4 Okt 2011

Jelata Nuraniku

Kuluruskan kembali lembar waktu yang sempat mengkerut kusut karena tingkahmu.
Merapikan kata "membenahi" dan bukan "membenihi".
Seperti perpindahan ulat menjadi kupu-kupu.
Menjelang senja nanti tutuplah pintu setelah proses itu.
Biarkan rembulan sabit bercerita tentang romantika semua pasangan yang sempat tertangkap basah oleh matanya.
Dengarkanlah!! Karena dia tidak pernah membual...

Untuk kesekian kalinya aku mengajakmu berunding dalam tema "Telanjang Dari Segala Rasa" meski dalam jeda waktu yang tak lama, namun tak sesempit satu kali putaran lagu.
Untuk sekedar menepis perdebatan tanya, siapa yang meninggalkan atau ditinggalkan.
Tentang kesetiaan angin dan pantai hingga mereka menjadi ombak.
Tentang kesetian api dan kayu hingga mereka menjadi abu.
Pun kesetiaan hujan dan langit hingga menjadi pelangi.
Bukan perkara yang gampang untuk menunjukanmu jalan yang benar menuju pulang.

Libatkan nuranimu disini, karena ku tak' akan pernah melerai sedikitpun kejahatanmu yang sering bergulat manis di pelataran padu padanku.
Pengkhianatan bersin terhadap hidungku.
Ingkarnya kantuk terhadap mataku.
Dan kebohongan nyeri terhadap sendi2 tulangku.
Jika mungkin aku telah terkalahkan, kan ku panggil lantang pasukan kesetiaanku untuk menghancurkan peranmu.
Menyeimbangkan lagi hasrat yang mulai meneteskan liurku, berganti kalimah santun untuk nuraniku yang masih jelata.