhan
kusepuh bersama airmata yang tak membicarakan kepergian
karena sebaiknya hidup, adalah melipat pertanyaan menjadi jawaban
kepada Tuhan, kita serahkan lembar demi lembar

28 Jul 2012

Tubuh Yang Sama

Tuhan...
Apakah kali ini Kau sedang mengajakku bercanda?
Siapa dia?
Seonggok tubuh yang Kau kemas sama
Kau kirim tepat ditepian jendela tempat bahagiaku bernafas
Mengoyak kenang yang telah ku taruh di beranda belakang
Membuka janji yang telah ku tali mati
Apakah dia hawa ke tujuh ciptaanmu?
Yang mereka bilang ada di belahan dunia mana saja
Yang harus kuterka
Menyerupai kita namun bukan kita

Tuhan...
Beri aku jalan yang Kau anggap paling terang
Pada waktu yang serba biasa
Aku terpaksa menjalani lagi putaran yang diulangi
Pada jarum jam yang panjang aku menunduk
Malu aku pada dunia kecil yang telah kubentuk
Sederhana namun tanpa reka
Tak pernah berjanji pun tak kenal mengkhianati

Tuhan...
Apakah dia bisa meniru dan menarikan gerakannya?
Gerakan yang kerap menumpang tindih rinduku
Dengan atau tanpa cinta
Cinta para pembuat mimpi yang dibekukan dari keringat sendiri
Cinta yang tak mengenal usai apalagi selesai
Ambilah ingatanku jika engkau mau
Sisakan yang sekarang saja
Dan yang masih ada didepan sana

27 Jul 2012

Musim Renyah Di Akhir Juli

Tidakkah kau rasakan dingin tanganku menengadahkan doa untukmu?
Doa yang masih selalu tentangmu
Tentang kerinduan, kebaikan, juga kenangan
Di akhir Juli yang panas
Musim renyah dikeringkan matahari
Gigil dedaunan tak lagi kudapati
Embun, tampaknya sedang berselisih dengan sunyi

Jika kau ijinkan sekali lagi, malam ini
Aku ingin mengajakmu membersihkan gelap
Yang menggigilkan pelataran
Kita rapikan, lalu kita susun menjadi pembaringan
Kita berbaring berdua saja
Menghadap langit yang sabar
Memaafkan gedung-gedung yang hampir mencakar
Menyaksikan tarian bintang
Bulan yang sedang merias wajahnya
Juga rasi-rasi yang belum tertata sempurna

Disampingmu, sayang
Dalam keadaan berbaring seperti ini
Sungguh, aku ingin melupakan usia
Karena bahagiaku, adalah tetap hidup untuk menghidupimu
Karena tak ada lagi hangat yang memelukku melebihi dekapmu

23 Jun 2012

Matamu, Sepasang Cahaya Aksara

Matamu, sepasang cahaya aksara
Menuang kantuk yang lenyap diantara gelap
Aku, mimpi yang belum sempat kau tidurkan
Padahal sore tadi, aku sudah lelap dikaki surga
Seberapa berani bahagiamu diadu?
Dadaku masih menjadi pengingat yang hebat
Hingga sekarang, pelukanmu saja masih ia hafalkan

Matamu, sepasang cahaya aksara
Menjadikan kaki duka lumpuh meluluh
Padamu, muasal bahagia yang tak pernah kuterka
Suguhkan mahkota gemerlap, pias dari segala harap
Menguasai kepala, hingga ke dada-dada
Berdiamlah diantara jantungku
Lalu rasakan, segala degubmu yang aku pinjam

Matamu, sepasang cahaya aksara
Airmata pernah berkubang lesu pada kelopaknya
Terkadang kau jatuhkan dengan tiba-tiba
Aku menjadi bulu mata yang ditenggelamkan dingin basahnya
Di setengah perjalanannya membelah pipi
Aku tak pernah mengamini wajahmu yang memucat pasi
Jika kau urungkan tangismu lagi, kuselesaikan selembar puisi

10 Jun 2012

Siapa?

"Senja dan perdebatan telah usai. Kesimpulan pun terbentuk; dua orang diantara kita yang lebih dulu mencintai adalah kamu dan aku"
Sebelumnya saya pernah ngetwit kata diatas, tentang senja dan perdebatan dengan perempuan yang saya cintai dan mencintai saya. Entahlah, kenapa kata senja selalu terbesit dalam pikiran saya saat menatap matanya.

Suatu malam yang belum terlalu larut...
Saya dan dia sengaja mengawali istirahat agak sore. Dengan suasana malam yang belum terlalu menua, gerimis terlalu cekatan untuk mengirim udara dingin. Dalam satu selimut, kita berbaring saling berhadapan. Tangan kita saling menggenggam, mata kita saling bertatapan. Saat itulah saya menemukan senja dari matanya. Dan saat itu juga dia memcahkan hening dengan bertanya lirih "menurutmu, siapa diantara kita yang lebih dulu mencintai?" Dengan penuh kejujuran saya menjawab lirih pula "aku..." Dia mengerutkan kening, lalu tersenyum "salah..., aku yang lebih dulu mencintaimu..." Saya sempat diam beberapa detik setelah dia mengucapkan kalimat itu. Sebelum saya menanyakan alasannya, dia sudah menjawab lebih dulu "diantara Adam dan Hawa, sangat lucu jika Hawa diciptakan lebih dulu sebelum tulang rusuk Adam terbentuk" satu alasan yang cukup bisa saya terima.

Lalu, dengan apa saya memberi alasan tentang jawaban saya? "terserah jika kamu punya anggapan seperti itu, yang jelas, aku yang lebih dulu mencintaimu" ucap saya dengan dasar kejujuran saya. "salah, aku yang lebih dulu..." "aku..." "aku..." "aku, aku..." perdebatan kecil itu berhenti saat tangannya menjamah pipi saya sambil dia berkata "berarti kita saling mencintai..." tawa kita pun tumpah diatas pembaringan tanpa kita harus berpikir bagaimana cara kita membersihkannya esok. Yah..., esok memang selalu tidak pasti, sayang... Jadi, ada baiknya jika esok tidak mengganggu pikiran kita untuk menikmati hari ini sepenuhnya. Dan kesimpulan pun terbentuk; dua orang diantara kita yang lebih dulu mencintai adalah kamu dan aku. Satu lagi, kita tak akan pernah ingin berpisah meski kita sering bertengkar tentang siapa diantara kita yang lebih dulu mencintai.

