17 Nov 2012

Empat Tahun Satu Pelangi

Menjelang empat tahun engkau menemaniku...

Carine, dari gerak jelitamu aku hendak menulis satu judul madah yang tak begitu luar biasa. Yang bisa dibaca embun hingga menjadi gembur atau setidaknya mampu membuat terik siang tak lagi berseteru dengan hujan. Retak bibir keringku yang terkadang perih memohon untuk berteduh di bagian terpencil bulu matamu. Rimbun akasia baru yang diciptakan senyummu, kerap sengaja kuseberangi dan kuasah tajam sebagai penggunting mimpi. Tepat di sebelah lesung pipimu, aku menyembunyikan bening rindu dari pecahan-pecahan alasan kenapa aku begitu mencintai seseorang yang melahirkanmu.

Carine, dari kecupan perak yang diajarkan para dewa, bibirku mendaratkan kecup di keningmu yang seumpama salju. Menyampaikan rahasia yang kurekam dari bisik-bisik kerabat kayangan, bahwa selain pengantar bahagia, tugasmu hanya di surga. Tak perlu kau genapi rintik hujan yang dijatuhkan sepagi ini, apalagi dengan airmata. Kedipanmu saja sudah cukup mengeringkan kata-kata lembab yang terlalu lama disimpan cuaca. Bersama usia, buatlah kalimat yang lebih jelas. Tanyakan apa saja. Darimana asal terang yang dipancarkan api atau dimana rembulan bersembunyi saat siang hari. Semua jawaban ada di matamu.

Carine, dalam lelapmu yang menenteramkan aku selalu ingin meloncat delapan jam kedepan. Untuk menyaksikan lagi tarian-tarian pagimu yang suci, bahkan gerakan yang belum sempat dihafalkan bidadari. Menjejakkan tulang muda, menyamai cahaya yang terbit dari kemaluan langit. Bagai pengemis yang menemukan harta karun, juga bagai air yang menemukan sumur, aku puja gerakan cahaya yang kau pentaskan dengan anggun. Sempat kuhitung satu persatu bintang yang terjatuh tadi malam. Kutaburkan di bawah guling yang kau peluk ketika pagi masih berlutut. Menyisakan gemerencing lucu, persis menyerupai suaramu ketika teringat waktu terbaik untuk minum susu.