25 Nov 2011

Bangkit Dan Mewangi

Setelah beberapa hari bosan dengan menu sinyal yang semakin berjalan renta, hari ini jemari jahil menggeliat kembali. Meliak-liuk kan tubuhnya yang baru saja terbangun dari pembaringan. Sepertinya dia merindukan kembali rasa getir yang selalu mengekor. Hari ini aku sengaja membangunkan nya. Menariknya dari selimut hangat dan bantal guling empuknya. Sudah terlalu lama dia tidak mencorat-coret langit Gmail.

Disela-sela paragraf ini dia biasa berdialog merdu dengan layar monitor. Memanggil kata demi kata, hingga terbentur pada satu kata berwarna abu-abu yaitu namamu. Abu-abu adalah warna kesukaan nya. Bagi dia, abu-abu adalah warna yang diam, tak mudah di logikakan, dia selalu sendiri, ganjil dan tak berpasangan. Diamnya mengandung kapadaian memanggil bising, ditengah-tengah waktu yang selalu saja membawa bingkisan kegelisahan, melenggang mesra bersama hembusan udara dingin ditempat yang aku duduki sekarang.

Bentuknya sudah mulai membaik, tatto di sekujur tubuhnya perlahan memudar, luka bekas koyakan-koyakan belati di masalalu nya juga mulai menutup dengan sempurna. Padahal dulu aku melihat, perih sudah mulai menghancurkan lapisan terdalamnya. Menunggu keihklasanmu menjenguk suasana hatinya. Buat dia, rasa lupa mu yang paling fatal adalah saat kau memutuskan untuk meninggalkan dia tanpa kau bekali obat. Karena semua itu sakit. Saat itu juga dia baru menyadari bahwa memujamu adalah hal yang salah. Entah itu dari cara ataupun jalan nya. Yang secara kasar menyeretnya menuju tempat panas yang mengeringkan kalbunya.

Malam ini dia tampak segar, dengan balutan celana jeans hitam dan kemeja merah hati yang tersembur aroma Dunhill Blue Desire. Mengundang lirikan-lirikan hawa yang belum tahu menahu tentang hatinya yang masih lebam karena pernah dihancurkan kaumnya. Kesabaran nya yang membuat dia tampak bodoh. Kesabaran nya serupa tanah yang terinjak kaki, terguyur hujan, terludahi caci maki. Diam tak bergumam...

Kebangkitan nya malam ini mewakili kerlip bintang yang sempat malu karena kecantikan purnama...

15 Nov 2011

Mana Sayapmu??

Hari ini senja terlalu cepat memanggil malam, mungkin dia rindu akan kecantikan rembulan. Membawa sekuntum mawar merah jingga persembahan kalbu meski terkadang mengabu. Sementara diantara hiruk pikuk suara kota dibawah sana, aku terlentang bebas diatas gedung bersejarah ini. Sisa peninggalan para pahlawan yang memperjuangkan kebebasan bernafas yang bernama kemerdekaan. Dalam kesendirian ini, aku hanya ingin menyaksikan bintang yang saling bercumbu. Saling merayu satu sama lain. Tak jarang salah satu dari mereka patah hati dan bunuh diri, menjatuhkan diri ke bumi. Itulah keindahan langit yang maha dahsyat. Mengandung mitos bahwa semua kumpulan do'a akan terkabul jika kita melihatnya. Ini kebiasaan lamaku, hanya untuk sekedar memugar janji yang telah usang dan melepaskan segala beban yang terpikul di pundak seharian, hingga subuh mulai meneriakan ayat-ayat Tuhan.

"Sendirian aja??" Suara merdu perempuan itu sempat menghentikan detak jatungku. Aku coba bangun dan menatap kedua matanya yang bening, bulat, tajam dan ramah. Wajahnya merona ayu, putih bersih bak wajah bayi yang baru terlahir ke bumi. Khas wajah bidadari yang sering aku baca dalam buku-buku dongeng. Lama aku tak menjawab pertanyaan nya, dia pun tersenyum, memperlihatkan salju putih disela bibirnya yang merekah megah seraya menghentikan kepakan sayapnya.
"Iya... Ini tempat yang paling aku suka selain rahim ibuku setelah aku terlahir ke dunia... " Jawabku singkat.
"Aku tahu... Jauh disana juga banyak mahkluk yang melakukan hal sepertimu, termasuk aku..." Dia berkata tanpa melihat wajahku.
"Oh ya?? Apa yang paling kamu suka dari pemandangan langit diatas sana? Atau kamu sedang menunggu sesuatu?" Tanyaku sambil tak berkedip menatap wajahnya.
"Aku hanya ingin menyaksikan bintang yang saling bercumbu... Saling merayu satu sama lain.. Dan tak jarang salah satu dari mereka patah hati dan bunuh diri, menjatuhkan diri ke bumi..." Sekali lagi, dia memamerkan senyumnya, tapi kali ini dia menatap wajahku dalam-dalam. "Oh iya, kita belum saling kenal... Namaku BAYANG, aku tinggal dalam angan-angan yang aku reka-reka sendiri... Kamu?" Dia mengulurkan tangan nya, dingin kugenggam sebuah kelembutan, serupa bibir ibu yang sering mengecup keningku. Seperti awal kedatangan nya tadi, aku tak segera membalas pertanyaan nya. Karena aku lelaki, aku terbiasa dengan keadaan hangat, seperti kopi yang biasa kuteguk, seperti rokok yang biasa kuhisap. Sementara saat ini, dia menghidangkan suasana dingin yang terbalut kelembutan surgawi. Sungguh tak pernah kurasakan sebelumnya. "Hey..., nama mu siapa? Kok bengong?" Sambil tertawa manja, diapun tak mau melepaskan genggaman tangan nya.
"Ouh maaf..." Sambil tertawa kecil aku menjawab menutupi rasa malu ku. "Nama ku SAMAR, aku tak punya tempat tinggal, berpindah-pindah dari atap fikiran satu ke atap fikiran lain..."