4 Jun 2012

(p)Ending

Dalam kehidupan, selalu ada ruang yang bernama "Kesalahan". Ruangan yang disediakan Tuhan untuk mempertemukan kita dalam satu kata "Memaafkan". Namun, apakah kita harus memasuki ruangan itu dengan paksaan dan dorongan Fitnah? Seperti yang kita tahu, adzab Allah tetap berlaku untuk kata itu. Berawal dari fitnah yang tertuju ke salah satu anggota keluarga saya. Satu-satunya hal yang terjadi pertama kalinya pada anggota keluarga saya sejak saya lahir. Fitnah yang berawal dari drama kuno yang bernama "SMS TERROR". SMS yang terkirim pada 2 orang; yang selama ini menjadi gebetan sahabat saya. Yang perlu saya tandaskan, sejujurnya drama ini tidaklah menjadi permasalahan saya seutuhnya. Yang mengharuskan saya masuk didalamnya adalah, dorongan fitnah yang tertuju pada anggota keluarga saya. Padahal jika ditelisik sampai ujung dunia manapun, sama sekali tidak ada modus apapun jika keluarga saya melakukan hal itu. Para sahabat dan orang-orang baik disekitar saya, bisa menjadi saksi atas statemen saya ini. Jawaban mengerucut kepada satu orang. Saya dan orang-orang baik disekitar saya tidak main-main dengan jawaban itu. Ada dalih tersendiri kenapa kita punya jawaban itu, tidak asal beropini. Disertai bukti-bukti kuat dari para korban dan bukti-bukti lain yang kami kumpulkan dari masalalu yang menimpa orang-orang disekitar pelaku (yang pada awalnya saya tidak mempercayai hal itu). Dan satu orang jawaban itu notabene punya hubungan "entah apa" dengan dengan sahabat saya. INI HARUS DIUSUT!! Kata hati saya saat itu juga, beberapa detik setelah saya mendengar dan membaca pernyataan yang seolah-olah anggota keluarga saya tertuduh atas tindakan bodoh ini. Sekaligus untuk memastikan kepada semua orang tentang statemen saya bahwa, tidak ada modus apapun jika keluarga saya melakukan tindakan bodoh semacam itu. Kita berkumpul dalam satu forum sederhana, saya, anggota keluarga saya, dan beberapa orang baik. Saya buka perbincangan dengan berbagai pertanyaan yang saya lontarkan kepada sahabat saya yang punya gebetan, yah... meskipun dengan jawaban yang berbelit-belit. Ada 2 hal paling lucu dalam pertemuan ini. Pertama: Seorang pelaku yang menjadi jawaban saya dan orang-orang baik di sekitar saya itu mengaku kalau dia juga di teror dengan sms yang sama. Kedua: Seorang pelaku yang menjadi jawaban saya dan orang-orang baik di sekitar saya itu menolak dipertemukan dengan ke 2 korban untuk di Sumpah, entah itu atas nama Al Qur'an atau hal yang menurut kita mujarab sebagai umat Muslim. Perlu diketahui, sumpah semacam itu adalah permintaan sahabat saya (yang punya gebetan). Mendengar 2 pernyataan itu, saya sempat hanya tertawa dalam hati. Fikiran saya sih sederhana, saya menganggap pernyataan pertama tersebut hanya sebuah alibi untuk mencuci nama pelaku. Bagaimana dengan pernyataan kedua? Cukup mudah ditebak. Setelah mendengar ke 2 hal lucu tersebut, sesegera mungkin saya mengakhiri forum dengan alasan yang amat sangat mudah untuk ditebak. Yah..., sudah terlihat jelas siapa pelaku yang memainkan drama kuno ini. Saya ambil kesimpulan sederhana dari masalah ini. Pertama; "Mungkin, di mata pelaku, saya dan keluarga saya adalah orang miskin, orang kalangan bawah, yang mudah dibodohi begitu saja. Tapi hal ini tidak berlaku buat Tuhan. Dan saya tidak perlu bersusah payah mengklarifikasi hal ini dengan Tuhan. Bukankah Tuhan Maha Melihat, teman?". Yang kedua; Ada lubang besar yang tidak mungkin saya tabrak lagi, lubang yang dulu pernah ditunjukan oleh orang-orang baik kepada saya dan saya tidak mempercayai, karena lubang itu tertutup begitu rapi. Sekali lagi, saya dan keluarga tidak akan melewati jalan yang berlubang itu".

6 Mei 2012

Dipercantik Takdir

Ini adalah awal dari sebuah rasa yang bernama bahagia. Ketika surga mengijinkanmu untuk memijakkan kaki di bumi, metafora dimulai. Entah sengaja atau tibatiba, tatap mata kita bertemu, dan seterusnya aku bahagia, sejak itu. Wangi tubuhmu selalu membanting sukma, dirajam senyum yang setara dengan ujung pedang, tajam dan membinasakan. Tak ada kata lain! Tatapanmu adalah wacana, menerjemahkan pengertian jika cinta adalah sebuah danau, lalu kita dikutuk menjadi sepasang ikan, dan saat mata kita bisa berkedip, kita boleh mengawali kebahagiaan. Menjalani segalanya tanpa rayuan, karena rayuan tak ubahnya ancaman yang diucapkan dengan mesra. Menaiki anak tangga yang tersusun dari cahaya, serupa tangisan bayi yang lebih putih dari mutiara. Memasrahkan diri untuk disetubuhi kekaguman yang bertubitubi. Yah, seperti takdirnya sendiri, didalam cinta, tak ada jatuh yang tak bahagia.

