28 Agu 2012

Suaramu, Ajakan yang Begitu Merdu

Ledaklah suara, ledaklah rasa
Khidmat teriak merdu di surga telinga
Ramaikan bait dengan nada
Metafora sederhana ketukan luar biasa

Teriakkan teriakku
Membelah setandan dentam dalam bisingmu
Tajam pisauku tenggelam di alir selokanmu
Hingga terjebak di jembatan kayu

Lantunkan lagi lagu matahari
Sarat pantulan terik bertubi-tubi
Acuhkan para bunga yang luka dikupas benci
Melanggar markah yang digaris pasti

********

Aku juga kurang tahu tulisan ini bertema apa, siapapun yang membaca bebas mengartikannya. Kalau aku bertanya pada pikiranku, tulisan ini semacam pujian, caraku sendiri mengungkapkan kekaguman pada sebuah band jadul, yang kasetnya saya temukan beberapa hari lalu di kotak pribadi Almarhum Kakak. Flower, dengan hits nya "Tolong Bu Dokter". Menurutku ini tepat, beberapa hari lagi Rn'R Nite akan digelar di kotaku. Aku dan beberapa teman terundang untuk meramaikan. Akankah kami meramaikannya dengan lagu ini? Permintaanku pada Tuhan semoga saja didengar, semoga...
Dengan berjalannya proses, lagu ini sudah ribuan kali aku dengarkan, dan entahlah, aku belum menemukan kata bosan. Sepertinya Tuhan sengaja menyusun kejadian ini khusus buat aku. Sambil mengenang Alm. Kakak yang addict terhadap Rock n' Roll, ditunggu event besar yang menghargai keberadaanku dan teman-teman, dan tentunya pembelajaran terhadap tempo dan sound gahar yang tak pernah aku jamah sebelumnya. Buat The Flower, "Still Alive & Well" yah..., seperti album kedua kalian.

Doa untuk Takdir Kedua

Jika saja takdir mengijinkan kita menukar tubuh
Kau bisa membaca apa yang aku baca,
begitu juga sebaliknya
Mungkin, bening luka ini lebih mudah kau gunakan untuk bercermin
Apa yang kutenun dari gelisah yang tekun
Merindukanmu pasti,
menjadi judul utama setiap mimpi
Nyeri yang sengaja aku bangun sebagai tempat sembunyi
Darimu, mungkin juga dari ketiadaanku
Perkasaku berubah ketakutan
Patuh, tunduk pada kubang lesung pipimu
yang pernah menenggelamkan surga
Keringatku dikeringkan angin pantainya

Pada hari keberapa aku bisa memastikan kesembuhanmu?
Pada hitungan keberapa aku bisa menemukan jumlah bahagiamu?
Pada bentang jarak keberapa aku bisa meniup lukamu?
Jika semesta bisu akan rebahmu,
anggap saja itu tugasku!
Menjaga perihnya agar tak begitu terasa?
Pinta saja!
Jangan seadanya! Secukupnya lebih sempurna
Sedang pintaku, sederhana
Buatkan aku beberapa kata-kata saja
Kujadikan alasan utama kenapa aku jatuh cinta
Sebab, menurutku adalah dusta,
jika sederhanamu tak mengandung Surga

Menebak kecantikan senja nanti?
Mudah saja, Dinda!
Aku melihatmu berhenti memeluk kesakitanmu
Kurang lebih seperti itu
Kelak ketika aku menemukan pelukmu,
kau tahu arti hangat itu?
Itulah suhu tubuhku yang tak pernah merasa selesai membahagiakanmu

Sebidang Sapa Untukmu

Bahasamu; hujan yang membasahi gurun gersang
Kincir yang berhenti dibalut sarang laba-laba
Rumput yang pucat terinjak cahaya
Beberapa bangkai semut mengambang di tepi telaga
Bisu mengumbar keadaan yang hanya diam
Pahit aroma sunyi menyiangi mimpi
Belum ada yang berani mati di tanah ini

