7 Jun 2015

Minggu Malam di Surabaya Selatan

sepoi angin beraroma wangi malam itu
semerbak Lily menyusup ke penciuman,
menjalar ke debar-debar
harum itu diedarkan rona malu kita yang saling kejar di udara
kau duduk di depanku dengan senyuman yang sungguh tenang
berdua, kita mempelajari kecewa
tentang sesuatu yang mustahil untuk disatukan
kau iris perihnya menjadi beberapa bagian,
lalu kita nikmati bergantian

seketika semesta menahan napas,
ketika pandanganku berhenti di lapang dadamu
laksana langit bermahkota pelangi
tempat mandi anak-anak khayalku yang bermain air di bawah hujan pagi
dari dada itu pula, aku menyadap luka hidup dan pedihnya keterjatuhan
sebaris nama-nama berhasil kusimpan
nama yang kuanggap musuh besar paling licik,
di salah satu judul dongeng yang dulu diceritakan ibu setiap jelang tidurku

adakah temaram yang mampu melampaui sembap matamu?
sementara pertanyaan itu datang,
kita masih menyimpan kagum rahasia yang saling mencari di setiap malamnya
berpijak pada gundah,
mengitari halaman tanda tanya
meminjam kaki keliru bernama cinta

atau esok, kita tanyakan saja pada senja?
sambil mengajari anak-anak angin yang khilaf itu
bermain tiup menempelkan beberapa helai rambut di kenyal pipimu
percuma saja, malam tak juga menua
seperti ingin mencuri dengar atas cerita dua anak manusia
kebahagiaan yang dirundung kemustahilan
ketenangan yang menerus dihimpit kecemasan

hadirmu ombak laut setenang perigi
naluriku nakhoda muda yang gusar dan kurang teliti
sesumbar mengajakmu memandu kapal menuju dermaga
menghabiskan sisa usia dengan hangat rahasia sebagai tirainya
agar kau bersedia menetap di sini
menikmati denting kecapi
atau menjadi denyut-denyut ganjil yang menggenapi sepinya nadi