12 Jan 2012

Lapisan Rindu Ketujuh

Bunyinya berdenting sembilan kali.
Namun jarum jam itu seolah mengusir jauh rasa kantuk ku yang sejak sore tadi tak henti menyetubuhi mata.
Lagi-lagi, kenangan masih saja jahat.
Memapah ayu mu menuju ingatanku, terbungkus rapi diantara perihnya senyum, tepat di depan mataku.
Sementara mengitari kepala, hingga akhirnya memenuhi dada.
Menerjemahkan dengan lugas tentang arti kecupan perak yang pernah kau berikan, dulu...
Dibasahi ludah pahitku, tertelan, lalu mengekal.
Didadaku lah kini engkau berdiam.
Tak hendak pergi, apalagi berlari.
Menunggu waktu yang tepat untuk menua, atau hanya sekedar menunggu tumbuhnya uban di legam rambutmu yang pernah mengisi sela-sela jemariku.
Sendiriku adalah bahasa bisu yang hanya mampu dipahami oleh kemustahilan.
Sajak ku adalah prakata diam dengan tinta yang telah kering menguning, hening...
Hanya bertuliskan namamu dan beberapa tanda baca yang telah terkelupas, ganas...

Bersembunyi diantara pelangi esok hari.
Mungkin disana akan tersedia tempat yang teduh untuk jiwa yang sedang rapuh.
Dibenalui rindu yang pandai menipu, selalu mendatangi saat-saat sendiri.
Itulah, rindu dan kesendirian adalah satu senyawa bodoh yang mematikan.
Merahasiakan tangis namun mengkhianati senyum.
Menyembunyikan airmata tapi membohongi tawa.
Tengoklah tawa dan senyum yang telah lebur terkhianati, warna nya memucat pada ketabahan yang berkarat.
Padahal, pada nirwana sana seharusnya dia berpulang.
Bertemu pandang untuk pertemuan yang diharapkan.
Menghangatkan gigil pagi untuk meramaikan sepi.
Entah pada lapisan keberapa dia berada, pada jejak anggun mu sajak ku mengiba.
Menunggu ihklas yang jengah, hingga pasrah, lalu menyerah...
Sehingga tak perlu lagi aku menuliskan dengan huruf besar dan kecil.
Agar mudah terbaca, seberapa besar rindu ini membuatku kerdil.
Sendiriku adalah bahasa bisu yang hanya dipahami kemustahilan...
Rindu dan kesendirian adalah senyawa bodoh yang mematikan...