Lidahmu; ujung senapan yang hanya memberi dua pilihan
Meninggalkan atau aku tinggalkan
Aku belum bisa memilih keduanya
Meski aku tertuduh sebagai seorang yang menghamili pikiranmu
Cobalah sesekali menyeberang kesini, ke dadaku
Singgahi debar pemuja taatmu
Yang tak mengenal ampun membenahi takdir dengan tekun

Bibirmu; sekeranjang melati yang bersanggul api
Panas pedas yang disamarkan wangi
Seekor kumbang menjerit dari kedalaman lumpur
Berusaha naik ke permukaan
Meniriskan sayap yang mengepakkan kekhawatiran
Memandang nanar petani jalang yang mencengkeram tangkaimu
Mengusirku terbang menuju kekalahan yang kau siapkan

9 Agu 2012

Bukan Bebanmu, Eitha

Di lantai 14 sebuah apartemen ini aku sendirian. Dari kejauhan, bulan tampak gemetar. Dengan keberanian tinggi, anak-anak cahayanya memasuki ruanganku tanpa permisi. Membaca jelas bayangku yang tanggal diantara sofa berwarna cokelat muda. Jemariku sibuk dengan telepon genggam yang batterynya sudah menyalakan warna kuning. Hening. Hanya suara detik arlojiku yang tergeletak di atas meja kecil sedang berkejaran dengan degub jantungku. Tepat di sebelahnya, sebungkus rokok dan secangkir kopi terlihat begitu akrab. Membicarakan hari pinangan, atau hanya menunggu bibirku menyatukan keduanya secara bergantian. Kurasa ini waktu yang tepat. Sebentar lagi sunyi akan mengantarmu kesini. Kita berunding tentang hal-hal kecil. Tentang rindu, tentang diameter bumi yang semakin memanjang jika dibicarakan, tentang liang birahimu yang pernah kuraba dengan gelisah, atau tentang ciuman ungu yang pernah aku tinggalkan di dadamu; di sebelah kanan tujuh, sebelah kiri satu. Sebelah kiri satu? Karena aku ingin bekas bibirku menceritakan bagaimana gemuruh surga itu jika kudengarkan. Ya, debarmu.

Separuh langit kering berwarna tembaga. Di bawah sana, lampu-lampu mobil mewah semakin ramai. Menutupi keriput kulit malam yang pekat dipendar nafsu terik matahari setiap hari. Bunyi klakson terdengar renyah memanggil kemacetan kota. Setengah jam aku memandang ke bawah dari balik jendela. Suara pintu diketuk menghardik telinga. Aku buka pintu dengan senyum paling nista yang aku miliki. Di matamu, hanya itu yang aku punya. "Eitha, malam ini kamu terlihat manis sekali..." gumamku dalam hati. Eitha masih berdiri di depan pintu dengan jaket warna biru yang sengaja tak dikancingkan. Bercelana jeans dan kaos ketat warna putih, cukup menggemaskan membungkus perawakannya yang tak begitu tinggi. Imut, lucu, sederhana dan sedap dipandang. Tas yang tergantung di bahu sebelah kirinya segera aku selamatkan agar mengurangi beban. Senyumnya mengembang, menolehkan sebelah pipi dengan gerakan manja. Ciuman dari bibirku pun mendarat di pipinya, mengabarkan rindu yang sudah hampir tiga minggu kukantongi di saku kemeja.

