25 Sep 2011

Kafein Jahanam

Dingin mulai lapar menggerogotiku malam ini. Mengucap salam pada pori-pori kulitku yang menyambutnya dengan sapaan malas. Layaknya harapan yang mulai mengembun, untuk selalu mengakrabkan cantikmu dalam galaksi anganku. Tepat disebelahku, tergolek dua mahajiwa yang telah memasuki beberapa tahap mimpi. Melambaikan hasrat kepada bibirku untuk mengecup keningnya masing-masing. Dua sosok yang selalu menyumbangkan tawa dan semangat di tiap skenario hari-hariku. Menjadi aktris utama di semua episodenya, dan selalu mengajarkanku lupa pada luka.

Bisikan hati nakal mulai mengajak untuk bertamu dan menginapkan auramu dalam bilik otakku. Seiring intonasi Britpop yang sombong, menggeser Blues yang berdendang manis dan minimalis. Mereka adalah Rock n' Roll, menyatu dalam secangkir kopi dan kepulan asap rokok ku. Menghidangkan keheningan untuk menu utama kita malam ini. Disaat jemariku mulai terangsang hebat untuk menyetubuhi keyboard didepanku. Bergerak liar seakan menemukan kamar gratis dalam inspirasiku yang mulai berkeringat lelah. Membisukan hati dari pertanyaan haram tentang perselingkuhan. Seperti kata rugi untuk pedangang angkuh berotak besi.

Berjuta pasang mata genit mulai menyibakan kelambu diatas sana. Serupa bintang yang dikirim oleh fikiranku sendiri. Serupa bulan yang menawarkan niat untuk menemani. Sendiri lebih baik bukan?? Bukan lebih baik, karena sendiri itu ganjil.

Tolong tetap paksa aku untuk menjadi "Dua"
Agar bisa menjai Suami yang melindungimu, juga menjadi Ayah yang menyayangimu... 

18 Sep 2011

Dahaga Tuan Putri

Layaknya gerhana yang mengingkari janji rembulan
Seperti pagi yang membungkam celoteh bintang
Bagai senja yang memasung kepakan sayap merpati
Seumpama pagi yang mengusir malam dari peraduannya yang teduh

Sepi berubah beku...
Luka berganti nanah...
Gagap menjadi bisu...
Cacat batiniah memaksaku untuk mengabaikan panggilan bidadari lain yang mulai mengangumi peranku

Samar..., gempita semangat terdengar membangunkan ku yang terlelap lemah di ruang pesakitan kumuh
Wangimu yang dulu bersenyawa dengan benak jinggaku, mendadak jahat mencabik kejantananku dengan murka
Lebam dihati masih membiru, hasil dari tikaman lembut tutur dan perilakumu yang dulu lunak kugenggam

Caci maki khusus buat sang waktu yang pelan merambat, tak lebih cepat dari laju siput Hidangan nyeri beraroma sinis dari alur hidup yang harus kutelan mentah dan hambar tanpa ada bumbu romantika
Ludah yang kau percikan kewajahku telah bercampur dengan keringat
Mirip..., mirip sekali Dongeng Pemuda Dungu Dipinggiran Desa yang hanya menemukan jalan buntu saat menjemput mimpinya
"...aku yakin, tetesan air mata ini akan mampu merubah padang pasir menjadi permadani yang akan selalu ramah menghapus peluhku..."

15 Sep 2011

Dihamili Auramu

Bertemu lagi dengan dia tanpa kuminta. Dia nampak pucat sekali. Wajahnya kumuh, lembab, lesu dan terlihat tak terurus sama sekali. Rambutnya kumal, compang-camping, persis gambaran perempuan pelosok yang belum mengenal salon kecantikan. Terlihat jelas kedua telinganya tanpa ada gelantung anting meski plastik sekalipun. Daster yang dia kenakan kumal, berjamur dan penuh robek sana sini. Suara yang keluar dari tenggorokannya yang kering membuat suaranya parau terbata saat menyapaku penuh rasa malu. Kulitnya nampak rapuh dan kering, bersisik, tak ada bau wangi lotion sedikitpun.

