11 Des 2011

Prosa Dungu Untuk Rindu

Hawa dingin di musim penghujan malam ini mulai menyapa kulitku.
Memapah ingatanku menuju keterasingan waktu dimana aku masih menjadi tong sampah atas segala kesedihan-kesedihan mu.
Lembab air hujan sepertinya sengaja membawa parasmu mengitari ruang kenangan yang sebelumnya telah terkunci rapat.
Paras yang pernah memiliki senyuman melumpuhkan, itu kata hatiku, dulu...
Sebelum ego pengkhianatan menyeretmu untuk mengundurkan diri dari ranah kebersamaan untuk menggenapi keganjilanku.
Bangku dingin yang mulai lapuk seolah menyempurnakan kenangan usang, tempat dimana kita pernah menghabiskan cerita diujung pagi.
Pada paragraf pertama, serangga malam tak pernah lupa menyumbangkan nyanyian-nyanyian nya untuk kita tuliskan.
Mengumpulkan rindu-rindu yang berserakan.
Menikmati cembung korneamu yang terkadang susah tereja.

Menuliskan kisah itu dimalam dingin ini, sama halnya mengihklaskan airmata ku mengendap-endap dari mata menuju pipi.
Menetes, pecah, memercik tak berbentuk.
Menyelimuti subuh dengan aksara tak terjawab.
Mengendarai imajiku untuk mengikuti jejak-jejakmu.
Lunglai menggenggam asa yang tak tahu harus kubuang kemana.
Mungkin bagimu, kerinduan ini hanya kau anggap segenggam garam yang kusebar ditengah lautan.
Atau bahkan, layaknya sebutir embun yang jatuh kebumi.
Karam tak berbekas, lenyap tanpa balas.
Sekumpulan rindu ini pun habis dilumat airmata tak bersuara diujung letihku.
Airmata yang pernah menemani semangatku mencari kebahagiaanmu, yang kini telah kau hirup dari nafas dia.
Kenapa rindu masih saja berterbangan di bilik hati?
Tidak kah dia temukan jalan untuk pulang?
Selalu saja begini!!
Mereka berdansa didalam ingatan, berlatar belakang malam yang di dinginkan hujan. Pulanglah!! Ada banyak hati kasmaran yang menunggumu diambang pintu.
Rindu berkata, dia kangen kamu...
Kangen berkata, dia rindu kamu...