23 Okt 2011

Teduh Tergadai

Matahari mulai menghunus pedang, siap menikamku dari belakang. Disela perjuanganku mencari celah jalan diantara kepulan asap kota. Asap yang juga keluar dari nafas bego yang tertawa lebar, menggilas kediaman kumuh kaum kotor. Pelan merambat angkutan kota yang sengaja melambat, lapar akan penumpang yang berbayar sama meski berjarak beda. Dipemberhentian lampu tiga warna, dua dari puluhan anak jalanan mulai mendekat. Mengucap salam akan keringnya tenggorokan dan perut yang keroncongan. Berharap penuh pada rupiah yang terulur ikhlas dari tanganku, tak peduli recehan maupun lembaran. Mereka bukan bentuk kemiskinan, tapi merekalah bentuk pengkhianatan. Pengkhianatan akan kata "manja" yang hanya terbit di buku harian anak-anak gedongan.

Sementara, segerombolan akasia sedang berdialog dengan hidangan yang hijau dan rimbun. Melambaikan dahan-dahan mereka yang seksi, merayuku untuk sejenak menyinggahi surganya yang teduh, seteduh tatapan mata putriku saat melepas keberangkatanku tadi pagi. Keteduhan akasia itulah yang terabaikan oleh terik. Terik yang dengan kejam meremas isi kepalaku hingga remuk tak berbentuk, hancur berhambur. Ada apa dengan Sang Matahari?? Aku yakin, Matahari sedang cemburu, kobaran hatinya terasa hingga membumi. Menyemburui kehadiran rembulan yang selalu ditemani bintang nanti malam. Bercengkrama mesra merayakan pesta rindu.

Layaknya seteru Matahari dan Rembulan, itulah gejolak rasa cinta, tak bisa didamaikan...