17 Apr 2014

Empat Pertanyaan Menjelang Pukul Empat Pagi

Mual di perutku mulai merambat naik menuju tenggorokan. Arloji berantai hitam pemberian perempuan luar biasa yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan pukul 03:47 Waktu Indonesia Bagian Barat. Wajar saja jika dingin embun seolah menertawakan langkahku yang sempoyongan memasuki lorong kampungku menjelang pagi itu. Sebelum akhirnya berhasil membuka pintu rumah, tiba-tiba ingatanku membentuk sebuah tongkat yang memukulkan beberapa pertanyaan di kepalaku;

• Selain penyesalan, apa lagi perihal yang menakutkan?
• Jika tak ada puisi, dengan cara apa aku bisa menyembunyikan tangis?
• Apa yang bisa kulakukan jika masa muda Griselda Blanco ingin sekali menikahiku?
• Apa jadinya jika semua orang yang kusayangi berubah menjadi gantungan kunci?

13 Apr 2014

Luka Abadi yang Karam di Laut Puisi

Entah bagaimana persisnya
tiba-tiba aku ingin menebak
berapa banyak hangat genggaman
yang kutebar di pergelangan tanganmu.
Sebelum kau tersakiti, sebelum kau berlari pergi.

Aku pernah melupakan lapar hanya karena ingin mendengar kenyangmu.
Aku sempat mengabaikan hangat hanya karena menolak mendengar gigilmu.
Namun kau menyukai tajam,
lalu mendorongnya lembut,
mengarahkan ke seluruh denyutku.

Semena-mena kau menyeret wajah bulan yang terbiasa menerangi beranda.
Biar pudar!
Agar menyebar ke seluruh memar.
Meninggalkan aku yang dijangkiti kecewa,
lalu membiarkan perih menancap di sana.

Sepandai itukah kau melubangi urat nadiku?
Muara seluruh denyut,
yang kupakai menyelamatkanmu ketika hanyut.
Tak pernah kuucap percuma,
meski hanya mengapungkan dosa.

Entah bagaimana persisnya,
tiba-tiba aku ingin menebak
berapa kali aku menyebutmu luka abadi yang karam di laut puisi.