Kuundang beberapa tanggal yang sedang murung. Kupikir, pesta kecil ini cukuplah untuk menghargai perannya memutar jarum detik menjadi menit, lalu menjadi jam, hingga hari ini bisa bernama waktu. Menempuh beberapa cerita yang belum pernah aku reka sebelumnya. "Apakah kau juga akan mengundang rindu?" seorang sahabat dari kota kenangan bertanya. Ya, tentunya aku mengundang rindu. Paling tidak, ia bisa membacakan satu judul puisi, atau hanya sekedar meramaikan halusinasi.
Para dewa dan beberapa kerabat kayangan memilih sibuk menata bangku, meja dan beberapa botol wine yang kusadap dari ladang birahiku sendiri. Seingatku, ladang itu begitu subur diguyur kekaguman-kekaguman pasca aku menemukanmu. Daun-daun harapannya merindang, getah kebahagiaannya pun lancar. Putih, bening melebihi air telaga. Seperti mata Ibu, lebih tepatnya. Dibawah pengaruhnya, aku pernah mabuk bahasa dan memuntahkan seribu lima ratus sajak sekaligus. Peningnya di kepala begitu terasa, persis baling-baling kapal yang tak pernah tahu tujuan nahkoda.
Malam semakin keriput, namun kita masih larut. Gelegar suara disana-sini begitu meriah. Petir dan guntur memang begitu mengagumkan untuk urusan suara dan ledakan. Tak seberapa sulit untuk meminta bantuannya, karena kebetulan, ada salah satu teman yang berteman baik dengan mendung. Ya, hujan. Sayang dia tak bisa menghadiri undanganku malam ini. Namun tadi pagi, dia datang sebentar untuk mengantar setumpuk dingin di pelataran. Meninggalkan kado istimewa di ceruk-ceruk tanah yang berbau basah. Ah, sudahlah, hadir atau tak hadir, hujan tetap sahabat baik bagi langit.
Kita hanyut dalam gempita. Di atas panggung, kelebat lembut selendang bidadari menarikan gerakan surga diiringi purnama. Pantas saja jika malam ini begitu wangi. Di sana-sini, berserakan senyum yang jatuh dari bibir bintang yang berciuman dengan rasi. Dipunguti pemulung-pemulung jarak yang terbiasa patah hati. Sesekali, satu diantara mereka kuajak naik diatas panggung. Berdansa dengan gerakan liar dengan musik halilintar. Mereka juga berhak merasakan tepuk tangan yang meriah dari pertemuan. Agar disaat hujan, senja dan pagi datang, mereka tak terlalu meratap mengemis cium dan pelukan.
Rangkaian pesta ditutup oleh gelap. Sepertinya ia lebih paham, mata kita butuh terpejam. "Saya ucapkan terimakasih banyak buat semuanya, karena telah memberi saya waktu terbaik untuk jatuh cinta" Karena lelah, tak lagi kuhiraukan pagi yang sedang menyiapkan cahaya. Harusnya kuucap terimakasih juga kepadanya, karena pagi yang tekun menuntun satu persatu tamu undangan untuk pulang.
30 Nov 2012
17 Nov 2012
Empat Tahun Satu Pelangi
Menjelang empat tahun engkau menemaniku...
Carine, dari gerak jelitamu aku hendak menulis satu judul madah yang tak begitu luar biasa. Yang bisa dibaca embun hingga menjadi gembur atau setidaknya mampu membuat terik siang tak lagi berseteru dengan hujan. Retak bibir keringku yang terkadang perih memohon untuk berteduh di bagian terpencil bulu matamu. Rimbun akasia baru yang diciptakan senyummu, kerap sengaja kuseberangi dan kuasah tajam sebagai penggunting mimpi. Tepat di sebelah lesung pipimu, aku menyembunyikan bening rindu dari pecahan-pecahan alasan kenapa aku begitu mencintai seseorang yang melahirkanmu.
