16 Jan 2013

Sengketa Rindu Dari Kejauhan

Saat menuliskan ini, aku merasa sangat bahagia. El tahu kenapa? Ada beberapa kalimat yang harus kupetik dari surat yang kau kirimkan kemarin.
Aku tidak akan mengucapkan, "Aku masih mencintaimu", karena aku tidak pernah berhenti melakukannya, sejak pertama hati kita rebah di genggaman yang sama.
Rinduku perlahan pudar membaca itu. Beberapa detik terpejam. Aku mengingat hari ini seperti aku mengingat hari ulang tahunmu, juga hari pertama kita bertemu, dimana senyum dan seluruh gerakmu menjadi bahan terbaik yang tak pernah bosan aku pikirkan.

El, sejujurnya saat ini aku ingin merayakan rasa ini bersamamu. Dengan makan malam di tempat kesukaanmu, atau sekedar menyusuri jalanan kota, menikmati hujan dengan berbagi cerita tentang apa yang sudah kita lakukan seharian. Aku ingin melihat kebiasaan lucumu, memercikkan air kecil-kecil dari pipet minumanmu ke wajahku.
Harus malam ini! Tak boleh besok, lusa ataupun kapan. Sebab, mencintaimu selalu kulakukan sekarang, apa adanya, semestinya dan semoga seterusnya. Namun jarak...
Ah, inilah hal yang paling kubenci dari jarak!!

Setelah beberapa bulan aku disini, tak ada lagi sidik jari yang biasa dihafalkan kulit pipiku. Tak ada lagi cubitan-cubitan kecil di pinggangku ketika aku ngebut di jalanan, seperti kebiasaan yang El lakukan saat kuboncengkan. Bangku kiri yang selalu kosong saat berangkat dan sepulang kerja, kerap membuat aku muak pada apa yang bernama "Tugas".

Apakah ini siksa sementara untuk kita? Agar kita semakin paham bahwa kita memang saling membutuhkan? Kamu nyaman dengan jarak ini, El? Aku butuh jawaban atas pertanyaan ini, Sayang...
Jika boleh kugambarkan rinduku padamu, sama halnya saat kamu terpejam. Betapa besarnya hingga kau tak dapat melihat apa-apa. Beberapa cerita yang berhasil kuloloskan dari tawamu, tak ubahnya ludah pahit yang terpaksa harus kutelan.

El, di bagian akhir suratku kali ini, aku ingin sekali lagi mengatakan bahwa aku rindu menatap bola matamu yang selalu mampu menunda gerimis, suara tawamu yang menyerupai lantunan doa untuk bahagiaku, juga pelukanmu yang kerap menyediakan tempat lapang bagi dadaku. Aku mencintaimu layaknya izin semesta yang menurunkan hujan.
Disana, tetaplah menjadi bagian terbaik yang bersedia menampung dan merawat seluruh sisa usiaku, kelak...

Dari lelaki yang tak pernah bosan mencintaimu... I Love You :*
Di luar kata-kata yang kutulis disini, aku menelanmu sebagai manis yang dikandung madu. Bergeraklah di tubuhku sebagai hal yang selalu dimohon oleh nadiku.