Ber jam-jam kami menyaksikan malam yang seolah bertekuk lutut menyatakan kekaguman pada kecantikan rembulan. Sambil kurebahkan kembali tubuhku, aku bercerita tentang kegiatan ku seharian ini kepada Bayang, yang baru saja aku kenal. Aku merasa nyaman, nyambung, begitu juga Bayang. Sayap yang melekat di punggung nya seolah tak menghalangi untuk dia merebahkan tubuhnya, tepat di sebelahku. Perlahan dia meraih tanganku, mengisi setiap rongga jemariku dengan jemarinya sambil bertanya "Pernah kau bayangkan hal ini terjadi dalam hidupmu??"
"Pernah..., tapi dulu... Sebelum aku menyukai kebiasaan ini. Kebiasaan menyaksikan bintang yang saling bercumbu... Saling merayu satu sama lain, dan tak jarang salah satu dari mereka patah hati dan bunuh diri, menjatuhkan diri kebumi..." Jawabku parau. Sementara kami berdialog, embun tetap saja menganggu. Datang berduyun-duyun bersama kerabat karibnya yang selama ini bertugas mendinginkan malam. Kedinginan itulah yang membuat kita lupa akan waktu, hingga subuh mulai meneriakan ayat-ayat Tuhan, memanggil kembali matahari yang selalu datang dari timur.

Bayang terbangun dari tempatnya merebah, medekatkan wajahnya diatas wajahku sambil berpamit "Aku harus kembali... Apakah kau ingin tetap disini?? Segeralah pulang, siapkan pundakmu untuk memikul beban seharian... Besok kita bertemu disini lagi, di tempat dan waktu yang sama... Hanya untuk menyaksikan bintang yang saling bercumbu... Saling merayu satu sama lain, dan tak jarang salah satu dari mereka patah hati dan bunuh diri, menjatuhkan diri kebumi..."
Perlahan aku bangun dari rebahanku, menyaksikan dia mengepakan sayapnya, meninggalkan aku yang sebentar lagi juga akan turun dari atas gedung ini.

Menyaksikan bintang yang saling bercumbu... Saling merayu satu sama lain...
Tak jarang salah satu dari mereka patah hati dan bunuh diri, menjatuhkan diri ke bumi...

9 Nov 2011

Semoga Matahari Terlambat Bangun

Rasa kantuk yang akhir-akhir jarang sekali menyapaku, tiba2 berteman akrab dengan jemariku untuk berunding diatas keyboard.
Percakapan mereka terhenti sejenak, dikejutkan dering lonceng yang berbunyi dua belas kali.
Lamunan mengingatkanku bahwa cantikmu telah menunggu di ambang mimpi.
Ingatan sudah tak mampu menahan sesaknya rindu, hingga di setiap do'a nya, yang tersebut selalu namamu.
Bergunjing lirih dengan bintang, mengapa dia selalu ihklas menyumbangkan kerlipnya untuk Langit?? Itu bentuk kesetiaan...

Seperti keperkasaan langit yang telah menidurkan bumi dan menyetubuhi nya malam ini.
Semoga esok matahari terlambat bangun dan tak segera cemburu untuk menceraikan mereka.
Dibalut udara yang sedingin ini, seperti tatapan matamu.
Tatapanmu adalah musim dingin yang kekal buatku, hingga air mataku membeku, tak hendak mencair.
Bagaimanapun juga, rindu ini masih menjadi raja dalam dadaku.
Memerintahkan ingatan untuk selalu memanggilmu, kapan saja, semaunya...
Ucapan manjamu adalah cahaya yang menjungkit samar di uluhati ku.
Mendulangkan rasa perih, membuat sajak-sajak ku terkelupas dari  lembaran-lembaran nya.

Kisah kita, adalah satu penghargaan yang pernah diabadikan waktu.
Dibumbui rasa sakit karena terjatuh, agar cinta kita tak pernah menjauh dari do'a.
Hanya saja, mimpi-mimpi fihak ketiga terlalu sombong untuk memisahkan erat genggaman tangan kita.
Memisah paksakan lumatan lidah yang sudah terlanjur akrab, dan memotong nadi kasmaran yang pernah membuat kita lupa akan pulang.