Kehadiranmu di dunia seperti perintah Tuhan, agar Sorga selalu terbayang ketika do'a sedang kupanjatkan. Selanjutnya aku tak pernah terkejut, ketika kekagumanku sendiri yang menyuruhmu menghuni mimpi. Menyaksikan senyummu saja, dua detik kedepan aku akan menjadi seorang buta untuk melihat kesedihan, lalu bisu untuk mengucap keluhan. Entahlah, tibatiba aku lupa warna airmata. Ketika katakata menyembunyikanku dalam bilik rindumu yang mahapuisi. Bertanding melawan rindu yang sedang mabuk berat dalam warasku. Sedang senyummu, minuman paling anggur yang kusuling perlahan dari ladang anganku. Gerakan tubuhmu; kaki jenjang bidadari yang mengitari purnama. Kekagumanku; sorak anak kecil yang belum mengenal gerhana. Dingin yang kau rasakan, barangkali salah satu cara agar aku tak pernah lupa menawarkan pelukan. Kekagumanku seolah menjadi berita yang baik, saat dingin terbawa langkah kaki sunyi menuju kesini. Lalu kita merayakan ciuman perak tak berujung dan menambah satuan detak jantung. Jika kelak aku tak mampu melihatmu dalam pandangan, aku tetap bisa bersyukur karena kau pernah bermukim dalam ingatan.

25 Apr 2012

Band Yang Gak Pernah End

"Untuk menyelamatkan beberapa bagian hidupku" Ini adalah salah satu alasan yang meneteskan airmataku, tepat dua menit setelah aku mendengarkan lagu Famous Last Word nya My Chemicals Romance, dari sebuah radio. Band ini yang pernah menjadi kiblat kita. Sekelompok anak muda yang pernah menempatkan aku dibaris kedua paling kiri, memberikan aku predikat komposer (meski aku tidak sekaliber Erros atau Achmad Dhani), dan menjadikan aku motor untuk berbagai projek yang kita kerjakan. Yah, kalian adalah sahabat yang telah berkarib dengan denyut nadiku, satu telinga satu rasa, hingga menggumpal pada sebuah kegiatan musik yang mengharuskan kita selalu satu panggung selama 5 pergantian kalender. Epiphone, Tama Star Classic, Gibson, Yamaha RBX, juga Shure Super Classic menjadi hantu dan candu yang membuat kita hanyut dalam ketergantungan bersama. Ketergantungan yang pernah membawa kita menuju beberapa prestasi yang cukup luar biasa (menurut kita) di bidangnya.

Untuk saat ini, kalian sudah menjadi kapan yang entah, jawaban tak pernah aku temukan sebagai kabar. Perjuangan yang mencambuk kalian untuk tetap maju, harus rela meninggalkan aku yang juga harus menyelamatkan beberapa bagian hidupku. Tapi percayalah, ada atau gak aku, kalian tetap sebuah band yang gak pernah end, slow tapi gak melow. Kalian adalah identitas yang menyerupai sidik jari, tak akan terganti dan terbeli. Aku bukanlah penyair tunggal seperti yang kalian anggap. Lagu dan lyric2 mentah akan terus kulahirkan buat kalian. Tagih saja, kelak jika kalian bertandang. Untuk sejumlah kerinduanku; nafas vodka, aroma junkies, dan tatto kalian akan tetap menjadi urutan paling atas. Dan semoga saja, menghapus tatto bukanlah menjadi bagian dari kontrak label yang kelak akan kalian tandatangani. Lupakanlah segala tuntutan! Seperti yang kalian bilang, "terkenal belum tentu menjamin kepuasan". Tetap melangkah guys!
That's what music is entertainment. The more you put yourself into it, the more of you comes out in it ~ Kurt Cobain

11 Mar 2012

Sejarah Penulis "Gila", Karya dan Kreativitas

Kali ini saya sengaja melansir artikel yang membuat saya semangat untuk menulis lagi (setelah beberapa bulan males nulis, :D ). Tentang sejarah beberapa penulis besar dunia yang punya cerita hebat di sepanjang hidupnya. Kreativitas yang berakhir dengan tragis terkait dengan ganguan jiwa mereka. Banyak studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan kejiwaan. Silahkan disimak...

Jumat, 7 Februari 1941. Virginia Woolf menulis di buku hariannya (belakangan dikumpulkan dalam A Writer's Diary): "Mengapa aku tertekan? Aku tak bisa mengingat...."

Hampir dua bulan sesudahnya, pada 28 Maret, penulis Inggris yang dianggap sebagai sosok terkemuka dalam sastra modern abad ke-20 itu menjejali saku bajunya dengan batu lalu menenggelamkan diri di Sungai Ouse di dekat rumahnya di Rodmell, Inggris.
Tak ada orang lain yang tahu. Ia tak tertolong. Woolf meninggalkan surat buat suaminya, Leonard, tentang keputusan nekatnya di usia 59 tahun itu: "Aku merasa pasti bahwa aku akan gila lagi: Aku merasa kita tak akan bisa melalui masa-masa buruk itu lagi.

Dan aku tak akan pulih lagi kali ini. Aku mulai mendengar suara-suara, dan sulit berkonsentrasi. Jadi aku melakukan apa yang kelihatannya paling baik aku lakukan. Kau telah memberiku kebahagiaan terbesar yang paling mungkin...."

Dua dasawarsa kemudian di belahan bumi lain, persisnya di Ketchum, Idaho, Amerika Serikat, Ernest Hemingway meledakkan pistol di kepalanya. Pagi itu, 2 Juli 1961, di usia 61 tahun, penulis beberapa novel yang kini dianggap klasik dalam kanon kesusastraan Amerika Serikat ini menambah deretan anggota keluarganya yang mengakhiri hidupnya sendiri -- termasuk ayahnya, Clarence Hemingway, dan dua saudara kandungnya, Ursula dan Leicester.

