23 Jun 2013

Pecahan Sore

Senja meledak di kelamin cakrawala,
menafkahi gelisah penyair-penyair muda
dengan rindu yang lebih anyir dari darah Punisia.

Aku terlibat,
ulu hatiku mendidih,
liurku mengering,
lidahku mendapat izin menamai sore itu dengan sebutan Laknat.

Pada langkah pergi yang telah mengotori jejakmu,
sepiku lupa cara mengucap caci maki yang baik.

Menyangkarkan dendam untuk air mata yang asin,
mengalir dari mata berkarat yang tertusuk lidi-lidi buatanku sendiri.

Hingga sampai di telinga,
kabar seluruh badan malam telah membusuk.

Sementara tubuhmu sibuk mengedarkan wangi yang perih,
menjepit putaran detik dengan memar yang lebih kejam dari bekas cubitan ibu tiri.

Melupakan satu tugas terakhirmu, untuk sekadar mengubur
bangkaiku.

Seluruh Kita di Dalam Kata

Satu hari dengan pagi yang tak berjudul, aku tak ingin berkhianat atas sajak yang akan kutulis.
Seperti keindahan, yang hidup atas paru-paru namamu.

Kuawali dari jelitamu, yang kuangankan mimbar bagi segala jenis kekaguman.
Nyalang matamu ialah terik, mengamini doa untuk mengawali segala kehidupan.
Rambutmu ribuan serat tanpa ruas.
Pantulan sinar rembulan imitasi, anak panah menuju pulang yang kupercayai.

Hembus napasmu, kehangatan yang setia memeluk daun telingaku;
yang merupakan keranjang, buah-buah ranum yang jatuh dari bibirmu. 
Keningmu, tenang permukaan telaga.
Melayarkan mimpi bibirku yang sekoci, menuju pulau sunyi yang tak memiliki pagi.
Bulu matamu atap dari istana yang megah, sandaran tubuh untuk berteduh, dari terik hingga hujan yang dijatuhkan semesta. 
Kedipanmu hening damai tanpa suara, santun langkah kaki jenjang bidadari yang mengitari purnama.
Bibirmu debar debur laut, pembasuh paling riang, penerbang sukma menuju temaram surga.

Lalu aku mengingat pelukmu; hangat muara jutaan cuaca, yang tak cukup kutulis dengan majas apa saja.
Bahkan pundakmu, bantal terbaik untuk kepalaku.
Padang pasir yang tak punya akhir dijelajah musafir — berparas serupa Yusuf. 
Sidik jarimu adalah arsiran acak di atas debu. Kujaga serupa kain beledu, rebah lembut damai kulit pipiku.
Lenganmu samudera yang membentang.
Tempat segala anak-anak rindu terdampar, penenggelam paling tenang, untukku yang tak pandai akan renang. 
Jemarimu runcing belati berkuku ungu, mengerat pergelanganku yang kaktus berdarah salju.

Kini, labirin-labirin hatiku, telah ramai menanti damai.
Kemarilah, bingkiskan sekotak pelukan berpita merah muda.
Jika kau mempercayai kisah ini, akan kusiapkan seluruh hangat yang kumiliki.
Semoga saja, Tuhan melibatkan kita pada takdir yang sama.


Kolaborasi puisi oleh @poetrypi dan @penagenic