"Aku langsung tidur yah? Capek." Kata Eitha sambil melepas jaket yang ia kenakan. Menggambarkan mood yang lagi kurang enak untuk diajak ngobrol.
"Oke, kalo kamu capek istirahat aja" Jawabku sedikit kecewa. Beberapa menit kita terdiam.
"Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan ke kamu, mengenai kejadian beberapa hari ini." Kataku lirih, sedikit lebih keras dari suara detik jam dinding.
"Cerita aja, aku dengerin kok..." Jawab Eitha sambil merebah, tak sedikitpun melihat wajahku.
"Gak perlu lah, kamu sedang capek, moodmu lagi kurang bagus, nanti jatuhnya salah paham lagi..." Sekedar penetral suasana saja dari aku. Tanpa jawaban, dan sekali lagi wajah Eitha masih mengarah ke tembok sebelah tempat tidur. Perlahan aku belai rambut Eitha yang tergerai di atas bantal. Kuharap wanginya bersedia memenuhi tiap sela jemariku.
"Kamu gak pengen berhenti? Sampai kapan kita seperti ini? Kamu sudah beristri, kamu gak kasihan sama istri kamu? Jujur, ini sangat-sangat bertentangan dengan prinsipku. Kita udahan yah? Plis..." Dengan nada datar Eitha melontarkan beberapa pertanyaan dan permintaan yang masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi kali ini beda, kita saling menatap dalam-dalam, mata kita bertemu dalam ruang ketaktermungkinan.

"Memang siapa aja yang tahu tentang statusku? Teman kampusmu, orang tuamu, atau semua orang? Nggak ada kan?! Di duniamu, yang tahu tentang statusku cuman kamu, Eitha. Lebih sakit mana, kalo dulu aku berbohong tentang statusku, lalu kita jadian, di tengah jalan tiba-tiba kamu tahu tentang statusku. Lagian, emang selama ini kita ngapain? Selingkuh? Menurutku sih enggak! Kalo tujuanku cuman selingkuh, gak mungkin aku selingkuhin mahasiswi seperti kamu. Mending aku selingkuh sama janda kaya. Materi berlimpah, nafsu, dan segalanya terpenuhi. Sudahlah, kamu konsentrasi saja sama kuliahmu, kejar terus cita-citamu. Jangan kamu terlalu memikirkan Istriku. Aku sudah memenuhi bahagianya, dalam bentuk apapun! Dia juga tidak merasa terganggu dengan kedatanganmu! Aku sendiri juga tidak tahu, Eitha, kenapa Tuhan memberiku rasa yang seperti ini? Dan kenapa rasa ini harus jatuh ke kamu? Sepanjang usia pernikahanku, sama sekali aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Meskipun, beberapa perempuan pernah mencoba datang dan mendekat. Plis, Eitha, aku gak ingin membatasi kamu. Kalo kamu ingin berpacaran dengan cowok lain, silakan! Siapapun itu jika kamu anggap pantas. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang berada tepat di belakang kamu. Melindungimu, membantu apapun yang kamu butuh, hingga kamu bisa menyelesaikan cita-citamu, semuanya. Itu aja! Kelak, jika kamu menikah dengan lelaki pilihanmu, paling tidak kamu bisa mengingat bahwa pernah ada aku di hari-harimu dulu. Mencintai bukan berarti memiliki, itu benar, Eitha, dan saat ini aku sedang merasakannya, kepadamu..."

Dan penjelasanku yang panjang lebar itu mengantar kita pada kantuk yang luar biasa. Sepakat, malam itu pula kita tertidur di ranjang dan di kota masing-masing. Sebab semua ini hanya fiksimimpi.
Terimakasih atas luang waktu yang telah mengijinkan aku menidurkan kata-kata tepat di sebelah mimpimu. Menikmati wangi tubuh dan mengecupkan pejam di matamu

7 Agu 2012

Pertengkaran Dibawah Bulan

Sebuah kolaborasi puisi yang ditulis oleh @aksara_saja dan @penagenic

@aksara_saja:
Seperti malam-malam yang menggusur senja
Kita bisa dengan fasih membacanya
Mata yang lebih sedih dari tangis puisi
Dada yang lebih gelisah dari mata angin
Pada sebuah musim
dimana sajak-sajak bermekaran
Pada sebuah malam
dimana bulan hanya tinggal kenangan

@penagenic:

Tak perlu kita kawinkan senja dan malam
Keduanya, takdir yang saling mencinta
Pada akhirnya mereka akan pulang
merumah kepada malam
Mengunci sebagian bunyi
lalu diteriakan sebagai sunyi
Hingga harum rahasia
begitu lembut dipancarkan bulan

