8 Feb 2012

Masih ...

Masih jenjang...
Bentuk kaki senja yang melangkah gontai memanggil malam
Menuju dingin yang tercampur rahasia-rahasia pekat
Wajahnya menguning emas, serupa anting hening bidadari
Inilah bentuk suci, yang biasanya mendorong iri dengki jauh pergi dari beranda mimpi
Kamu, salah satu harap yang pernah kuanggap
Salah satu rindu yang pernah memelukku
dan salah satu bentuk cinta dungu yang hanya bisu

Masih sakral...
Perpindahan gemuruh menuju senyap
pergantian terang menuju gelap
Selalu ada warna keemasan yang mengagumkan pandang
Menghias di ufuk barat
tenggelam ditelan pengap
Diwakilkan rindu bintang yang tak pernah usang
mencumbu rembulan tanpa bosan
Disinilah pertemuan awalnya!
Disaksikan berjuta mata hening yang mengiba pada bening
Apa yang kau rasakan saat melihatnya?
Adakah sama yang aku rasa?
Menyiram asap rokok ku dengan cahaya jinggamu
meninggalkan rindu tak puas dicumbu

Masih hitam...
Malam yang menguasai jagad
Menghitamkan sepi dalam jelaga sunyi,
terbentang tanpa bunyi
Menggusur ingatan tentang keramaian
Membunuh keinginan untuk berteriak lantang
Akulah bentuk mimpi yang kau kuasai
Bertahan dalam ruang dingin waktu,
yang memburu untuk menumpahkan rindu
Mengeja sajak yang mulai sesak
Mengecap sepi yang mulai menyakiti
Terkadang airmata juga mengandung bahagia,
yang terserap kulit pipi, diteruskan sampai ke hati

7 Feb 2012

Di Pemberhentian Terakhir

Di pemberhentian terakhir ini, pernah ada angan dan harap bertemu. Melumatkan janji yang keluar dari bibir mereka masing-masing, untuk menyatukan segalanya tanpa batasan apapun.

Di pemberhentian terakhir ini, tangan lembut kasih sayang dan bahagia berusaha keras menarik maju rantai yang mendaur ulang waktu, hingga semua dapat tertimbang dengan mengabaikan berat.

Di pemberhentian terakhir ini, rindu juga tak pernah segan menunggu. Menunggu apa yang seharusnya ditunggu. Segala tuan dari asmaradana ini. Cinta, itulah tuan nya.

Di pemberhentian terakhir ini, renyah suara tawa seolah tak ingin kalah dengan kesedihan nurani atas tertumpuknya duka kesendirian yang melewati batas.

Di pemberhentian terakhir ini, ada sebab tatap yang mengharap saling hadap. Melingkarkan janji menghalalkan birahi, menandai sendiri yang diakhiri.

Di pemberhentian terakhir ini, setia pernah menuntun pengkhianatan yang nyaris tergoda. Berpulang tenang menuju rumah, dimana rindu pernah bertumpah ruah.

Di pemberhentian terakhir ini, tak ada kemenangan yang dikekalkan, kecuali kebersamaan untuk saling memenangkan.

Di pemberhentian terakhir ini, malu telah terpuruk ditendang rindu. Berseteru dengan waktu yang pernah merangkum masalalu.

Di pemberhentian terakhir ini, tak ada lagi yang bisa bertanya "dengan siapa kau nanti malam?" Segala jawab telah terbungkus dalam genggaman dua tangan dan pelukan.
Dan di pemberhentian terakhir ini, memilikimu adalah tempat berbaringku, mengistirahatkan naluri yang lelah karena pengembaraan untuk mencarimu...

2 Feb 2012

Berilah Judul

"Kini aku tahu, tawamu adalah pertunjukan dari Tuhan untuk membuatku bahagia saat melihatnya".
Meskipun Tuhan juga menganugerahi aku rasa ketidakmampuan untuk memilikimu. Dan untuk itulah aku menulis saat ini. Sebagai bentuk syukurku atas kepergianmu, meski di hari-hari awal selalu aku mulai dengan tangis. Yah benar..., Kamu bisa bilang bahwa tempat ini sudah menjadi tempat penampung airmata ku. Seperti tissue yang selalu ada di tas jinjingmu, becampur dengan bedak, kosmetik dan gincu.
Seberapa lama aku menjalani ini? Jangan tanyakan lagi, sayang... Jika sekarang kamu sudah bisa menghitung berapa umur anakmu. Selama itu aku mengubur waktu bersama nyeri pemberianmu.
Baiklah, untuk kali ini aku tak akan bersedih lagi. Menulis tentang Rasa Syukur, betapa baiknya Tuhan telah mempertemukan kita meski dalam kurun waktu yang sesingkat petani menunggu masa panen.

Dan itulah, kata-kata di kalimat pertama yang sengaja aku tulis sendiri, (dan sempat aku twit kan tadi) mungkin saat ini sudah menjadi hal mustahil untuk aku lihat dan rasakan. Senyum mu telah dikemas oleh orang lain dan mengusungnya jauh-jauh dari hidupku. Sebagai sesama lelaki aku menyadari, mungkin dia tahu seberapa besar cintaku kepadamu, begitu juga sebaliknya. Jadi sebisa mungkin dia memusnahkan rasa itu, baik dari hatimu maupun hatiku. Terbukti kan kalo kita saling mencintai? Kalau dia sih cuman orang suruhan!! Hanya saja, kita selalu menyepelekan rasa yang di anugerahkan Tuhan itu kepada kita. Kita kotori dengan cemburu buta, sakit hati, juga perselisihan yang meskipun selalu berakhir dengan canda tawa. Jika ada pertanyaan dari siapapun, "Maukah kamu mengulang lagi masa-masa itu?" Mungkin dengan setegas mungkin aku akan jawab "Tidak" Karena aku sendiri bisa sedikit merasakan, bahwa saat ini mungkin kamu sudah merasakan puncak kebahagiaan yang aku sendiri tak tahu bagaimana bentuk bahagiamu itu sendiri. Itu masih dalam kata mungkin.

Jauh di kehidupanmu sendiri sana, bukan hal yang mustahil juga jika kamu merasakan hal yang sama seperti aku saat ini. Aku tidak mengatakan bahwa hal ini "Rindu", aku lebih senang menyebutnya dengan "Ingat". Karena memang tempat terbaikmu adalah ingatanku. Meskipun aku tak tahu dan tak mau tahu, kamu menaruh aku di bagian tubuhmu yang mana. Bukankah kita sudah saling mengenal anatomi tubuh kita masing-masing? *upss...
Lupakanlah, itu bentuk kebodohan masalalu, dan mungkin menjadi salah satu pemicu perpisahan kita. Anggap aja gini, Tuhan Maha Tahu bahwa mahkluk sebaik apa yang harus menjadi pendampingmu kelak, yang mungkin, tidak sepertiku. Syukurilah bahwa tiga hal sakral dalam hidup itu mutlak rahasiaNYA. Tau kan? Yah.., Jodoh, Rejeki dan Kematian.

Ulasan terakhir... Aku tak tahu tulisanku kali ini harus berjudul apa? "Mengingatmu" kayak judul lagu dong, "Merindukanmu" kayak lagunya D'masiv. Aaahh entahlah, mungkin alangkah baiknya jika judul tulisan ini aku serahkan ke kamu aja? *sekedar info aja, aku menulis ini sambil dengerin lagunya GIGI yang berjudul Tebang, inget kan?? Kamu pasti masih hafal bener lyricnya.
Kini aku tahu, tawamu adalah pertunjukan dari Tuhan untuk membuatku bahagia saat melihatnya...