11 Mar 2012

Sejarah Penulis "Gila", Karya dan Kreativitas

Kali ini saya sengaja melansir artikel yang membuat saya semangat untuk menulis lagi (setelah beberapa bulan males nulis, :D ). Tentang sejarah beberapa penulis besar dunia yang punya cerita hebat di sepanjang hidupnya. Kreativitas yang berakhir dengan tragis terkait dengan ganguan jiwa mereka. Banyak studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan kejiwaan. Silahkan disimak...

Jumat, 7 Februari 1941. Virginia Woolf menulis di buku hariannya (belakangan dikumpulkan dalam A Writer's Diary): "Mengapa aku tertekan? Aku tak bisa mengingat...."

Hampir dua bulan sesudahnya, pada 28 Maret, penulis Inggris yang dianggap sebagai sosok terkemuka dalam sastra modern abad ke-20 itu menjejali saku bajunya dengan batu lalu menenggelamkan diri di Sungai Ouse di dekat rumahnya di Rodmell, Inggris.
Tak ada orang lain yang tahu. Ia tak tertolong. Woolf meninggalkan surat buat suaminya, Leonard, tentang keputusan nekatnya di usia 59 tahun itu: "Aku merasa pasti bahwa aku akan gila lagi: Aku merasa kita tak akan bisa melalui masa-masa buruk itu lagi.

Dan aku tak akan pulih lagi kali ini. Aku mulai mendengar suara-suara, dan sulit berkonsentrasi. Jadi aku melakukan apa yang kelihatannya paling baik aku lakukan. Kau telah memberiku kebahagiaan terbesar yang paling mungkin...."

Dua dasawarsa kemudian di belahan bumi lain, persisnya di Ketchum, Idaho, Amerika Serikat, Ernest Hemingway meledakkan pistol di kepalanya. Pagi itu, 2 Juli 1961, di usia 61 tahun, penulis beberapa novel yang kini dianggap klasik dalam kanon kesusastraan Amerika Serikat ini menambah deretan anggota keluarganya yang mengakhiri hidupnya sendiri -- termasuk ayahnya, Clarence Hemingway, dan dua saudara kandungnya, Ursula dan Leicester.

Dalam masa setahun terakhir sebelum kematiannya, Hemingway mengidap paranoia parah. Penerima Nobel bidang Sastra (1954) ini takut agen-agen Biro Penyelidik Federal (FBI) akan memburunya bila Kuba berpaling ke Rusia, bahwa Federal Reserve (bank sentral) akan memeriksa rekeningnya, dan bahwa mereka ingin menahannya karena imoralitas dan membawa- bawa minuman keras.

Dia sempat menjalani ECT (electroconvulsive therapy), satu cara perawatan untuk penderita penyakit mental berat, yang belakangan dia tuding sebagai penyebab paranoia pada dirinya. Woolf dan Hemingway sesungguhnya hanya bagian kecil dari sejarah yang mencatat riwayat penulis-penulis genius yang terus-menerus bergulat dengan gangguan mental.

Masuk dalam daftar panjang yang ada (sebagian berdasarkan dugaan) antara lain Edgar Allan Poe, Charles Dickens, Johann Goethe, dan Leo Tolstoy. Dibandingkan dengan yang lain, perjalanan hidup Woolf dan Hemingway tergolong yang berakhir dramatis -- mereka memilih bunuh diri untuk menghentikan penderitaan selamanya.

Mereka itu adalah orangorang kreatif yang sama-sama menderita bipolar disorder atau yang dikenal sebagai penyakit mania-depresi (manic-depression). Inilah penyakit yang mempengaruhi pikiran, perasaan, persepsi, dan perilaku...
bahkan bagaimana seseorang merasakan secara fisik (dikenal secara klinis sebagai psychosomatic presentation). Diduga penyebabnya adalah unsur-unsur elektrik dan kimia di otak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan biasanya ditemukan pada orang dari keluarga yang punya riwayat penyakit mental.

Paling sering seorang penderita mania-depresi mengalami suasana hati (mood) yang berganti-ganti dari keadaan tinggike keadaan rendah dan kembali lagi, dengan derajat penderitaan yang bervariasi. Dua kutub bipolar disorder adalah mania dan depresi.

Keduanya adalah wujud paling sederhana dari penyakit ini. Woolf boleh dibilang contoh yang alami dan meyakinkan, terutama karena pada masanya perawatan secara khusus belum ada dan kebetulan catatan kondisi kesehatannya didokumentasikan dengan baik.

Ditambah buku hariannya sendiri, orang lalu bisa memperoleh gambaran tentang saat-saat ketika ia benar-benar limbung dan ketika enyakit-penyakit remehnya datang, bunuh dirinya, kepribadiannya, dan riwayat seksual dan keluarganya.

