28 Okt 2011

Sedekah Tangis Ditengah Hujan

Air itu bersumber dari kelopak matamu, bergulung pelan, menghapus halus bedak kuning langsat yang serupa dengan warna wajahmu. Membentuk garis tegak dari mata ke pipimu, seakan membelah daging empuk yang dulu menjadi landasan hidungku.
Mewakili bibirmu yang pernah hangat kulumat, air itu berkeluh kesah, perihal pilihan yang salah. Berisi cacimaki dari mulutnya, tuduhan dari lidahnya, bahkan tamparan dari tangan perkasa nya.
"Dia tak sepertimu..." Ungkapan yang kurang baik buat telinga dan hatiku, sayang...

Teruntukmu, aku memilih untuk menangis ditengah hujan.
Hingga tak mudah untukmu membedakan mana airmata ku dan mana air hujan itu.
Agar kau tak pernah merasakan pedihnya luka ku oleh takdir perpisahan kita, yang tak layak untuk kita persalahkan.
Ihklaskan...  Abaikan... Aku hanya bagian dari rasa kehilanganmu, akan sesuatu yang tak pernah bisa kau miliki.
Anggaplah aku layaknya cermin, setelah kau cantik, pergilah bersama dia... Tinggalkan aku dalam hening bisu terpeluk pilu.

Pahamilah kesetian Sang Malam, sayang...
Dia akan selalu pulang disaat senja memanggilnya.
Begitu juga fikiranku, selalu mengeja namamu meski terbata.
Berharap kau selalu datang meski setiap saat, duduk tenang disini, di dalam sejuk ruang benak ku.
Andai bisa kurangkum semua sajak sampah yang kutulis, huruf-huruf nya teriakan namamu, tanda bacanya kerinduanku.
Tanpa bukti yang nyata, hanya airmata yang mulai menetes ke keyboard ini jadi saksi. Kuharap dia beku, agar tak mudah menguap dan hilang. Dengan segala salam dan kepala menunduk bathinku berucap...
Bahagialah bersama dia...
Karena aku juga telah bahagia setelah kutemukan tulang rusuk ku, disini...