Setelah hujan menyudahi tangisnya, kaca jendela mengembun...
Itulah jelmaanmu yang memandangi sisi gelapku malam ini...

6 Nov 2011

Rindu Yang Dirayakan

Senja mulai rapuh, pucat, menguning, dan perlahan karam ditelan garis horisontal di ufuk barat.
Berganti malam yang mulai terbangun dari peraduan, meniupkan bayu sejuk dalam aroma tanah yang masih menguat karena hujan rindu yang membasahi bumi.
Masih segar dalam ingatanku, kita pernah menatap pergantian posisi yang sakral ini hingga subuh menepi.
Menumpuk kenangan, menghimpun mimpi meski tak seluas bumi.
Hingga lidah tak hanya ingin saling berkata, tapi bertemu.
Ijinkan saja keinginan nya, itu cara lidahku menitipkan hati kepadamu.
Meski sekarang dia hanya menemukan jalan buntu, biarkan dia untuk tetap tenang diujung jalanmu, hingga waktu menuntun nya pulang.
Temaram purnama pernah memanggilnya.
Hanya saja, dia tetap kukuh menghabiskan ingatan dalam bait-bait tanpa dosa tentang pertemuan dua anak manusia yang tak pernah mendapatkan ijin untuk menyatu.

Hargai perbuatan nya, sayang...
Kekuatan nya begitu luar biasa.
Kau percayai atau tidak, semua lembar sajak ini pernah hangus terjilat api yang mendustai, hanya huruf-huruf bertuliskan namamu yang masih utuh.
Sadarku, kamu telah mengekal.
Rinduku ini adalah kebodohan yang terekam kenangan.
Waktu akan tertawa saat memutarnya kembali tanpa kemauanmu untuk membalas.
Dia juga cengeng, sesekali mendatangimu dengan isak tangis yang menjadi-jadi.
Abaikanlah, itu cara dia mengadu, bahwa tempat tinggal nya telah penuh sesak.
Tak ada lagi tempat untuk dia berdiam.

Oiya, hari ini dia berulang tahun, sayang...
Sumbangkan nafas ihklasmu saat meniupkan lilin nya, untuk sekedar merayakan sekian tahun penantian nya yang hanya untukmu.
Biarkan nyanyianmu membuatnya lupa, bahwa iblis baik hati telah sudi datang, menyumbangkan tawa dan tepuk tangan atas kehancuran nya.
Dengan tangan yang gemetar dan pandangan samar, dia pasti akan berikan potongan kue pertamanya khusus untuk mu. Itu kebiasaan usangnya, percayai itu!!!
Setelahnya, dia akan lewatkan dingin malam dengan kobaran api cemburu.
Jangan hiraukan, karena embun akan memadamkan nya saat subuh menggema. Agar tak mudah menyulut segalanya seperti yang pernah terlewati.
Bait-bait ini adalah kejujuran yang diperintahkan kenangan, untuk terus menyudutkanku dalam lamunan pengap berdinding auramu...

3 Nov 2011

Matahari Itu "Orang Ketiga"

Malam ini Tuhan menurunkan hujan, sayang...
Tolong hayati, itu wujud kesetian langit kepada bumi.
Diwujudkan dalam tetes air yang sejuk.
Aroma tanah yang bergelombang pelan memasuki indra penciumanmu.
Dedaunan menghijau ranum.
Yaahh... Malam ini langit membuktikan kesetian nya.
Tapi mengapa esok harus ada Matahari??
Menguapkan semua pemandangan malam ini.
Kedinginan mencair, tak berbekas. Dedaunan cemberut kusut.
Matahari lah, orang ketiga yang menyebabkan kemesraan malam ini terkoyak.
Tanah sempat meneriakan kekaguman pada langit malam ini.
Diwakili gelegar guntur, lantang dia tunjukan kerinduan yang selama ini memenuhi dada.
Tapi esok, tanah juga pasrah disaat sengat panas mentari mulai menyetubuhi.

Senasib dengan kecup rindu yang pernah ku titipkan di bibirmu.
Mungkin hari ini, dia telah remuk dihancurkan ciuman nafsu kekasihmu.
Mencair dalam liur birahimu, tertelan, lalu mengekal.
Biarkan dia tetap berdiam disitu, didalam tubuhmu.
Suatu saat akan kutengok keberadaan nya melalui lidahku.
Sampai aku bisa menemukan kunci dari gudang kata pengap seperti ini.
Menata aksara demi aksara, menyusun bait demi bait.
Demi menayakan keadaan dan bentuk rinduku yang terbawa oleh kepergianmu.
Buat aku tersenyum lega.
Karena dimatamu, aku melihat rindu-rinduku terbungkus rapat dan tertata rapi.
Serahkan semua itu kepadaku, jika tak ingin mengganggu penglihatanmu.
Jangan saling memBENTAK, agar kita bisa saling memBENTUK