31 Okt 2011

Tamu Kalbu "tak" Diundang

Semerbak Casablanca menyelinap masuk melalui ventilasi, tercium oleh hidungku.
Secepat kilat, sigap kubuka jendela.
"Engkau kah itu, sayang?? Kenapa tak menyempatkan singgah??"
"Mengabadikan jabat tangan, meski tanpa pelukan dan ciuman..."
"Hey..., apakah kau tak mendengarkan ku, sayang??!!"
"Masuklah, aku sangat merindukanmu!!!"
Teriakan itu begitu menggema, dan hanya didengar oleh telinga hatiku, sendiri...
Sekelebat aku hanya melihat kibasan rambut dan gaun biru laut yang dia kenakan, tanpa sempat melihat cantiknya.
Ada apakah gerangan dia datang kemari?? Ingin menyakan bentuk hatinya yang masih kusimpan??
Kuharap kau tetap baik-baik disana, sayang...
Tanpa ada rasa sakit, sehingga selalu bisa menghadiri undangan kalbuku.
Karena setiap kesakitan ragamu juga akan menjadi penambah resahku, dulu...
Kuharap kau tak pernah lagi takut akan malam, karena disetiap gelapnya, selalu ada dekapku yang melindungimu.

Yaahh..., kuserahkan saja pada sang waktu, siapa yang akan memperindah lukisan cinta ini. Kemauanmu atau kesabaranku.
Sebab, lelah ini tak juga bisa membuatku menyerah.
Berdiam diri di dadamu, dan tetap membujuk hatiku untuk segera pulang. Karena tak seharusnya dia berada di tempat yang seperti ini.
Untunglah keyboard ini tercipta bisu, dia tak akan bisa bercerita, seberapa sering aku mengingatmu disetiap rindu yang aku ketikan.
Suara hatiku ini terlalu merdu untuk memanggilmu, hingga setiap detik kau pun datang menghampiri fikiranku.
Kuharap, jangan pernah lagi menghidangkan kenangan baru buatku, sayang...
Cukup hangatkan kenangan lama, itu sudah cukup buat santap malam yang hening buatku saat ini.
Kehadiranmu masih seperti hujan, menyebalkan tapi kurindukan...
Kedatanganmu layaknya parfum, wangi namun tak berbentuk...
Gerakanmu seperti tangisan bayi, berisik tapi imut...

28 Okt 2011

Sedekah Tangis Ditengah Hujan

Air itu bersumber dari kelopak matamu, bergulung pelan, menghapus halus bedak kuning langsat yang serupa dengan warna wajahmu. Membentuk garis tegak dari mata ke pipimu, seakan membelah daging empuk yang dulu menjadi landasan hidungku.
Mewakili bibirmu yang pernah hangat kulumat, air itu berkeluh kesah, perihal pilihan yang salah. Berisi cacimaki dari mulutnya, tuduhan dari lidahnya, bahkan tamparan dari tangan perkasa nya.
"Dia tak sepertimu..." Ungkapan yang kurang baik buat telinga dan hatiku, sayang...

Teruntukmu, aku memilih untuk menangis ditengah hujan.
Hingga tak mudah untukmu membedakan mana airmata ku dan mana air hujan itu.
Agar kau tak pernah merasakan pedihnya luka ku oleh takdir perpisahan kita, yang tak layak untuk kita persalahkan.
Ihklaskan...  Abaikan... Aku hanya bagian dari rasa kehilanganmu, akan sesuatu yang tak pernah bisa kau miliki.
Anggaplah aku layaknya cermin, setelah kau cantik, pergilah bersama dia... Tinggalkan aku dalam hening bisu terpeluk pilu.

Pahamilah kesetian Sang Malam, sayang...
Dia akan selalu pulang disaat senja memanggilnya.
Begitu juga fikiranku, selalu mengeja namamu meski terbata.
Berharap kau selalu datang meski setiap saat, duduk tenang disini, di dalam sejuk ruang benak ku.
Andai bisa kurangkum semua sajak sampah yang kutulis, huruf-huruf nya teriakan namamu, tanda bacanya kerinduanku.
Tanpa bukti yang nyata, hanya airmata yang mulai menetes ke keyboard ini jadi saksi. Kuharap dia beku, agar tak mudah menguap dan hilang. Dengan segala salam dan kepala menunduk bathinku berucap...
Bahagialah bersama dia...
Karena aku juga telah bahagia setelah kutemukan tulang rusuk ku, disini...

