13 Apr 2014

Luka Abadi yang Karam di Laut Puisi

Entah bagaimana persisnya
tiba-tiba aku ingin menebak
berapa banyak hangat genggaman
yang kutebar di pergelangan tanganmu.
Sebelum kau tersakiti, sebelum kau berlari pergi.

Aku pernah melupakan lapar hanya karena ingin mendengar kenyangmu.
Aku sempat mengabaikan hangat hanya karena menolak mendengar gigilmu.
Namun kau menyukai tajam,
lalu mendorongnya lembut,
mengarahkan ke seluruh denyutku.

Semena-mena kau menyeret wajah bulan yang terbiasa menerangi beranda.
Biar pudar!
Agar menyebar ke seluruh memar.
Meninggalkan aku yang dijangkiti kecewa,
lalu membiarkan perih menancap di sana.

Sepandai itukah kau melubangi urat nadiku?
Muara seluruh denyut,
yang kupakai menyelamatkanmu ketika hanyut.
Tak pernah kuucap percuma,
meski hanya mengapungkan dosa.

Entah bagaimana persisnya,
tiba-tiba aku ingin menebak
berapa kali aku menyebutmu luka abadi yang karam di laut puisi.