10 Sep 2011

Seteru Munafik dan Kebodohan

Tenggelam lagi di aliran limbah perseteruan najis. Mahkota yang disematkan oleh Tuhan yang bernama cinta itupun turut hanyut bersamanya. Seiring dengan rasa lelah yang memaksaku berhenti menjalani laku musafir menuju hatimu. Berjalan terus dengan tujuan untuk menjadi mahajiwa. Rasa ingin berhenti itu tidak dikarenakan belum adanya pertemuan bibir kita. Semata-mata hanya karena kau masih menyita dan menyembunyikan otakku. Sekali lagi, otakku, bukan hatiku!

Pipiku basah? Bukan karena tangisan, bukan karena penyesalan. Dimana munafik mulai menguasai laju darah dan egoku. Wujud dari rasa ingin tertawa yang meledak karena aku telah mampu merobek berkas-berkas itu. Berkas yang membuktikan bahwa kita pernah saling merindukan. Bukan hitungan hari, bukan hitungan tahun, bahkan hitungan detik. Kebodohan itu murni aku lakukan sendiri tanpa ada kamu. Merindukan petaka dulu, atau hanya merindukan lendir? Tak bisa kuambil salah satu jawaban, karena telah kudapatkan dua-duanya. Teori neraca yang pernah diajarkan oleh pengorbanan, perlahan namun pasti telah kau kemasi. Teori yang pernah mengajarkan kita untuk seimbang dan menimbang.

Santun yang beruntun, sahabat yang mendebat, tak pernah kudengar. Hanya nyanyian manjamu yang terdengar entah lewat bibir ataupun saluran tanpa kabel. Teriakan naluri lelakiku, lubang lembabmu selalu nyaman untuk kuhuni. Bukan kuhuni, tapi kuhujam! Walau hanya berbuah keringat dan lendir, kegoblokan setan nafsu selalu membisik di telinga kiri... "Lanjutkan, bodoh!! Itu kenikmatan!!" Logika telah terpasung oleh keanggunan fisik yang semu. Fisik yang sebenarnya berasa sama jika sudah "dibuka dan dirasa" Hanya rasa itu. Tak ada manis, asin, bahkan pahit.

Berganti dengan kesepian yang tak bisa lagi bersenandung. Hanya bisa malu melihat cibiran sinis sang rembulan jauh diatas langit sana, menyaksikan balutan lukaku yang tak jua mengering. Gelembung-gelembung rindu yang mengajak naluriku terbang, ingin sekali menengok parasmu dari balik jendela bathinku yang telah mengikhlaskan kepergianmu. Yang telah terlena dengan rayuan "anak haram" itu. Sekedar ingin menyapa, atau mempertemukan "ini" dan "itu" meski tanpa menghasilkan sesuatu.