27 Okt 2011

Mimpi "ter" Basah

Dengan aura yang anggun, bayangmu mendatangiku dengan mata yang basah, bercerita tentang kejahatan perih yang bagaikan sematan jarum dijantungmu.
Perlahan kau lepaskan jubah kesombonganmu dilantai.
Bukan satu kebetulan, aku melihat kemurnian zam-zam yang pernah kau sebut buahdada, layaknya hakekat kemurnian cinta yang tak mengenal birahi sebagai dosa.
Hingga tak berbusana, mulai kau seka peluh duka yang mengembun dikeningku.
Ereksi rindu tak terbendung, mengeras diantara senyum mesramu yang bak timah panas menembus jantungku.
Kujilati rindu demi rindu yang tercecer di sekujur tubuhmu.
Ego, cacimaki, iri dengki pada akhirnya mengalah pada pertemuan bibir kita yang basah.
Apakah kau sedang lapar sayang?? / Tidak, aku hanya "butuh air".
Nanar kulihat, disela "daerah itu" masih tertinggal sisa kenakalanku dulu yang teramat jantan menghujam.
Membenamkan kasih hening pada hangat pangkal pahamu.
Meleleh bisu, bersimpuh pekat dalam kenyalnya dinding rahim mu.

Ini keramat sayang...
Layaknya kisah Asmarandana, Kamasutra, atau senyuman Dewi Sri di musim panen para petani
Kuhargai kepandaianmu membelah duka, kau potong menjadi dua bagian, lalu kita nikmati berparuhan.
Satu legenda dimana matahari pernah membohongiku, di siang terik panasnya begitu menyiksa.
Tapi kenapa panas itu hilang setelah kedatanganmu??
Dinadiku lah tempat anggunmu tersimpan, mempunyai andil besar dalam menggerakan tiap-tiap denyutnya.
Kau sadari atau tidak, pesonamu tak akan pernah berkurang sedikitpun, bahkan setelah kau memotong rambut dan kukumu...

23 Okt 2011

Adegan Langit Minggu Malam

Hey Bintang...
Apa yang sedang terjadi diatas sana??
Aku melihat ribuan Bidadari telanjang tanpa busana, menyuguhkan birahi beraroma wangi. Bergerak gemulai diiringi sajak khidmat yang dibacakan awan. Pelangi turut menyumbangkan tujuh warnanya dan musik mengiringi dengan tujuh nadanya.
Apakah disana kau sedang merayakan pesta rindu??
Tawamu berjatuhan hingga ke bumi, berserakan dan berhambur berantakan.
Bolehkah kuambil satu senyum yang sudah menyampah ini??
Kujadikan hiasan di langit-langit kamarku, karna ku temukan satu yang serupa dengan senyuman dia yang telah pergi meninggalkanku, tercuri anak haram yang miskin akan jiwa jantan.

Hey Rembulan...
Tidakah kau jatuh cinta kepada Bintang??
Yang selalu menemanimu berdansa, menghiburmu, membentuk rasi seraya menari. Yang selalu menyiapkan tandu untuk membawamu kemanapun kau mau.
Tidak kah kau kagumi, bahwa dia yang selalu berani mengahadang gerhana saat berusaha menggerogotimu??
Ingin sekali aku mendengar sajak tentang kekagumanmu padanya, sanjunganmu tentangnya. Teriakan dengan lantang!! Buat pipinya merona ungu karena sajak-sajak mu.

Teduh Tergadai

Matahari mulai menghunus pedang, siap menikamku dari belakang. Disela perjuanganku mencari celah jalan diantara kepulan asap kota. Asap yang juga keluar dari nafas bego yang tertawa lebar, menggilas kediaman kumuh kaum kotor. Pelan merambat angkutan kota yang sengaja melambat, lapar akan penumpang yang berbayar sama meski berjarak beda. Dipemberhentian lampu tiga warna, dua dari puluhan anak jalanan mulai mendekat. Mengucap salam akan keringnya tenggorokan dan perut yang keroncongan. Berharap penuh pada rupiah yang terulur ikhlas dari tanganku, tak peduli recehan maupun lembaran. Mereka bukan bentuk kemiskinan, tapi merekalah bentuk pengkhianatan. Pengkhianatan akan kata "manja" yang hanya terbit di buku harian anak-anak gedongan.

Sementara, segerombolan akasia sedang berdialog dengan hidangan yang hijau dan rimbun. Melambaikan dahan-dahan mereka yang seksi, merayuku untuk sejenak menyinggahi surganya yang teduh, seteduh tatapan mata putriku saat melepas keberangkatanku tadi pagi. Keteduhan akasia itulah yang terabaikan oleh terik. Terik yang dengan kejam meremas isi kepalaku hingga remuk tak berbentuk, hancur berhambur. Ada apa dengan Sang Matahari?? Aku yakin, Matahari sedang cemburu, kobaran hatinya terasa hingga membumi. Menyemburui kehadiran rembulan yang selalu ditemani bintang nanti malam. Bercengkrama mesra merayakan pesta rindu.

Layaknya seteru Matahari dan Rembulan, itulah gejolak rasa cinta, tak bisa didamaikan...