Carine, dari kecupan perak yang diajarkan para dewa, bibirku mendaratkan kecup di keningmu yang seumpama salju. Menyampaikan rahasia yang kurekam dari bisik-bisik kerabat kayangan, bahwa selain pengantar bahagia, tugasmu hanya di surga. Tak perlu kau genapi rintik hujan yang dijatuhkan sepagi ini, apalagi dengan airmata. Kedipanmu saja sudah cukup mengeringkan kata-kata lembab yang terlalu lama disimpan cuaca. Bersama usia, buatlah kalimat yang lebih jelas. Tanyakan apa saja. Darimana asal terang yang dipancarkan api atau dimana rembulan bersembunyi saat siang hari. Semua jawaban ada di matamu.
Carine, dalam lelapmu yang menenteramkan aku selalu ingin meloncat delapan jam kedepan. Untuk menyaksikan lagi tarian-tarian pagimu yang suci, bahkan gerakan yang belum sempat dihafalkan bidadari. Menjejakkan tulang muda, menyamai cahaya yang terbit dari kemaluan langit. Bagai pengemis yang menemukan harta karun, juga bagai air yang menemukan sumur, aku puja gerakan cahaya yang kau pentaskan dengan anggun. Sempat kuhitung satu persatu bintang yang terjatuh tadi malam. Kutaburkan di bawah guling yang kau peluk ketika pagi masih berlutut. Menyisakan gemerencing lucu, persis menyerupai suaramu ketika teringat waktu terbaik untuk minum susu.
Carine, dari gerak jelitamu aku hendak menulis satu judul madah yang tak begitu luar biasa. Yang bisa dibaca embun hingga menjadi gembur atau setidaknya mampu membuat terik siang tak lagi berseteru dengan hujan. Retak bibir keringku yang terkadang perih memohon untuk berteduh di bagian terpencil bulu matamu. Rimbun akasia baru yang diciptakan senyummu, kerap sengaja kuseberangi dan kuasah tajam sebagai penggunting mimpi. Tepat di sebelah lesung pipimu, aku menyembunyikan bening rindu dari pecahan-pecahan alasan kenapa aku begitu mencintai seseorang yang melahirkanmu.
Carine, dari kecupan perak yang diajarkan para dewa, bibirku mendaratkan kecup di keningmu yang seumpama salju. Menyampaikan rahasia yang kurekam dari bisik-bisik kerabat kayangan, bahwa selain pengantar bahagia, tugasmu hanya di surga. Tak perlu kau genapi rintik hujan yang dijatuhkan sepagi ini, apalagi dengan airmata. Kedipanmu saja sudah cukup mengeringkan kata-kata lembab yang terlalu lama disimpan cuaca. Bersama usia, buatlah kalimat yang lebih jelas. Tanyakan apa saja. Darimana asal terang yang dipancarkan api atau dimana rembulan bersembunyi saat siang hari. Semua jawaban ada di matamu.
Carine, dalam lelapmu yang menenteramkan aku selalu ingin meloncat delapan jam kedepan. Untuk menyaksikan lagi tarian-tarian pagimu yang suci, bahkan gerakan yang belum sempat dihafalkan bidadari. Menjejakkan tulang muda, menyamai cahaya yang terbit dari kemaluan langit. Bagai pengemis yang menemukan harta karun, juga bagai air yang menemukan sumur, aku puja gerakan cahaya yang kau pentaskan dengan anggun. Sempat kuhitung satu persatu bintang yang terjatuh tadi malam. Kutaburkan di bawah guling yang kau peluk ketika pagi masih berlutut. Menyisakan gemerencing lucu, persis menyerupai suaramu ketika teringat waktu terbaik untuk minum susu.
