23 Jun 2013

Pecahan Sore

Senja meledak di kelamin cakrawala,
menafkahi gelisah penyair-penyair muda
dengan rindu yang lebih anyir dari darah Punisia.

Aku terlibat,
ulu hatiku mendidih,
liurku mengering,
lidahku mendapat izin menamai sore itu dengan sebutan Laknat.

Pada langkah pergi yang telah mengotori jejakmu,
sepiku lupa cara mengucap caci maki yang baik.

Menyangkarkan dendam untuk air mata yang asin,
mengalir dari mata berkarat yang tertusuk lidi-lidi buatanku sendiri.

Hingga sampai di telinga,
kabar seluruh badan malam telah membusuk.

Sementara tubuhmu sibuk mengedarkan wangi yang perih,
menjepit putaran detik dengan memar yang lebih kejam dari bekas cubitan ibu tiri.

Melupakan satu tugas terakhirmu, untuk sekadar mengubur
bangkaiku.