6 Mei 2012

Dipercantik Takdir

Ini adalah awal dari sebuah rasa yang bernama bahagia. Ketika surga mengijinkanmu untuk memijakkan kaki di bumi, metafora dimulai. Entah sengaja atau tibatiba, tatap mata kita bertemu, dan seterusnya aku bahagia, sejak itu. Wangi tubuhmu selalu membanting sukma, dirajam senyum yang setara dengan ujung pedang, tajam dan membinasakan. Tak ada kata lain! Tatapanmu adalah wacana, menerjemahkan pengertian jika cinta adalah sebuah danau, lalu kita dikutuk menjadi sepasang ikan, dan saat mata kita bisa berkedip, kita boleh mengawali kebahagiaan. Menjalani segalanya tanpa rayuan, karena rayuan tak ubahnya ancaman yang diucapkan dengan mesra. Menaiki anak tangga yang tersusun dari cahaya, serupa tangisan bayi yang lebih putih dari mutiara. Memasrahkan diri untuk disetubuhi kekaguman yang bertubitubi. Yah, seperti takdirnya sendiri, didalam cinta, tak ada jatuh yang tak bahagia.

Kehadiranmu di dunia seperti perintah Tuhan, agar Sorga selalu terbayang ketika do'a sedang kupanjatkan. Selanjutnya aku tak pernah terkejut, ketika kekagumanku sendiri yang menyuruhmu menghuni mimpi. Menyaksikan senyummu saja, dua detik kedepan aku akan menjadi seorang buta untuk melihat kesedihan, lalu bisu untuk mengucap keluhan. Entahlah, tibatiba aku lupa warna airmata. Ketika katakata menyembunyikanku dalam bilik rindumu yang mahapuisi. Bertanding melawan rindu yang sedang mabuk berat dalam warasku. Sedang senyummu, minuman paling anggur yang kusuling perlahan dari ladang anganku. Gerakan tubuhmu; kaki jenjang bidadari yang mengitari purnama. Kekagumanku; sorak anak kecil yang belum mengenal gerhana. Dingin yang kau rasakan, barangkali salah satu cara agar aku tak pernah lupa menawarkan pelukan. Kekagumanku seolah menjadi berita yang baik, saat dingin terbawa langkah kaki sunyi menuju kesini. Lalu kita merayakan ciuman perak tak berujung dan menambah satuan detak jantung. Jika kelak aku tak mampu melihatmu dalam pandangan, aku tetap bisa bersyukur karena kau pernah bermukim dalam ingatan.