Dari buku hariannya, ia bukan saja mengatakan bahwa ia mengalami depresi, tapi juga akan "gila" lagi, dan mulai mendengar suara-suara. Ia tak bisa berkonsentrasi dan yakin ia tak bisa membaca atau menulis. Ia putus asa, merasa tak akan sembuh, dan berkeras bahwa keputusannya untuk mengakhiri hidupnya sendiri -- sebuah tindakan yang terencana dan dari tekad yang kuat (bukan impulsif) -- sangat beralasan.

Woolf, yang berasal dari keluarga dengan banyak penderita depresi, pertama kali mengalami gangguan kejiwaan parah pada usia 13 tahun. Sesudah itu ia beberapa kali mengalaminya lagi, pada usia 22, 28, 30 tahun. Antara 1913 dan 1915, dari usia 31 hingga 33 tahun, ia kerap sakit dan untuk waktu yang lama sampai ada kekhawatiran kegilaannya permanen.

Serangan-serangan ini membutuhkan perawatan medis berminggu-minggu, mengharuskannya istirahat total. Sepanjang sisa masa hidupnya ia mengalami perubahan suasana hati yang tak sampai ekstrem. Masa kanak-kanak Woolf memang tidak bahagia. Tapi para ahli berpendapat, kecil kemungkinan ada hubungan antara masa itu dan penyakit mania-depresinya.

Mereka lebih menduga riwayat keluarganya dan faktor genetis yang berperan. Apa pun, Woolf, Hemingway, Tolstoy, Poe, Dickens, dan lainlain adalah contoh gamblang betapa penyakit mania-depresi atau bipolar disorder lazim di kalangan penulis. Soal ini banyak terdapat dalam berbagai studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan psikiatris.
Malah kreativitas ini tak selalu berarti sastra. Lewat studi selama 10 tahuh, Arnold M. Ludwig, peneliti Pusat Medis di University of Kentucky, menemukan antara 59-77 persen artis, penulis, dan musisi menderita penyakit mental (khususnya gangguan suasana hati) dibandingkan dengan hanya 18- 29 persen di kalangan profesional nonartis.

Dalam studi-studi yang ada sesudahnya, Woolf, seperti halnya para penulis lain yang dijadikan contoh, diketahui menghasilkan hanya sedikit karya atau malah nihil sama sekali sewaktu sakit, tapi justru produktif ketika mengalami serangan. Analisis Woolf sendiri mengenai kreativitasnya memperlihatkan bahwa penyakitnya -- periode-periode mania atau hipomania sesudahnya -- adalah sumber bahan untuk novel-novelnya.

Meski begitu, sebagaimana dikemukakan Kay Redfield Jamison, profesor psikiatri Sekolah Kedokteran di Johns Hopkins University, tidak berarti bisa disimpulkan bahwa orangorang kreatif ditakdirkan menjadi penderita depresi atau bahwa penyakit mental membuat orang lebih kreatif.

Dalam buku berjudul Touched With Fire: Manic Depressive Illness and the Artistic Temperament, Jamison menegaskan betapa mayoritas penderita depresi dan bipolar disorder sama sekali tak punya daya imajinasi yang luar biasa.

"Menganggap penyakit seperti itu biasanya menimbulkan bakat artistik secara keliru memperkuat pandangan serampangan tentang 'genius gila'," katanya. Jadi, mengapa persentase orang-orang kreatif yang menderita depresi dan bipolar disorder begitu tinggi? Apakah penyakit ini meningkatkan kreativitas pada orang-orang tertentu atau apakah karakteristik pikiran kreatif menambah kerentanan terhadap penyakit ini?

Tidak ada jawaban yang pasti. Teorinyalah yang banyak. Faktor dominan yang dikemukakan dalam teori-teori itu adalah emosi dan perilaku yang paralel dengan proses kreatif. Baik pada tahap mania maupun tahap depresi, keduanya -- antara lain berpikir orisinal, produktivitas yang meningkat, fokus, kemampuan bekerja keras dengan waktu tidur terbatas, introspeksi, dan penderitaan yang mendalam -- berperan meningkatkan kreativitas, dan memberinya kedalaman dan makna.

Barangkali karena itulah bahkan Woolf pun mengapresiasinya. Dalam surat kepada seorang temannya, ia menulis:
"Sebagai pengalaman, kegilaan itu sangat menyenangkan, saya bisa jamin, dan bukan untuk dicibir."

*Artikel ini dilansir dari Koran Tempo. ~ Sumber: http://alaroa.blogspot.com/ (pemilik blog diatas adalah salah satu penulis hebat yang saya kagumi)