19 Okt 2011

Mengulum Rindu Dipangkuan Senja

Seperti saat-saat dan waktu yang telah dilalui hari. Pagi, siang, malam, datang bergantian. Aku ingin kau memahami bahwa aku bukanlah perindu ulung yang selalu bisa menjiwai peranku. Bibirku yang mengulum rindu, lidahku yang mengecap lelah, dan tenggorokanku yang menelan getir, terbuang dalam tangis tak berbentuk. Diperbatasan ufuk, senja tak pernah lalai menutup kemaluan nya, layaknya kamu yang tak juga lupa untuk memejamkan rapat mata hatimu untuk ku. Nyeri dan perih mulai bertamu ke uluhati, jiwaku mulai mengabur. Dari sumbu yang telah terbakar keserasianmu dengan dia, samar kupinta pada Tuhan agar sesegera mungkin merencanakan kematianku. Khilafku menghadang!!!

Lebam di pembuluh darahku adalah akibat seringnya aku menyetubuhi wangimu yang sempat kau tinggalkan. Tersumpah diantara sungging senyuman yang memperlihatkan salju putih, hal itulah yang sempat menghambat kematianku yang tersurat oleh kodrat. Apakah ini satu bentuk khilaf ku pada Yang Esa?? Tidak!! Karena cinta ditakdirkan untuk mempertemukan, seperti halnya aku dan kamu.
Tapi kenapa kali ini cinta menyalahi takdirnya??
Kenapa cantikmu selalu menjelma menjadi peluru yang menghujam isi otak ku??
Haruskah aku tak berkepala, sehingga mudah untuk melupakanmu??
Kenapa tak jua kau anggukan kepala dengan sajak-sajak yang tertuju untukmu??
Mengapa senjaku selalu kau lengkapi dengan luka-luka tak berdarah??

Layaknya seekor ikan, sesekali aku melopat ke udara untuk mempertanyakan takdirku. Yang sengaja kau koyak dengan bias rona merah dipipimu yang sempat dititipkan oleh Tuhan. Memecahkan tangisku dimalam buta, hingga bantal guling tak bergeming. Nalurimu adalah kekayaanku, bathinmu adalah tempat belajarku, mengapa kau masih membelakangiku??