Dalam masa setahun terakhir sebelum kematiannya, Hemingway mengidap paranoia parah. Penerima Nobel bidang Sastra (1954) ini takut agen-agen Biro Penyelidik Federal (FBI) akan memburunya bila Kuba berpaling ke Rusia, bahwa Federal Reserve (bank sentral) akan memeriksa rekeningnya, dan bahwa mereka ingin menahannya karena imoralitas dan membawa- bawa minuman keras.

Dia sempat menjalani ECT (electroconvulsive therapy), satu cara perawatan untuk penderita penyakit mental berat, yang belakangan dia tuding sebagai penyebab paranoia pada dirinya. Woolf dan Hemingway sesungguhnya hanya bagian kecil dari sejarah yang mencatat riwayat penulis-penulis genius yang terus-menerus bergulat dengan gangguan mental.

Masuk dalam daftar panjang yang ada (sebagian berdasarkan dugaan) antara lain Edgar Allan Poe, Charles Dickens, Johann Goethe, dan Leo Tolstoy. Dibandingkan dengan yang lain, perjalanan hidup Woolf dan Hemingway tergolong yang berakhir dramatis -- mereka memilih bunuh diri untuk menghentikan penderitaan selamanya.

Mereka itu adalah orangorang kreatif yang sama-sama menderita bipolar disorder atau yang dikenal sebagai penyakit mania-depresi (manic-depression). Inilah penyakit yang mempengaruhi pikiran, perasaan, persepsi, dan perilaku...
bahkan bagaimana seseorang merasakan secara fisik (dikenal secara klinis sebagai psychosomatic presentation). Diduga penyebabnya adalah unsur-unsur elektrik dan kimia di otak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan biasanya ditemukan pada orang dari keluarga yang punya riwayat penyakit mental.

Paling sering seorang penderita mania-depresi mengalami suasana hati (mood) yang berganti-ganti dari keadaan tinggike keadaan rendah dan kembali lagi, dengan derajat penderitaan yang bervariasi. Dua kutub bipolar disorder adalah mania dan depresi.

Keduanya adalah wujud paling sederhana dari penyakit ini. Woolf boleh dibilang contoh yang alami dan meyakinkan, terutama karena pada masanya perawatan secara khusus belum ada dan kebetulan catatan kondisi kesehatannya didokumentasikan dengan baik.

Ditambah buku hariannya sendiri, orang lalu bisa memperoleh gambaran tentang saat-saat ketika ia benar-benar limbung dan ketika enyakit-penyakit remehnya datang, bunuh dirinya, kepribadiannya, dan riwayat seksual dan keluarganya.

Dari buku hariannya, ia bukan saja mengatakan bahwa ia mengalami depresi, tapi juga akan "gila" lagi, dan mulai mendengar suara-suara. Ia tak bisa berkonsentrasi dan yakin ia tak bisa membaca atau menulis. Ia putus asa, merasa tak akan sembuh, dan berkeras bahwa keputusannya untuk mengakhiri hidupnya sendiri -- sebuah tindakan yang terencana dan dari tekad yang kuat (bukan impulsif) -- sangat beralasan.

Woolf, yang berasal dari keluarga dengan banyak penderita depresi, pertama kali mengalami gangguan kejiwaan parah pada usia 13 tahun. Sesudah itu ia beberapa kali mengalaminya lagi, pada usia 22, 28, 30 tahun. Antara 1913 dan 1915, dari usia 31 hingga 33 tahun, ia kerap sakit dan untuk waktu yang lama sampai ada kekhawatiran kegilaannya permanen.

Serangan-serangan ini membutuhkan perawatan medis berminggu-minggu, mengharuskannya istirahat total. Sepanjang sisa masa hidupnya ia mengalami perubahan suasana hati yang tak sampai ekstrem. Masa kanak-kanak Woolf memang tidak bahagia. Tapi para ahli berpendapat, kecil kemungkinan ada hubungan antara masa itu dan penyakit mania-depresinya.

Mereka lebih menduga riwayat keluarganya dan faktor genetis yang berperan. Apa pun, Woolf, Hemingway, Tolstoy, Poe, Dickens, dan lainlain adalah contoh gamblang betapa penyakit mania-depresi atau bipolar disorder lazim di kalangan penulis. Soal ini banyak terdapat dalam berbagai studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan psikiatris.
Malah kreativitas ini tak selalu berarti sastra. Lewat studi selama 10 tahuh, Arnold M. Ludwig, peneliti Pusat Medis di University of Kentucky, menemukan antara 59-77 persen artis, penulis, dan musisi menderita penyakit mental (khususnya gangguan suasana hati) dibandingkan dengan hanya 18- 29 persen di kalangan profesional nonartis.

Dalam studi-studi yang ada sesudahnya, Woolf, seperti halnya para penulis lain yang dijadikan contoh, diketahui menghasilkan hanya sedikit karya atau malah nihil sama sekali sewaktu sakit, tapi justru produktif ketika mengalami serangan. Analisis Woolf sendiri mengenai kreativitasnya memperlihatkan bahwa penyakitnya -- periode-periode mania atau hipomania sesudahnya -- adalah sumber bahan untuk novel-novelnya.

Meski begitu, sebagaimana dikemukakan Kay Redfield Jamison, profesor psikiatri Sekolah Kedokteran di Johns Hopkins University, tidak berarti bisa disimpulkan bahwa orangorang kreatif ditakdirkan menjadi penderita depresi atau bahwa penyakit mental membuat orang lebih kreatif.

Dalam buku berjudul Touched With Fire: Manic Depressive Illness and the Artistic Temperament, Jamison menegaskan betapa mayoritas penderita depresi dan bipolar disorder sama sekali tak punya daya imajinasi yang luar biasa.

"Menganggap penyakit seperti itu biasanya menimbulkan bakat artistik secara keliru memperkuat pandangan serampangan tentang 'genius gila'," katanya. Jadi, mengapa persentase orang-orang kreatif yang menderita depresi dan bipolar disorder begitu tinggi? Apakah penyakit ini meningkatkan kreativitas pada orang-orang tertentu atau apakah karakteristik pikiran kreatif menambah kerentanan terhadap penyakit ini?