@aksara_saja:
Tidak ada yang lebih berdosa diantara kita
Selain ingatan yang perlahan melupa
Atau sebuah lambaian tangan dari kejauhan
Pertemuan tidak lebih hanya kesunyian
Atau nasib
yang dilesatkan oleh-Nya
Begitu saja

@penagenic:
Kepada sajak kita menjabatkan ingatan
Menyusun akrab menuju erat yang hangat
Keringat hanyalah tanda tanya yang diperas nasib
Berkali sujudku pingsan diatas dingin lantai
Menegaskan doa yang masih pucat tersurat
Sahabat, ludah bintang tak pernah mengering
Kutunggu ribuan aksaramu
hingga Ramadhan mengibarkan takbir

2 Agu 2012

Sebutir Tamu Rahasia

Tamu baru melintasi debar
Mengisi dada tanpa kuminta
Samar kedatangannya mengabarkan kebaikan
Tak tepat waktu jika ragu berubah yakin
Di ketinggian nalar, jatuhnya kuamini sebagai cinta
Dalam waras, kureka saja sebagai tamu biasa

Sekujur pikir melepuh dengan nanah yang entah
Paras eloknya kusetarakan hujan senja di kebun belakang
Kagumku, nadi kelasi yang basah digigilkan kedinginan
Kesetiaan dan keinginan mulai di adu domba
Mengelak bukan cara yang layak menghindari bentak
Gertaknya wangi, selembut gincu yang ingin kulumat dari bibirnya yang pagi

Apakah hanya kepadanya kecantikan di titiskan?
Tak harus kukatakan meski kelak berubah dendam
Jika dia datang milyaran detik yang lalu
ingin kutukarkan seluruh waktu
Sebab, dalam namanya terselip bunga puisi
Jika diijinkan, ingin kutiriskan lagi untuk menambah warna pelangi

Musim yang Memugar Pertemuan Kita

Sebuah Kolaborasi Puisi yang ditulis oleh @dqueen__ dan @penagenic

@penagenic:
Akhirnya kata-kata menuntun kita menemukan pagi
Meninggalkan jejak yang diselamatkan pelangi
Bulan pasrah, melanjutkan tugas yang masih kurang beberapa hari
Di altar jantungmu, sungguh aku masih ingin menjadi hal
yang kau hiraukan dan kau igaukan
Menanti penuh debar dengan ingatan yang masih terbongkar
Aliran darah semakin lamban, dihadang janji yang belum terpugar

@dqueen__:
Bagian mana lagi dari semesta yang ingin diruntuhkan
Ditenggelamkan dalam kesekejapan
Aksara selalu punya kesanggupan
Membelokkan delapan penjuru mata angin,
mengarah ke satu hulu ingatan
Pada musim-musim yang lindap,
sajak-sajak rindu tentangmu menjadi butiran-butiran jam pasir
mengosongkan satu sisi, untuk mengisi sisi yang lain
Seperti kepalaku, yang mengulang-ulang kenangan, mengekalkan kepergian

@penagenic:
Jika aku hanya Kau pinjami tubuh,
kurampas saja jantungnya!
Degubku adalah gerakan pena yang menggeser arah mata angin
Memahami tabiat musim diakhir Juli
yang mulai tak teratur mendenyutkan nadi
Musim kering yang pandai menanam kekalahan
Menghunus terik, mencabik punggung bumi
yang merindukan hujan terus-terusan

@dqueen__:
Pada akhirnya, terbacalah arah mata pedang itu
Menebas yang terhempas, melepas tapi tak bebas
Menikam sekali dan turut mati
Segala musim dalam benakku yang berlari
Gugur semua menjadi akhir semi
Membuka pelukan pada hujan, yang terus-terusan
Gerakan mata penamu, Tuan, seceruk dalam menggenang
dikedalaman dadaku, ada yang mati tenggelam oleh banjir bandang kenangan