19 Apr 2013

Malam Sedang Hujan, Naylie

Malam sedang hujan, Naylie. Kali ini, bibirku menjadikan punggungmu sebuah sekoci yang mengantar kuplet untuk udara yang sakit. Mengabaikan gelombang jahat yang digaduhkan petir, juga gigil. Jangan tergesa membalikkan badan, anganku belum tuntas berlayar. Angan yang berisi pikiran janggal, bahwa dari punggung itu akan tumbuh sepasang sayap. Mengepakkan wangi ribuan kata yang kau curi dari sajak-sajakku yang belum sempat kau baca. Lalu kau akan begitu saja terbang, pergi, mengabaikan apa yang napasku hembuskan dan nadiku denyutkan.

Jika pikiranku sudah mencapai tengkukmu, ada teduh yang tak pernah selesai. Gerak lamban daun-daun nyiur, menyiulkan suara ratusan dewa yang sedang menidurkan rembulan luka karena gerhana. Di situ, ada udara yang tak cukup digambarkan dengan kata sejuk. Wangi paling taman, tempat dimana ribuan sajak dimekarkan.

Lalu lenganmu, tempat dadaku bermain untuk mengelabuhi dingin. Pengukur suhu terbaik ketika tubuhku mulai didemamkan rindu. Kadang, aku ingin membangun istana ciuman di sana, lalu memahatkan beberapa haiku di sebuah prasasti rahasia yang mengelilinginya.

Ketika kubayangkan tubuhmu telanjang, Naylie, ada ranum yang selalu merayu gerak mataku agar berhenti di payudaramu. Darah yang mengalir lebih deras dari sebelumnya, ketika telapak tanganku mulai berkhayal untuk menyentuhnya. Aku menemukan jutaan musim dari bentuk tubuhmu. Tak hanya hujan, juga tak hanya salju. Angin yang tiba-tiba terpejam, terik yang kadang menghajar, juga bintang-bintang palsu yang memegahkan semesta kulitmu.
Ajak aku menua bersama usiamu.