Tidak ada jawaban yang pasti. Teorinyalah yang banyak. Faktor dominan yang dikemukakan dalam teori-teori itu adalah emosi dan perilaku yang paralel dengan proses kreatif. Baik pada tahap mania maupun tahap depresi, keduanya -- antara lain berpikir orisinal, produktivitas yang meningkat, fokus, kemampuan bekerja keras dengan waktu tidur terbatas, introspeksi, dan penderitaan yang mendalam -- berperan meningkatkan kreativitas, dan memberinya kedalaman dan makna.

Barangkali karena itulah bahkan Woolf pun mengapresiasinya. Dalam surat kepada seorang temannya, ia menulis:
"Sebagai pengalaman, kegilaan itu sangat menyenangkan, saya bisa jamin, dan bukan untuk dicibir."

*Artikel ini dilansir dari Koran Tempo. ~ Sumber: http://alaroa.blogspot.com/ (pemilik blog diatas adalah salah satu penulis hebat yang saya kagumi)

8 Feb 2012

Masih ...

Masih jenjang...
Bentuk kaki senja yang melangkah gontai memanggil malam
Menuju dingin yang tercampur rahasia-rahasia pekat
Wajahnya menguning emas, serupa anting hening bidadari
Inilah bentuk suci, yang biasanya mendorong iri dengki jauh pergi dari beranda mimpi
Kamu, salah satu harap yang pernah kuanggap
Salah satu rindu yang pernah memelukku
dan salah satu bentuk cinta dungu yang hanya bisu

Masih sakral...
Perpindahan gemuruh menuju senyap
pergantian terang menuju gelap
Selalu ada warna keemasan yang mengagumkan pandang
Menghias di ufuk barat
tenggelam ditelan pengap
Diwakilkan rindu bintang yang tak pernah usang
mencumbu rembulan tanpa bosan
Disinilah pertemuan awalnya!
Disaksikan berjuta mata hening yang mengiba pada bening
Apa yang kau rasakan saat melihatnya?
Adakah sama yang aku rasa?
Menyiram asap rokok ku dengan cahaya jinggamu
meninggalkan rindu tak puas dicumbu

Masih hitam...
Malam yang menguasai jagad
Menghitamkan sepi dalam jelaga sunyi,
terbentang tanpa bunyi
Menggusur ingatan tentang keramaian
Membunuh keinginan untuk berteriak lantang
Akulah bentuk mimpi yang kau kuasai
Bertahan dalam ruang dingin waktu,
yang memburu untuk menumpahkan rindu
Mengeja sajak yang mulai sesak
Mengecap sepi yang mulai menyakiti
Terkadang airmata juga mengandung bahagia,
yang terserap kulit pipi, diteruskan sampai ke hati

7 Feb 2012

Di Pemberhentian Terakhir

Di pemberhentian terakhir ini, pernah ada angan dan harap bertemu. Melumatkan janji yang keluar dari bibir mereka masing-masing, untuk menyatukan segalanya tanpa batasan apapun.

Di pemberhentian terakhir ini, tangan lembut kasih sayang dan bahagia berusaha keras menarik maju rantai yang mendaur ulang waktu, hingga semua dapat tertimbang dengan mengabaikan berat.

Di pemberhentian terakhir ini, rindu juga tak pernah segan menunggu. Menunggu apa yang seharusnya ditunggu. Segala tuan dari asmaradana ini. Cinta, itulah tuan nya.

Di pemberhentian terakhir ini, renyah suara tawa seolah tak ingin kalah dengan kesedihan nurani atas tertumpuknya duka kesendirian yang melewati batas.

Di pemberhentian terakhir ini, ada sebab tatap yang mengharap saling hadap. Melingkarkan janji menghalalkan birahi, menandai sendiri yang diakhiri.

Di pemberhentian terakhir ini, setia pernah menuntun pengkhianatan yang nyaris tergoda. Berpulang tenang menuju rumah, dimana rindu pernah bertumpah ruah.

Di pemberhentian terakhir ini, tak ada kemenangan yang dikekalkan, kecuali kebersamaan untuk saling memenangkan.

Di pemberhentian terakhir ini, malu telah terpuruk ditendang rindu. Berseteru dengan waktu yang pernah merangkum masalalu.

Di pemberhentian terakhir ini, tak ada lagi yang bisa bertanya "dengan siapa kau nanti malam?" Segala jawab telah terbungkus dalam genggaman dua tangan dan pelukan.
Dan di pemberhentian terakhir ini, memilikimu adalah tempat berbaringku, mengistirahatkan naluri yang lelah karena pengembaraan untuk mencarimu...

2 Feb 2012

Berilah Judul

"Kini aku tahu, tawamu adalah pertunjukan dari Tuhan untuk membuatku bahagia saat melihatnya".
Meskipun Tuhan juga menganugerahi aku rasa ketidakmampuan untuk memilikimu. Dan untuk itulah aku menulis saat ini. Sebagai bentuk syukurku atas kepergianmu, meski di hari-hari awal selalu aku mulai dengan tangis. Yah benar..., Kamu bisa bilang bahwa tempat ini sudah menjadi tempat penampung airmata ku. Seperti tissue yang selalu ada di tas jinjingmu, becampur dengan bedak, kosmetik dan gincu.
Seberapa lama aku menjalani ini? Jangan tanyakan lagi, sayang... Jika sekarang kamu sudah bisa menghitung berapa umur anakmu. Selama itu aku mengubur waktu bersama nyeri pemberianmu.
Baiklah, untuk kali ini aku tak akan bersedih lagi. Menulis tentang Rasa Syukur, betapa baiknya Tuhan telah mempertemukan kita meski dalam kurun waktu yang sesingkat petani menunggu masa panen.