19 Okt 2011

Mengulum Rindu Dipangkuan Senja

Seperti saat-saat dan waktu yang telah dilalui hari. Pagi, siang, malam, datang bergantian. Aku ingin kau memahami bahwa aku bukanlah perindu ulung yang selalu bisa menjiwai peranku. Bibirku yang mengulum rindu, lidahku yang mengecap lelah, dan tenggorokanku yang menelan getir, terbuang dalam tangis tak berbentuk. Diperbatasan ufuk, senja tak pernah lalai menutup kemaluan nya, layaknya kamu yang tak juga lupa untuk memejamkan rapat mata hatimu untuk ku. Nyeri dan perih mulai bertamu ke uluhati, jiwaku mulai mengabur. Dari sumbu yang telah terbakar keserasianmu dengan dia, samar kupinta pada Tuhan agar sesegera mungkin merencanakan kematianku. Khilafku menghadang!!!

Lebam di pembuluh darahku adalah akibat seringnya aku menyetubuhi wangimu yang sempat kau tinggalkan. Tersumpah diantara sungging senyuman yang memperlihatkan salju putih, hal itulah yang sempat menghambat kematianku yang tersurat oleh kodrat. Apakah ini satu bentuk khilaf ku pada Yang Esa?? Tidak!! Karena cinta ditakdirkan untuk mempertemukan, seperti halnya aku dan kamu.
Tapi kenapa kali ini cinta menyalahi takdirnya??
Kenapa cantikmu selalu menjelma menjadi peluru yang menghujam isi otak ku??
Haruskah aku tak berkepala, sehingga mudah untuk melupakanmu??
Kenapa tak jua kau anggukan kepala dengan sajak-sajak yang tertuju untukmu??
Mengapa senjaku selalu kau lengkapi dengan luka-luka tak berdarah??

Layaknya seekor ikan, sesekali aku melopat ke udara untuk mempertanyakan takdirku. Yang sengaja kau koyak dengan bias rona merah dipipimu yang sempat dititipkan oleh Tuhan. Memecahkan tangisku dimalam buta, hingga bantal guling tak bergeming. Nalurimu adalah kekayaanku, bathinmu adalah tempat belajarku, mengapa kau masih membelakangiku??

17 Okt 2011

Ingin Kupinjam Lipstikmu

Sejak sore tadi, imajiner terus merengek mengajaku bergunjing tentang kita yang telah terpecah menjadi aku dan kamu. Menjalankan mesin otak ku untuk terus mendaur ulang kalimat-kalimat majemuk. Berbentuk nostalgia yang pernah tumbuh di geraham belakang masa mudaku. Dimana aku bersibuk membenalui sari kasih mu yang perlahan getir kutelan, merasuk dalam aliran sungsumku, lantas membeku. Masa itu telah terkemas dalam keranda yang siap terusung. Karena itulah benak ku mulai lunglai untuk mengingat nya.

Yah..., mungkin itu salah satu alasan mengapa aku tak bisa bertahan lama dalam tembok tak berbatubata ini. Pengap menguap, sesak tak berontak. Beranjak pergi tapi tak mampu berdiri, terluka parah namun tak berdarah. Tunduk terhadap lipstik yang halus teroles di bibirmu. "Mungkin aku yang lebih pantas memakai lipstik itu??" naluri yang tak pernah bisa menjantanimu berbisik. Kalimat yang sempat membuatku malas untuk berkedip, menunggu sisa musim pancaroba untuk bisa merasakan panas dan dingin secara beriringan. Menganyam sajak seserpih demi seserpih bak menikmati kopi hangat kuminum sesesap demi sesesap.

Tak' kan lagi kutambahkan kata "Sayang" saat aku menjawab "Iya..."

4 Okt 2011

Jelata Nuraniku

Kuluruskan kembali lembar waktu yang sempat mengkerut kusut karena tingkahmu.
Merapikan kata "membenahi" dan bukan "membenihi".
Seperti perpindahan ulat menjadi kupu-kupu.
Menjelang senja nanti tutuplah pintu setelah proses itu.
Biarkan rembulan sabit bercerita tentang romantika semua pasangan yang sempat tertangkap basah oleh matanya.
Dengarkanlah!! Karena dia tidak pernah membual...

Untuk kesekian kalinya aku mengajakmu berunding dalam tema "Telanjang Dari Segala Rasa" meski dalam jeda waktu yang tak lama, namun tak sesempit satu kali putaran lagu.
Untuk sekedar menepis perdebatan tanya, siapa yang meninggalkan atau ditinggalkan.
Tentang kesetiaan angin dan pantai hingga mereka menjadi ombak.
Tentang kesetian api dan kayu hingga mereka menjadi abu.
Pun kesetiaan hujan dan langit hingga menjadi pelangi.
Bukan perkara yang gampang untuk menunjukanmu jalan yang benar menuju pulang.

Libatkan nuranimu disini, karena ku tak' akan pernah melerai sedikitpun kejahatanmu yang sering bergulat manis di pelataran padu padanku.
Pengkhianatan bersin terhadap hidungku.
Ingkarnya kantuk terhadap mataku.
Dan kebohongan nyeri terhadap sendi2 tulangku.
Jika mungkin aku telah terkalahkan, kan ku panggil lantang pasukan kesetiaanku untuk menghancurkan peranmu.
Menyeimbangkan lagi hasrat yang mulai meneteskan liurku, berganti kalimah santun untuk nuraniku yang masih jelata.