9 Feb 2013

Munajat Ketakutan

Sepertiga petang menunduk. Kita berbagi sepiring senja yang sejak pukul lima sore itu sudah dihidangkan langit barat, tanpa kita pesan. Lagi-lagi, temaram menjadi awal kecurigaan dari gejala musim yang ditakutkan langit. Berapa banyak lagi sajak yang harus kutulis di linimasaku sore ini? Untuk menghargaimu, atau untuk melibatkan diri masuk dalam putaran indah yang dibuat oleh waktu. Tangan kita saling menggenggam, memang. Duduk berhadapan, mendatangkan tafsir yang tak janggal untuk beberapa pasang mata yang memandang. Kita adalah sepasang kekasih yang tak membutuhkan apa-apa, saat itu.

"Jangan terlalu takut pada cakrawala sore ini, ia hanya cermin yang memantulkan alismu" bathinku. Seharusnya kata ini kuucapkan langsung di depanmu, sebab aku menghadap timur, engkau yang menghadap barat. Tapi sudahlah, aku hanya ingin engkau lebih intim dengan pikiranku, itu saja. Aku takut. Aku takut dengan daidan yang merupa pagar sebelum memasuki hatimu. Jangankan mengetuk, melihatnya saja aku takut. Akan lebih baik jika aku beranggapan, bahwa aku hanyalah kabut baru, yang sebelum pagi datang nanti harus segera beranjak dari gunungmu. Ketakutanku adalah aroma tipis yang memasuki penciuman para pendaki. Ya, aku mencintaimu dengan segala ketakutanku. Kata-kata itu bisa kau baca di linimasaku. Dan ketakutan ini kubayangkan warna-warni yang kulihat di dinding gelembung sabun. Tipis dan mudah diletuskan. Semoga.

Untukmu yang sore itu mengenakan gaun garis-garis hijau pastel, aku menyimpanmu di pikiranku. Agar mudah aku melihat warna yang kerap memerahkan pipimu, ketika di depanku. Akan kutanyakan lagi pada Tuhan, apakah warna itu juga yang Dia gunakan memperindah pelangi? Jika memang begitu, pantas saja jika beberapa rintik hujan yang jatuh selalu berharap untuk kau tangkap. Aku mengagumi keanggunan caramu memperindah bumi. Cukup! Tuhan lebih tahu, jika engkau aku miliki, tentunya tak akan ada hal yang bisa kupertanyakan lagi.