Dan itulah, kata-kata di kalimat pertama yang sengaja aku tulis sendiri, (dan sempat aku twit kan tadi) mungkin saat ini sudah menjadi hal mustahil untuk aku lihat dan rasakan. Senyum mu telah dikemas oleh orang lain dan mengusungnya jauh-jauh dari hidupku. Sebagai sesama lelaki aku menyadari, mungkin dia tahu seberapa besar cintaku kepadamu, begitu juga sebaliknya. Jadi sebisa mungkin dia memusnahkan rasa itu, baik dari hatimu maupun hatiku. Terbukti kan kalo kita saling mencintai? Kalau dia sih cuman orang suruhan!! Hanya saja, kita selalu menyepelekan rasa yang di anugerahkan Tuhan itu kepada kita. Kita kotori dengan cemburu buta, sakit hati, juga perselisihan yang meskipun selalu berakhir dengan canda tawa. Jika ada pertanyaan dari siapapun, "Maukah kamu mengulang lagi masa-masa itu?" Mungkin dengan setegas mungkin aku akan jawab "Tidak" Karena aku sendiri bisa sedikit merasakan, bahwa saat ini mungkin kamu sudah merasakan puncak kebahagiaan yang aku sendiri tak tahu bagaimana bentuk bahagiamu itu sendiri. Itu masih dalam kata mungkin.

Jauh di kehidupanmu sendiri sana, bukan hal yang mustahil juga jika kamu merasakan hal yang sama seperti aku saat ini. Aku tidak mengatakan bahwa hal ini "Rindu", aku lebih senang menyebutnya dengan "Ingat". Karena memang tempat terbaikmu adalah ingatanku. Meskipun aku tak tahu dan tak mau tahu, kamu menaruh aku di bagian tubuhmu yang mana. Bukankah kita sudah saling mengenal anatomi tubuh kita masing-masing? *upss...
Lupakanlah, itu bentuk kebodohan masalalu, dan mungkin menjadi salah satu pemicu perpisahan kita. Anggap aja gini, Tuhan Maha Tahu bahwa mahkluk sebaik apa yang harus menjadi pendampingmu kelak, yang mungkin, tidak sepertiku. Syukurilah bahwa tiga hal sakral dalam hidup itu mutlak rahasiaNYA. Tau kan? Yah.., Jodoh, Rejeki dan Kematian.

Ulasan terakhir... Aku tak tahu tulisanku kali ini harus berjudul apa? "Mengingatmu" kayak judul lagu dong, "Merindukanmu" kayak lagunya D'masiv. Aaahh entahlah, mungkin alangkah baiknya jika judul tulisan ini aku serahkan ke kamu aja? *sekedar info aja, aku menulis ini sambil dengerin lagunya GIGI yang berjudul Tebang, inget kan?? Kamu pasti masih hafal bener lyricnya.
Kini aku tahu, tawamu adalah pertunjukan dari Tuhan untuk membuatku bahagia saat melihatnya...

21 Jan 2012

Kelebihan Yang Membahayakan!!

TV One:
Truck dengan muatan kopra terguling di km 74 arah Solo, Jawa Tengah. Diduga kecelakaan ini diakibatkan kondisi jalan yang licin setelah hujan dan muatan truck yang terlalu berlebihan. Sampai berita ini dilansir, belum ada korban jiwa dalam kecelakaan ini. Hanya sopir truck yang mengalami luka cukup serius dibagian dada dan kernet truck mengalami patah tulang di bagian kaki. Akibat dari kecelakaan ini, jalan raya di jalur ini kini macet total. Ada beberapa petugas yang dibantu warga sedang berusaha melakukan evakuasi dari muatan truck tersebut yang berhamburan dijalanan.

SCTV:
Lagi-lagi, kapal bermuatan minyak terbakar di tengah selat sunda. Dari informasi yang kami dapatkan, diduga kebakaran ini dikarenakan kapal kelebihan muatan. Dinas perhubungan laut masih berusaha mengintogerasi beberapa awak kapal yang berada di dalam kapal saat kebakaran itu berlangsung. Dan jika memang kebakaran ini dikarenakan kapal yang kelebihan muatan, fihak penyedia layanan akan dikenakan sanksi sesuai undang-undang yang berlaku. Sejauh ini masih belum ada laporan akan adanya korban jiwa. Yang dikhawatirkan oleh beberapa fihak adalah tercemarnya laut akibat dari minyak yang tumpah dan ledakan-ledakan yang akan berakibat fatal.

METRO TV:
Kami telah mendapatkan video amatir dari seorang penumpang kapal mewah BRITANNY yang tenggelam di perairan perbatasan Australia 14 hari lalu. Kejadian yang menewaskan ratusan jiwa tersebut sampai saat ini masih di selidiki penyebabnya. Dari video amatir tersebut, beberapa pihak memastikan, tenggelamnya kapal ini dikarenakan kelebihan penumpang, mesin kapal bekerja terlalu berat, sehingga terjadi kerusakan yang parah dan mesin terhenti tak terkendalikan. Terlihat dari penuh sesaknya kapal mewah itu yang terlihat dalam video amatir tersebut. John Dalton Bannery, sang pemilik dari kapal high class tersebut merasa sangat terpukul atas kejadian ini. "Saya tidak bisa memberikan komentar apa-apa, yang jelas, ini semua kehendak Tuhan..." Ujarnya saat wawancara khusus dengan tim TV kami.

Malam ini saya sengaja tidak menulis sajak, dan menulis berita fiktif ini. Saya berharap, kita bisa menggali hikmah dari 3 kejadian diatas. Bahwa segala hal yang berasal dari kata "kelebihan" itu terkadang berakibat negatif dan bisa fatal. Dandan berlebihan, jatuhnya menor. Property, Handphone, Baju yang berlebihan, orang lain ngiranya kita sombong, sengaja pamer, belum lagi kalo ada orang-orang jahat yang mengincar barang-barang berharga kita. Mencintai seseorang dengan cara yang berlebihan juga jatuhnya gak enak lho!! Banyak hal tentang "Berlebihan" yang membuat kita akhirnya merasa tidak nyaman. Salah satu contoh yang saya bisa ambil adalah, sebuah rumah yang dihuni oleh banyak orang, istilahnya kelebihan penghuni. Disini akan ada istilah "Tidak Saling Peduli" dengan apapun yang ada disitu. Masing-masing dari mereka hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memperdulikan diri kita. Tidak ada kepedulian untuk menyelamatkan barang-barang kita entah itu dari hujan, panas, maling, atau hal-hal yang membuat kita kecewa atas rusak atau hilang nya barang kesayangan kita tersebut. Apalagi kalo sebagian besar penghuninya mempunyai sifat "Mau Menggigit Tapi Gak Mau Digigit". Akan ada rasa yang tidak nyaman disini. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan mereka sendiri saja kadang juga bergantung ke kita. Disaat kita butuhin mereka, eh mereka gak peduli ama kita. Kompleks memang!!

