9 Agu 2012

Bukan Bebanmu, Eitha

Di lantai 14 sebuah apartemen ini aku sendirian. Dari kejauhan, bulan tampak gemetar. Dengan keberanian tinggi, anak-anak cahayanya memasuki ruanganku tanpa permisi. Membaca jelas bayangku yang tanggal diantara sofa berwarna cokelat muda. Jemariku sibuk dengan telepon genggam yang batterynya sudah menyalakan warna kuning. Hening. Hanya suara detik arlojiku yang tergeletak di atas meja kecil sedang berkejaran dengan degub jantungku. Tepat di sebelahnya, sebungkus rokok dan secangkir kopi terlihat begitu akrab. Membicarakan hari pinangan, atau hanya menunggu bibirku menyatukan keduanya secara bergantian. Kurasa ini waktu yang tepat. Sebentar lagi sunyi akan mengantarmu kesini. Kita berunding tentang hal-hal kecil. Tentang rindu, tentang diameter bumi yang semakin memanjang jika dibicarakan, tentang liang birahimu yang pernah kuraba dengan gelisah, atau tentang ciuman ungu yang pernah aku tinggalkan di dadamu; di sebelah kanan tujuh, sebelah kiri satu. Sebelah kiri satu? Karena aku ingin bekas bibirku menceritakan bagaimana gemuruh surga itu jika kudengarkan. Ya, debarmu.

Separuh langit kering berwarna tembaga. Di bawah sana, lampu-lampu mobil mewah semakin ramai. Menutupi keriput kulit malam yang pekat dipendar nafsu terik matahari setiap hari. Bunyi klakson terdengar renyah memanggil kemacetan kota. Setengah jam aku memandang ke bawah dari balik jendela. Suara pintu diketuk menghardik telinga. Aku buka pintu dengan senyum paling nista yang aku miliki. Di matamu, hanya itu yang aku punya. "Eitha, malam ini kamu terlihat manis sekali..." gumamku dalam hati. Eitha masih berdiri di depan pintu dengan jaket warna biru yang sengaja tak dikancingkan. Bercelana jeans dan kaos ketat warna putih, cukup menggemaskan membungkus perawakannya yang tak begitu tinggi. Imut, lucu, sederhana dan sedap dipandang. Tas yang tergantung di bahu sebelah kirinya segera aku selamatkan agar mengurangi beban. Senyumnya mengembang, menolehkan sebelah pipi dengan gerakan manja. Ciuman dari bibirku pun mendarat di pipinya, mengabarkan rindu yang sudah hampir tiga minggu kukantongi di saku kemeja.

"Aku langsung tidur yah? Capek." Kata Eitha sambil melepas jaket yang ia kenakan. Menggambarkan mood yang lagi kurang enak untuk diajak ngobrol.
"Oke, kalo kamu capek istirahat aja" Jawabku sedikit kecewa. Beberapa menit kita terdiam.
"Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan ke kamu, mengenai kejadian beberapa hari ini." Kataku lirih, sedikit lebih keras dari suara detik jam dinding.
"Cerita aja, aku dengerin kok..." Jawab Eitha sambil merebah, tak sedikitpun melihat wajahku.
"Gak perlu lah, kamu sedang capek, moodmu lagi kurang bagus, nanti jatuhnya salah paham lagi..." Sekedar penetral suasana saja dari aku. Tanpa jawaban, dan sekali lagi wajah Eitha masih mengarah ke tembok sebelah tempat tidur. Perlahan aku belai rambut Eitha yang tergerai di atas bantal. Kuharap wanginya bersedia memenuhi tiap sela jemariku.
"Kamu gak pengen berhenti? Sampai kapan kita seperti ini? Kamu sudah beristri, kamu gak kasihan sama istri kamu? Jujur, ini sangat-sangat bertentangan dengan prinsipku. Kita udahan yah? Plis..." Dengan nada datar Eitha melontarkan beberapa pertanyaan dan permintaan yang masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi kali ini beda, kita saling menatap dalam-dalam, mata kita bertemu dalam ruang ketaktermungkinan.

"Memang siapa aja yang tahu tentang statusku? Teman kampusmu, orang tuamu, atau semua orang? Nggak ada kan?! Di duniamu, yang tahu tentang statusku cuman kamu, Eitha. Lebih sakit mana, kalo dulu aku berbohong tentang statusku, lalu kita jadian, di tengah jalan tiba-tiba kamu tahu tentang statusku. Lagian, emang selama ini kita ngapain? Selingkuh? Menurutku sih enggak! Kalo tujuanku cuman selingkuh, gak mungkin aku selingkuhin mahasiswi seperti kamu. Mending aku selingkuh sama janda kaya. Materi berlimpah, nafsu, dan segalanya terpenuhi. Sudahlah, kamu konsentrasi saja sama kuliahmu, kejar terus cita-citamu. Jangan kamu terlalu memikirkan Istriku. Aku sudah memenuhi bahagianya, dalam bentuk apapun! Dia juga tidak merasa terganggu dengan kedatanganmu! Aku sendiri juga tidak tahu, Eitha, kenapa Tuhan memberiku rasa yang seperti ini? Dan kenapa rasa ini harus jatuh ke kamu? Sepanjang usia pernikahanku, sama sekali aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Meskipun, beberapa perempuan pernah mencoba datang dan mendekat. Plis, Eitha, aku gak ingin membatasi kamu. Kalo kamu ingin berpacaran dengan cowok lain, silakan! Siapapun itu jika kamu anggap pantas. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang berada tepat di belakang kamu. Melindungimu, membantu apapun yang kamu butuh, hingga kamu bisa menyelesaikan cita-citamu, semuanya. Itu aja! Kelak, jika kamu menikah dengan lelaki pilihanmu, paling tidak kamu bisa mengingat bahwa pernah ada aku di hari-harimu dulu. Mencintai bukan berarti memiliki, itu benar, Eitha, dan saat ini aku sedang merasakannya, kepadamu..."

Dan penjelasanku yang panjang lebar itu mengantar kita pada kantuk yang luar biasa. Sepakat, malam itu pula kita tertidur di ranjang dan di kota masing-masing. Sebab semua ini hanya fiksimimpi.
Terimakasih atas luang waktu yang telah mengijinkan aku menidurkan kata-kata tepat di sebelah mimpimu. Menikmati wangi tubuh dan mengecupkan pejam di matamu