11 Nov 2012
Keajaiban Ini, Ingin Kuulangi
Sebelum akhirnya aku memutuskan
untuk benar-benar menggilaimu
jelita anggun pengisi dada
yang kupuja setara semesta
Esok
pagi akan mengintipmu
barangkali sebelum aku terbangun
kenali dia
lebih akrab lagi
tanyakan pada dia
bagaimana pagiku sebelum menemukanmu
Jika sudah kau kantongi jawaban
bangunkan aku
aku ingin melihat rona pipimu
yang memerah bercampur embun
tentu saja dingin itu yang menyihir mimpiku
agar pulang membawa kecupan
atau kembali menceritakan cinta
yang kau bilang tanpa alasan
Karena
memilikimu ialah cara terbaik menyerah pada nasib
tentang kemungkinan
kebahagiaan
hal-hal baru yang mengenalkan aku pada senyuman
juga separuh takdir
yang kau bilang tak baik jika kulalui sendirian
Bagaimana cara kita kembali pada esok?
tanyamu
tenang
masih ada siang, Sayang
tempat sembunyi para kelelawar dan peri
yang hanya mengedarkan wangi dimalam hari
juga pertandingan cahaya
akan dipentaskan oleh senja
lincah meramu warna jingga
seperti ciumanku
yang sesekali kudaratkan didadamu
Ketika malam mengganti peran
hisapan jagad untuk cahaya
embun perlahan dicipta
ada juga bintang
rembulan
keduanya selalu tertata rapi diatas langit
seperti wajahmu
rapi menyimpan segala duka
prasangka tentang aku
atau bahkan perihal tak terduga
sebelum kita dipertemukan dan disatukan
Pejamlah kita pada bahagia
melupakan esok yang belum tentu semestinya
istirahatkan raga
agar lelah menyerah
pasrah
lalu kalah
pada tubuh yang rebah
menginjakkan kaki mimpi
untuk caci maki
iri
dengki
juga benci
saling memeluk dan mengulang esok lagi
saling mencintai
dengan cara yang lebih baik lagi
untuk benar-benar menggilaimu
jelita anggun pengisi dada
yang kupuja setara semesta
Esok
pagi akan mengintipmu
barangkali sebelum aku terbangun
kenali dia
lebih akrab lagi
tanyakan pada dia
bagaimana pagiku sebelum menemukanmu
Jika sudah kau kantongi jawaban
bangunkan aku
aku ingin melihat rona pipimu
yang memerah bercampur embun
tentu saja dingin itu yang menyihir mimpiku
agar pulang membawa kecupan
atau kembali menceritakan cinta
yang kau bilang tanpa alasan
Karena
memilikimu ialah cara terbaik menyerah pada nasib
tentang kemungkinan
kebahagiaan
hal-hal baru yang mengenalkan aku pada senyuman
juga separuh takdir
yang kau bilang tak baik jika kulalui sendirian
Bagaimana cara kita kembali pada esok?
tanyamu
tenang
masih ada siang, Sayang
tempat sembunyi para kelelawar dan peri
yang hanya mengedarkan wangi dimalam hari
juga pertandingan cahaya
akan dipentaskan oleh senja
lincah meramu warna jingga
seperti ciumanku
yang sesekali kudaratkan didadamu
Ketika malam mengganti peran
hisapan jagad untuk cahaya
embun perlahan dicipta
ada juga bintang
rembulan
keduanya selalu tertata rapi diatas langit
seperti wajahmu
rapi menyimpan segala duka
prasangka tentang aku
atau bahkan perihal tak terduga
sebelum kita dipertemukan dan disatukan
Pejamlah kita pada bahagia
melupakan esok yang belum tentu semestinya
istirahatkan raga
agar lelah menyerah
pasrah
lalu kalah
pada tubuh yang rebah
menginjakkan kaki mimpi
untuk caci maki
iri
dengki
juga benci
saling memeluk dan mengulang esok lagi
saling mencintai
dengan cara yang lebih baik lagi
Langganan:
Postingan (Atom)