Pemandangan itukah yang menghancurkan legendamu? Legenda yang pernah diagungkan kaumku yang menggilaimu. Legenda yang selalu mengobarkan api cemburu dalam bathinku. Legenda yang mampu mengalihkan pandangan para lelaki meski telah beristri. Legenda yang pernah memindahkan mu dari jok Supra menuju Innova.


Pun pribadiku yang pernah ditelanjangi pesona, disetubuhi wangi dan dihamili aura mu. Mengakar hingga membumi dan sempat menghentikan nadi. Ketika hujan mulai deras sesuka hati, membuat basah kuyub saat aku telanjang kaki. Cerita Bagus ala pemuda berdompet ngepass, Cerita Mesum ala remaja yang masih suka ditimang papa.

Cacian sudah kuanggap nyanyian nina boboku, makian sudah kuanggap busana keseharian ku. Terlelap berselimutkan cibir dan hinaan.
Dimana lelah? Lelah telah menjelma menjadi perjuangan yang kurang sempurna. Kemana patah hati? Patah hati telah berganti penghuni. Menjadi sujud ikhlas kepada Yang Esa meskipun..., tetap kurang sempurna.

10 Sep 2011

Seteru Munafik dan Kebodohan

Tenggelam lagi di aliran limbah perseteruan najis. Mahkota yang disematkan oleh Tuhan yang bernama cinta itupun turut hanyut bersamanya. Seiring dengan rasa lelah yang memaksaku berhenti menjalani laku musafir menuju hatimu. Berjalan terus dengan tujuan untuk menjadi mahajiwa. Rasa ingin berhenti itu tidak dikarenakan belum adanya pertemuan bibir kita. Semata-mata hanya karena kau masih menyita dan menyembunyikan otakku. Sekali lagi, otakku, bukan hatiku!

Pipiku basah? Bukan karena tangisan, bukan karena penyesalan. Dimana munafik mulai menguasai laju darah dan egoku. Wujud dari rasa ingin tertawa yang meledak karena aku telah mampu merobek berkas-berkas itu. Berkas yang membuktikan bahwa kita pernah saling merindukan. Bukan hitungan hari, bukan hitungan tahun, bahkan hitungan detik. Kebodohan itu murni aku lakukan sendiri tanpa ada kamu. Merindukan petaka dulu, atau hanya merindukan lendir? Tak bisa kuambil salah satu jawaban, karena telah kudapatkan dua-duanya. Teori neraca yang pernah diajarkan oleh pengorbanan, perlahan namun pasti telah kau kemasi. Teori yang pernah mengajarkan kita untuk seimbang dan menimbang.

Santun yang beruntun, sahabat yang mendebat, tak pernah kudengar. Hanya nyanyian manjamu yang terdengar entah lewat bibir ataupun saluran tanpa kabel. Teriakan naluri lelakiku, lubang lembabmu selalu nyaman untuk kuhuni. Bukan kuhuni, tapi kuhujam! Walau hanya berbuah keringat dan lendir, kegoblokan setan nafsu selalu membisik di telinga kiri... "Lanjutkan, bodoh!! Itu kenikmatan!!" Logika telah terpasung oleh keanggunan fisik yang semu. Fisik yang sebenarnya berasa sama jika sudah "dibuka dan dirasa" Hanya rasa itu. Tak ada manis, asin, bahkan pahit.

Berganti dengan kesepian yang tak bisa lagi bersenandung. Hanya bisa malu melihat cibiran sinis sang rembulan jauh diatas langit sana, menyaksikan balutan lukaku yang tak jua mengering. Gelembung-gelembung rindu yang mengajak naluriku terbang, ingin sekali menengok parasmu dari balik jendela bathinku yang telah mengikhlaskan kepergianmu. Yang telah terlena dengan rayuan "anak haram" itu. Sekedar ingin menyapa, atau mempertemukan "ini" dan "itu" meski tanpa menghasilkan sesuatu.