Saya pernah mencoba membicarakan hal ini dengan Mario Teguh Bajakan. Kenapa saya sebut demikian, karena dia seorang yang menurut saya punya banyak wawasan tentang segala hal. Dia teman baik saya. Selain pemikiran nya yang brilliant dan penuh motivasi, dia juga selalu bisa ngasih saya jalan keluar disaat saya mengalami masalah. Dia bilang, "menghadapi manusia-manusia seperti itu harus diawali dari diri kita sendiri. Artinya, kita sendiri yang harus menjauhi orang-orang type tersebut, jangan menunggu mereka menjauhi kita, karena mereka merasa kita adalah seseorang yang bisa mereka pakai untuk "bersandar". Istilah kasarnya, cabut dari situ! Jangan sekali-sekali mencoba untuk merubah gaya pemikiran mereka. Selain usahamu akan sia-sia, juga karena mereka sudah dari karakter nya suka bergantung pada orang lain..."
Saya rasa masukan yang cukup handal. Cuman mungkin, untuk melakukan hal yang dia sarankan, ada beberapa dari kita yang harus melewati fase pertimbangan yang cukup matang. Jadi, tergantung kita sendiri mau melakukan nya atau tidak.

15 Jan 2012

Tangis Tak Beralasan

Mata lebam itu sudah mulai terbuka, terpaksa terbuka...
Tanpa ada tawar menawar, ternyata tadi lagi-lagi rindunya tumpah ruah di ruang tengah.
Berserakan dan tak segera mengusang.
Tangisan yang beralasan usang itulah yang membuat matanya melebam.
Kebosanan mulai merasuk di kedua retina nya, dikarenakan hujan selalu hilang saat dijemput.
Sesal mulai menyusup di kedua genderang telinganya, dikarenakan semilir angin selalu digantikan posisi oleh deru bising mesin-mesin.
Ingatan yang sudah mulai renta pun masih menyimpan lembaran-lembaran tanya.
Jika masih ada rahim yang merindukanku?
Bila ada rumah yang menungguku?
Atau mungkin, adakah jiwa yang hendak menerimaku?
Dengan nada yang malas, tanya demi tanya itu seolah tetap kukuh bergemuruh dalam setiap hembusan nafasnya yang dulu angkuh.
Satu persatu hari mulai terbuang menuju akhir bulan, tapi sepasang bola mata yang sudah mulai mengabur itu tak juga berkedip menatap rindu yang telah rapi terkemasi.
Menutup rapat pintu imajinasi tentang cinta nya yang selalu menyakiti.
Manghabiskan sisa-sisa kemarau yang berangan akan turun nya hujan.
Dalam putaran fikirnya, laju waktu sengaja memerintahkan langkah setiap detiknya untuk melambat.
Seolah memberi kesempatan kepada ingatan untuk mengumpulkan kenangan, yang seharusnya telah terbuang dalam keranjang, usang...

12 Jan 2012

Lapisan Rindu Ketujuh

Bunyinya berdenting sembilan kali.
Namun jarum jam itu seolah mengusir jauh rasa kantuk ku yang sejak sore tadi tak henti menyetubuhi mata.
Lagi-lagi, kenangan masih saja jahat.
Memapah ayu mu menuju ingatanku, terbungkus rapi diantara perihnya senyum, tepat di depan mataku.
Sementara mengitari kepala, hingga akhirnya memenuhi dada.
Menerjemahkan dengan lugas tentang arti kecupan perak yang pernah kau berikan, dulu...
Dibasahi ludah pahitku, tertelan, lalu mengekal.
Didadaku lah kini engkau berdiam.
Tak hendak pergi, apalagi berlari.
Menunggu waktu yang tepat untuk menua, atau hanya sekedar menunggu tumbuhnya uban di legam rambutmu yang pernah mengisi sela-sela jemariku.
Sendiriku adalah bahasa bisu yang hanya mampu dipahami oleh kemustahilan.
Sajak ku adalah prakata diam dengan tinta yang telah kering menguning, hening...
Hanya bertuliskan namamu dan beberapa tanda baca yang telah terkelupas, ganas...

Bersembunyi diantara pelangi esok hari.
Mungkin disana akan tersedia tempat yang teduh untuk jiwa yang sedang rapuh.
Dibenalui rindu yang pandai menipu, selalu mendatangi saat-saat sendiri.
Itulah, rindu dan kesendirian adalah satu senyawa bodoh yang mematikan.
Merahasiakan tangis namun mengkhianati senyum.
Menyembunyikan airmata tapi membohongi tawa.
Tengoklah tawa dan senyum yang telah lebur terkhianati, warna nya memucat pada ketabahan yang berkarat.
Padahal, pada nirwana sana seharusnya dia berpulang.
Bertemu pandang untuk pertemuan yang diharapkan.
Menghangatkan gigil pagi untuk meramaikan sepi.
Entah pada lapisan keberapa dia berada, pada jejak anggun mu sajak ku mengiba.
Menunggu ihklas yang jengah, hingga pasrah, lalu menyerah...
Sehingga tak perlu lagi aku menuliskan dengan huruf besar dan kecil.
Agar mudah terbaca, seberapa besar rindu ini membuatku kerdil.
Sendiriku adalah bahasa bisu yang hanya dipahami kemustahilan...
Rindu dan kesendirian adalah senyawa bodoh yang mematikan...

7 Jan 2012

Kota Dingin Dan Bilik Kenangan

Berkunjung lagi di kota dingin ini...
Menggandeng haru yang menyelimuti rindu sejak dua tahun lalu.
Dimana setiap lorong jalan nya pernah kita lalui dengan segala hal.
Meihklaskan beberapa putaran waktu untuk menikmati suasana malam dan siang di kotamu.
Mempertemukan ini dan itu, tanpa harus menunggu hadirnya rindu.
Menyeka keluh kesahku dalam bait-bait candamu yang tak lagi bisa ku reka-reka.

Tak ada yang berubah...
Setiap ujung jalan masih menyimpan sisa-sisa tawamu yang dulu pernah renyah ku lumat. Disepanjang jalan itu pula, banyak berjajar pencari nafkah penjual sajian yang menggugah selera. Sehingga lapar selalu saja mengajak untuk menyinggahi nya. Sekedar duduk menikmati hidangan, atau mungkin hanya berdiam mengumpulkan angan. Lambat samar terdengar suara musisi jalanan yang mengais rejeki lewat nyanyian. Lagunya seakan mengiringi aliran airmataku yang tumpah tanpa ijinku. Setiap tetesnya membawa rindu akan dekapmu juga lembut jemarimu. Airmata itulah yang selama ini selalu gagap mengeja namamu. Isakan nya menyudutkan ingatan dalam pengapnya rindu yang tak berdinding. Merintih dalam kesendirian yang tak lagi tahu bagaimana kabarmu.

Mungkin, saat ini kau sudah tak berdiam lagi di kota ini.
Namun, satu hal yang membuat langkahku terhenti.
Tugu di gapura kota mu telah menjadi prasasti yang mengabadikan senyum mu.
Menyerupai selembar sihir yang memanggilku untuk singgah lagi di kota ini.
Hanya untuk melepas sepi hati yang mungkin tak bisa lagi terobati.
Jika kau tak lagi menjadi bagian pelangi di kota ini, bagiku hujan menjadi tak indah lagi... 

3 Jan 2012

Gerimis Yang Membimbingmu

Dalam rangka memulihkan tulang sendi yang pernah di gerogoti dingin harapan untuk memilikimu. Mematahkan sayap-sayap sajak berbentuk kupu-kupu yang pernah aku perintahkan untuk terbang di tiap helai rambutmu. Mengabaikan kornea matamu yang pernah aku anggap sebagai tempat paling teduh dalam gersangnya bathinku yang sampai saat ini masih nyaman mengembara untuk menemukan jawaban ihklasmu. Bulu matamu yang terjatuh, satu persatu mengingatkan aku tentang indahnya merindu dan mengagumi mu. Ku akui, keperkasaan tanganku dalam menulis tak akan pernah bisa melawan kelembutan tatapanmu yang pernah membuat wajahku memerah beku. Pandai memekarkan kuncup-kuncup melati seiring turun nya hujan, pintar mengajarkan cumbuan yang tak kenal lelah dan keringat.

Wahai seseorang yang pernah mengisi bahu kiri ku...
Pergilah dari ruang benak ku sebelum ayat Subuh menyuarakan khidmad nya. Sebentar lagi, gerimis akan membimbingmu menuju pulang ke tempat yang benar. Bukan disini, di beranda ingatanku yang telah penuh sesak dengan ribuan rindu tentangmu. Lihatlah gerimis yang membimbingmu, di tiap celahnya, dia menggendong sekeranjang harapan untuk saling memiliki satu sama lain. Meski akhirnya, mereka harus berpisah dalam resapan tanah. Ada aroma setia ditiap tetesnya. Ditaburi pelukan syahdu yang mengharu biru, dihangatkan pelangi dengan bara tujuh warna. Mungkin, kesetiaan itulah yang pernah diajarkan Adam dan Hawa kepada kita. Agar kita tetap bisa menjadi pecandu akan hangatnya rindu, tanpa harus menjadi pecundang dalam tulusnya kasih sayang.
Tujuh warna pelangi telah mengajarkan kita cara untuk saling berdekatan...

1 Jan 2012

Untukmu..., Rahasiaku...

Aku sendiri juga masih belum tahu, purnama mana yang akan dipilih senja untuk mempercantik tampilan langit malam ini. Atau bahkan, airmata yang diwakilkan hujan akan membasahi bumi yang sudah becek sejak dua hari lalu?? Aku sendiri tak tahu...
Yang jelas, aku masih ingin melihat kesetiaan daun-daun yang menampung jutaan kesedihan untuk embun. Kesetiaan nya lah yang selalu dingin membuka hari. Meski terkadang kelopak mataku harus mengerang karena masih tak mau memulai tugasnya untuk menyaksikan keajaiban pagi. Dilamar oleh sinar kemerahan dari ufuk timur, memaksa hawa dingin itu masuk, hingga nanti berganti keperkasaan matahari. Menjilati sisa-sisa air hujan yang berserakan di beranda bumi dengan kekuatan sinarnya. Mengabadikan kisah hingga hadirnya lagi sang senja, dalam lebaran-lembaran kitab tebal yang dinamakan hari.

Adakah lagi cara mendung untuk mencari tempat di tepian langit, atau bahkan menguasainya, seharian? Ketulusan nya mengumpulkan air, mengingatkan aku akan kesabaranku menunggu senyum mu di awal pagi. Tanpa ada kebohongan dari sisa-sisa mimpi semalam, untuk memudarkan cahaya temaram yang merujuk kelam. Menikmati harum tubuhmu yang mewangi seusai mandi, sebagai alasan kerinduan untuk esok pagi lagi. Agar aku bisa menjadi Ayah dan Suami yang hebat, itu pintamu...
Percayalah, pergantian senja nanti tak akan mampu menghapus imajimu dalam kekuatan pikirku, kekuatan bayu pun tak akan bisa melunturkan tawamu dalam dinding bathinku. Hingga jarum waktu akan merestui kebahagiaanku menyanding peranmu disetiap detiknya.
Aku ingin terus berlama-lama dalam dekap hangat kesetiaanmu hingga rambut kita menguban...